Rabu, 03 Juni 2015

Puasa Ramaḍan, Puasa Nadhar dan Puasa Qaḍa



Puasa Ramaan, Puasa Nadhar dan Puasa Qaḍa
Oleh: Khoirudin Azis




I.     Pendahuluan
Puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Oleh sebab itu setiap orang yang beragama Islam dan beriman diperintahkan dan diwajibkan untuk menjalankan puasa. Melaksanakan ibadah puasa ini selain untuk mematuhi perintah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā juga untuk menjadi tangga ketingkat taqwa, karena takwalah dasar keheningan jiwa dan keluhuran budi dan akhlak.
Puasa mempunyai banyak faidah bagi rohani dan jasmani kita. Ibadah puasa juga mengandung aspek sosial. Selain itu, ibadah puasa juga dapat menunjukkan bahwa orang-orang beriman sangat patuh kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā karena mereka mampu menahan makan, minum, nafsu dan hal-hal yang membatalkan puasa lainya.
Adapun macam-macam puasa di tinjau dari hukumnya, puasa bisa di klasifikasikan menjadi puasa wajib, puasa sunah, puasa haram, dan puasa makruh. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa puasa yang dihukumi wajib adalah suatu keharusan yang harus dilakukan dan apabila puasa wajib tersebut ditinggalkan atau tidak dilaksanakan maka akan mendapat dosa.
Ibadah puasa merupakan salah satu tema pembahasan yang sangat menarik untuk dikaji, karena selain ibadah puasa diperintahkan untuk umat islam, puasa juga diperintahkan pada umat-umat terdahulu. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang puasa yang tergolong dihukumi wajib, yaitu puasa Ramaan, puasa Nadhar dan puasa Qaa.





II.  Pengertian Puasa

الصّيام: إِمْشَاكٌ عَنْ مُفْطِرٍ بِنِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ جَمِيْعَ نَهَارٍ قَابِلِ لِلصَّومِ مِنْ مُسْلِمٍ عَاقِلٍ طَاهِرٍ مِنْ حَيْضٍ وَنِفَاسٍ.[1]
Kata “iyām” ( (صِيَا مٌdan “Saūm” ( (صَوْمٌkeduanya adalah bentuk masdar yang arti menurut bahasa ialah “menahan” dan menurut syara’ ialah menahan dari perkara yang membatalkan puasa dengan niat tertentu pada seluruh hari yang dapat dibuat berpuasa oleh orang Islam, berakaal sehat, suci dari haid dan nifas,[2]
iyām menurut lughah (bahasa) adalah menahan diri. Sedangkan menurut syara’ ialah menahan dari makan, minum, jima’ dan lain-lain yang dituntut oleh syara’, di siang hari menurut cara yang disyari’atkan. Atau menahan diri dari makan, minum dan jima’ dari terbit fajar sampai terbenam matahari, karena mengharap pahala dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.[3]
Puasa menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkanya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.[4]
Puasa merupakan ibadah yang di dalamnya terdapat penyucian jiwa, derajat tinggi untuk ruh, dan sehat bagi tubuh. Barang siapa yang melaksanakanya karena mengikuti perintah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dan mengharapkan rianya, maka itu menjadi penghapus bagi semua dosanya dan menjadi penyebab masuk surga, sebagaimana sabda Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam” Barang siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, ia diampuni dari segala dosanya yang terdahulu”.[5]
Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat dikatakan bahwa puasa pada dasarnya mengandung pengertian menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh syariat agama Islam.
III. Syarat-Syarat Wajib Berpuasa[6]
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Berakal sehat
4.      Kuasa (mampu) mengerjakan puasa
IV. Faru Puasa[7]
1.      Niat
2.      Menahan dari makan dan minum
3.      Menahan bersetubuh dengan sengaja
4.      Menahan muntah dengan sengaja
V. Perkara Yang Membatalkan Puasa[8]
1/2. Masuknya sesuatu benda dengan sengajasaampai ke lubang yang membuka.
3.      Mengobati salah satu dari kedua jalan yakni mengobati orang yang sakit pada bagian kubul/dubur.
4.      Muntah dengan sengaja
5.      Sengaja wathi
6.      Keluar air mani
7.      Haid
8.      Nifas
9.      Gila
10.  Murtad


VI. Dalil disyariatkanya Puasa

            Di bawah ini  akan disebutkan beberapa dalil mengenai disyariatkanya puasa, baik dalil dari dalam al-Qur’an maupun al-Hadis:
1. Adapun dalil dari dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang puasa yaitu terdapat pada surah al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[9]
2. Sedangkan dalil dari al-hadis Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam mengenai puasa yaitu terdapat pada sabda Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang dinyatakan dalam hadis bahwa Islam dibangun atas lima tiang (Rukun Islam):
عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : بني الإسلام على خمسٍ ؛ شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان. [10]
            Dari Abu Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin al-Khathab radhiallahu 'anhuma berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan". (HR Bukhari no. 8).





