Rabu, 03 Juni 2015

MAKALAH HUKUM-HUKUM YANG ADA PADA SIFAT-SIFAT ALLAH



MAKALAH
HUKUM-HUKUM YANG ADA PADA SIFAT-SIFAT ALLAH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. KH. Abdul Ghofur MZ, MA.







Disusun Oleh :
M.Ali Masyhur Al Hamid


JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA  ISLAM AL ANWAR
SARANG-REMBANG
2013/2014




BAB I
PENDAHULUAN

 Alhamdulillah, puji syukur penulis kepada dzat yang memiliki sifat-sifat indah dan terpuji atas izinNya menyelesaikan makalah ilmu kalam ini. Sholawat serta salam kami curahkan teruntuk sang pembawa akidah Islam, nabi Muhammad S.a.w..

A.                 Latar Belakang
            Kita yakini bahwa Allah memiliki dua puluh sifat-sifat sempurna yang dengan itu akan membedakanNya dari semua makhluk yang ada. Sifat-sifat itu terbagi menjagi empat bagian :
1.                  Sifat nafsyiah dzâtiyah; yang terdiri dari hanya satu sifat Allah yaitu wujûd.
2.                  Sifat salbiyah, yang ada pada lima sifat Allah yaitu wahdaniyah, qidâm, baqô', mukhôlafah lilhawâdist, dan qiyâmuhû binafsih.
3.                  Sifat ma'âni, yaitu qodrot, irôdat, ilmu, hayât, sama', bashor, dan kalâm.
4.                  Yang terakhir adalah qôdiron, murîdan, 'âliman, hayyan, sâmi'an, bâshiron, mutakalliman. Sifat-sifatini disebut dengan sifat ma'nawiyah, yang merupakan hasil dari sifat-sifat ma'âni.
Tidak hanya berhenti pada pengetahuan kita tentang sifat-sifat Allah tersebut, namun perlu kita ketahui pula hukum-hukum dari sifat-sifat tersebut guna lebih memahami bagaimana keadaan atau wujud dai sifat-sifat Allah tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan hukum-hukum dari sifat-sifat Allah, dan sebagian pendapat dari golongan lain akan hal ini.
B.                 Rumusan Masalah
1.      Apa dan bagaimana hukum-hukum sifat-sifat Allah ?
2.      Bagaimana kita menanggapi pendapat-pendapat yang kita anggap tidak sesuai dengan akidah yang benar ?

C.                 Tujuan
1.      Mengetahui hukum-hukum dari sifat-sifat Allah.
2.      Mengetahui cara menanggapi pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akidah yang benar.
BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Hukum-hukum Sifat-sifat Allah
Telah diyakini bagi ma'mum dari imam Asy'ari, bahwa sifat-sifat wajib Allah itu ada dua puluh yang terbagi menjadi empat bagian (nafsiyah dzâtiyah, salbiyah, ma'âni dan ma'nawiyah). Dijelaskan bahwa dalam dua puluh sifat Allah tersebut terdapat empat hukum yaitu:
Pertama: Bahwa sesungguhnya sifat-sifat Allah adalah bukan dzat Allah itu sendiri, namun suatu tambahan pada dzatNya.
Kedua: Sifat-sifat Allah berada pada dzatNya.
Ketiga: Sifat-sifat Allah adalah qodîm (dahulu), bukan hal yang hâdist (baru).
Keempat: Nama-nama Allah yang ditelurkan dari sifat-sifatNya adalah bersamaan denganNya dalam keazalian dan keabadiannya.
Begitulah yang di jelaskan imam al Ghozali dalam kitabnya al I'tishôd fil I'tiqôd.

a.                  Hukum Pertama
Sesungguhnya sifat-sifat Allah S.W.T adalah bukan dzat Allah itu sendiri, namun tambahan pada dzatNya. Perlu diketahui bahwa hukum ini diterapkan pada sifat-sifat ma'âni (qudrot, irôdat, ilmu, hayât, sama', bashor, dan kalâm).
Seperti kita contohkan qudrot pada diri Fulan misalnya. Fulan mempunyai sifat qudrot/kemampuan untuk berdiri sa'at ini. Adapun jika suatu hari Fulan tidak mampu untuk berdiri lagi, maka yang berbaring karena tidak mampu berdiri adalah tetap Fulan yang tadinya mempunyai sifat qudrot/mampu utuk berdiri. Begitupun Fulan yang dulu hayât/hidup, maka tetap bernama Fulan ketika dia telah mati. Begitu juga sifat-sifat lainnya. Itu artinya bahwa sifat qudrot/kemampuan dan sifat hayât/hidup Fulan bukanlah Fulan itu sendiri, melainkan tambahan yang yang ada pada diri Fulan.
Kita ketahui bahwa golongan mu'tazilah mengingkari adanya sifat ma'âni.maka dari itu, mereka juga pasti mengingkari hukum-hukum dari sifat ma'âni tersebut. Seperti pendapat mereka yang mengatakan bahwa Allah yang 'âlim, qôdir, hayy, murîd, semua itu tidak menunjukkan bahwa Allah disifati sifat 'ilmu, qudrot, hayat, irôdat. Ada juga pendapat lainnya yang mengatakan bahwa Allah adalah dzat yang Esa dan qodîm, dan tidak boleh menetapkan beberapa dzat lain yang qodîm