VII. Macam-Macam Puasa Wajib

1.      Puasa Ramaan
                        Puasa Ramaan adalah puasa wajib bagi seseorang yang telah mukallaf yang dilaksanakan pada bulan suci Ramaan. Puasa ini hukumnya wajib, yaitu apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa. Puasa Ramaan adalah farḍu ‘ain bagi setiap orang mukallaf yang mampu berpuasa. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā telah menjelaskan mengenai puasa Ramaan dalam firman-Nya Surat al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[11]
Selama bulan Ramaan, seorang perempuan diwajibkan berpuasa, meskipun ia di dampingi suamiya. Sebab puasa Ramaan hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan oleh siapapun, kecuali bagi mereka yang benar-benar tidak mampu melaksanakanya (wanita hamil, menyusui, lanjut usia, sakit, musafir, dan lain sebagainya)[12]. Hal ini menjelaskan bahwasanya seorang perempuan apabila tidak ada udhur tertentu tetap diwajibkan untuk melaksanakan puasa Ramaan dikarenakan puasa Ramaan hukumnya wajib, tidak seperti dalam puasa sunnah yang dalam pengamalanya harus mendapatkan izin dari suaminya. Apabila seorang suamai tidak memberikan ijin kepada istri maka seorang perempuan tersebut tidak diperbolehkan melakukan puasa sunnah.
2.      Puasa Nadhar
A.    Pengertian Puasa Nadhar
Puasa Nadhar adalah puasa yang diwajibkan orang kepada dirinya sendiri dengan cara bernadhar (qaul) kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, maka yang bersangkuatan harus berpuasa sesuai nadharnya, baik cara maupun jumlahnya.
Bernadhar artinya berjanji akan berpuasa, misalnya yaitu sembuh dari sakit atau jika diperkenankan sesuatu maksud yang baik (yang bukan maksiat) dalam rangka mensyukuri nikmat atau untuk mendekatkan diri kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, maka wajiblah atasnya untuk melaksanakannya. Puasa Nadhar pada dasarnya utang, bahkan lebih tegas lagi karena biasanya dikaitkan dengan sesuatu. Oleh karena itu, seorang yang bernadhar wajib melaksanakan puasa nadhar tersebut sebab ia sendiri yang membuatnya wajib. Dengan mengatakan, misalnya, “Jika saya sembuh nanti, maka saya akan puasa selama lima hari berturut-turut,” maka setelah sembuh puasa lima hari berturut-turut tersebut wajib baginya untuk dilaksanakan.
Disyariatkannya nadhar bisa dilihat dari dalil-dalil yang ada di dalam al-Qur’an. Contohnya yaitu terdapat pada surat al-Baqarah ayat 270:
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.” (QS. Al Baqarah: 270).[13]
Jika seseorang memiliki nadhar kemudian meninggal tanpa sempat menunaikan nadharnya, maka puasa nadhar itu diwariskan atau ditanggung oleh wali atau pewarisnya untuk disempurnakan. Hal ini di jelaskan pada hadis Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang diriwaratkan oleh Sa’ad bin ubadalah r.a. :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَاَةً قَالَتْ: يَارَسُولَ اللهِ اَنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ اَفَاَصُوْمُ عَنْهَا ؟ قَالَ: اَرَاَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتُهُ اَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكَ عَنْهَا ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ فَصُوْمِى عَنْ اُمِّكِ.
Dari Ibnu Abbas r.a: sesungguhnya ada seorang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “ya Rasulullah s.a.w, sesungguhnya ibuku telah meninggal duniam dan ia meninggalkan keajiban puasa nadzar yang belum sempat ia tunaikan, apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?” rasulullah s.a.w, menjawab;”apakah pendapatmu, kalau seandainya ibumu mempunya hutang, dan kamu membayarnya. Apakah hutangnya terbayarkan?”. Perempuan tadi, menjawab: “ia”. Dan Nabi s.a.w, bersabda: “berpuasalah untuk ibumu”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim).[14]
B.     Macam-macam Puasa Nadhar.[15]
a.       Puasa Nafsi
Puasa Nafsi melaksanakan puasa yang berkaitan dengan pribadi masing-masing.
b.      Puasa Ahli
Ialah melaksanakan suatu puasa Nadhar yang ada kaitannya dengan orang lain (maksudnya bukan untuk pribadi sendiri). Contohnya: misal ada seseorang yang kita nazarkan, dan dengan nazar kita orang itu dari perbuatan yang tidak baik menjadi baik.
c.       Puasa Juri’at
Ialah melaksanakan sesuatu Nadhar kepada tempat ibadah. Yang dimaksud tempat ibadah di sini ialah tempat-tempat yang suci, contohnya adalah, Bernadhar ke Baitullah (Rumah Allah), Bernadhar ke Masjidin Nabawi (Rumah Nabi), Bernadhar ke Baitul Muqadis/Masjidil Aqsha (Rumah Suci).
Adapun tatacara pelaksanaan Puasa Nadhar sama seperti pelaksanaan dalam melaksanakan puasa Ramaan. Hanya niatanya sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْم غَدٍ لِنَذَرٍ فَرْضَا ِللهِ تَعَالَى
Saya niat berpuasa besok hari untuk menunaikan nadhar (dalam hati menyebut nadharnya) fardu karena Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.

C.     Puasa Qaa
            Lafadz “Qaa” adalah bentuk masdar dari kata dasar “qaaa”, yang artinya; memenuhi atau melaksanakan. Adapun menurut istilah dalam Ilmu Fiqh, Qaa dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam. Misalnya, Qaa puasa Ramaan yang berarti puasa Ramaan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramaan. Puasa Qaa adalah puasa untuk menggantikan puasa Ramaan yang kita tinggalkan karena sebab syar’i.
Orang yang wajib puasa Qaa itu adalah yang diharuskan berbuka puasa atau tidak puasa karena sessuatu sebab yang diizinkan oleh syara’, di bawah ini beberapa contoh seseorang yang di perbolehkan meninggalkan puasa, namun wajib meng Qaa:

1.      Orang Sakit dan Musafir
Islam memberi keringanan atau rukhsah harus berbuka puasa atau tidak puasa kepada orang sakit dan musafir. Tapi tetap mereka ini wajib mengganti qada puasa yang tertinggal pada hari-hari lain.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[16]
2. Wanita hamil/menyusui anak
            Bagi wanita yang hamil/menyusui anak, apabila di khawatirkan akan membahayakan kesehatanya diantara keduanya maka boleh tidak berpuasa, namun wajib mengqadha di hari lain selain bulan ramadhan tersebut.[17]
Dalil yang menjelaskan mengenai puasa qada:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.[18]
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.

Niat Puasa Qadha:

نويت صوم غد عن قضاء فرض رمضان لله تعالى


Aku niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Rama
an karena Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
.
VIII. Hikmah Puasa
Puasa memiliki hikmah yang sangat besar terhadap manusia, baik terhadap individu maupun sosial, terhadap rohani maupun jasmani. Terhadap rohani, puasa juga berfungsi mendidik dan melatih manusia agar terbiasa mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri setiap individu. Puasa juga mampu melatih kepekaan dan kepedulian sosial manusia dengan merasakan langsung rasa lapar yang sering diderita oleh orang miskin dan dituntunkan untuk membantu mereka dengan memperbanyak shadaqah.
Sedangkan terhadap jasmani, puasa bisa mempertinggi kekuatan dan ketahanan jasmani kita, karena umumnya penyakit bersumber dari makanan, dan sebenarnya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menciptakan makhluk-Nya termasuk manusia sudah ada kadarnya. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberikan kelebihan demikian pula keterbatasan pada manusia, termasuk keterbatasan pada soal kadar makan-minumnya.
Berikut ini beberapa contoh hikmah yang kita dapatkan setelah berjuang seharian berpuasa:
  1. Bulan Ramadhan bulan melatih diri untuk disiplin waktu. Dalam tiga puluh hari kita dilatih disiplin bagai tentara, waktu bangun kita bangun, waktu makan kita makan, waktu menahan kita shalat, waktu berbuka kita berbuka, waktu shalat tarawih, iktikaf, baca al-Qur’an kita lakukan sesuai waktunya. Bukankah itu disiplin waktu namanya? Ya kita dilatih dengan sangat disiplin, kecuali orang tidak mau ikut latihan ini.
  2. Bulan Ramadhan bulan yang menunjukkan pada manusia untuk seimbang dalam hidup. Di bulan Ramadhan kita bersemangat untuk menambah amal-amal sunat.
  3. Bulan Ramadhan adalah bulan yang mengajarkan manusia akan pentingnya arti persaudaraan, dan silaturahmi.
  4. Bulan Ramadhan mengajarkan agar peduli pada orang lain yang lemah.
  5. Bulan Ramadhan mengajarkan akan adanya tujuan setiap perbuatan dalam kehidupan.
  6. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita hidup ini harus selalu mempunyai nilai ibadah. Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah, menolong orang ibadah, berbuat adil pada manusia ibadah, tersenyum pada saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai tidurnya orang puasa ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga kita terbiasa hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah.
  7. Bulan Ramadhan melatih diri kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap perbuatan, terutama yang mengandung dosa.
  8. Bulan Ramadhan melatih kita untuk selalu tabah dalam berbagai halangan dan rintangan.
  9. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan arti hidup hemat dan sederhana.
  10. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan pentingnya rasa syukur kita, atas nikmat-nikmat yang diberikan pada kita.
            Dan masih banyak lagi manfaat atau hikmah puasa yang lain baik di dalam bidang kesehatan dan lain-lain.
IX. Kesimpulan
            Dari uraian di atas penulis akan berusaha menyimpulkan makalah sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini:
            Puasa adalah menahan dari perkara yang membatalkan puasa dengan niat tertentu pada seluruh hari yang dapat dibuat berpuasa oleh orang Islam, berakaal sehat, suci dari haid dan nifas.
Macam-macam puasa ditinjau dari hukumnya, puasa bisa diklasifikasikan menjadi puasa wajib, puasa sunah, puasa haram, dan puasa makruh. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa puasa yang dihukumi wajib adalah suatu keharusan yang harus dilakukan dan apabila puasa wajib tersebut ditinggalkan atau tidak dilaksanakan maka akan mendapat dosa. Yang termasuk puasa wajib yaitu puasa Ramadhan, Nadhar dan Puasa Qaa’.
Puasa Ramaan adalah puasa wajib bagi seseorang yang telah mukallaf yang dilaksanakan pada bulan suci Ramaan. Puasa Nadhar adalah puasa yang diwajibkan orang kepada dirinya sendiri dengan cara bernadzar (qaul) kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, maka yang bersangkuatan harus berpuasa sesuai nadharnya, baik cara maupun jumlahnya. Puasa qadha adalah puasa yang di laksanakan di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam.Puasa wajib tidak boleh di tinggalkan oleh siapapun, kecuali wanita hamil, menyusui, lanjut usia, sakit, musafir, dan lain sebagainya.
X. Kritik dan Saran
            Penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini dan senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat dan lebih baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.




XI. Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Muhammad (al), Syaikh Ibn Qasīm Al-Ghazī. Fathu Al-qarīb Al-Mujīb. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2013.
Muhammad (al), Syaikh Ibn Qasīm Al-Ghazī. Fathu Al-qarīb Al-Mujīb. terj. Drs. Imran Abu Amar. Kudus: Menara Kudus. 1982.
Shiddieqy (al), Teungku Muhammad Hasbi. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2010.
Sugono, Dendy, Dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013
Nawawi (al), Imam. Al-Wafi fii Syarhil ‘Arba’in An-Nawawwiyah, terj. Pipih Imran Nurtsanti, Solo: Insan Kamil, 2013.
Muhammad, Abī Abdillāh Ibn Isma’īl Al Bukhārī. Ṣahīh al Bukhārī. Damashku Bairūt: Dāru Ibn Kathīr. 2002.
Hamid, Atiqah. Buku Lengkap Fiqih Wanita. Jogjakarta: Diva
Press, 2013.
Cerminan Hati Al-Insan 10.58 , dalam http://coretan binder hijau. blogspot. com/2013/02/makalah-puasa_5157.html (diakses 19 maret 2015).



[1] Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb Al-Mujīb (Bairut-Lebanon: Dār Al-Kotob Al-ilmiyah, 2013), 66.
[2] Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb Al-Mujīb, terj. Drs. Imran Abu Amar, (Kudus: Menara Kudus, 1982), 182.
[3]PROF. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), 161.
[4] Dendy Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), 1110.
[5] Imam An-Nawawi, Al-Wafi fii Syarhil ‘Arba’in An-Nawawwiyah, terj. Pipih Imran Nurtsanti, (Solo: Insan Kamil, 2013), 56.
[6] Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb Al-Mujīb, terj. Drs. Imran Abu Amar, (Kudus: Menara Kudus, 1982), 182.
[7] Ibid.,182-183
[8] Ibid.,183-184
[9] Al-Qur’an,7: 183.
[10] Abī Abdillāh Muhammad Ibn Isma’īl Al Bukhārī, ahīh al Bukhārī, (Damashku Bairūt: Dāru Ibn Kathīr, 2002), 12.
[11] Al Qur’an,2;185.
[12] Atiqah Hamid, Buku Lengkap Fiqih Wanita (Jogjakarta: Diva
Press, 2013), 47.
[13] Al-qur’an, 2; 270.
[15] Cerminan Hati Al-Insan 10.58 , dalam http://coretan binder hijau. blogspot. com/2013/02/makalah-puasa_5157.html (diakses 19 maret 2015).

[16] Al Qur’an
[17] Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb Al-Mujīb, terj. Drs. Imran Abu Amar, (Kudus: Menara Kudus, 1982), 190.
[18] Abī Abdillāh Muhammad bin Isma’īl bin ibrahim bin mughirah al-Bukhārī, ahīh a- Bukhārī, (Bairūt-Libanan: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1971), 353.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar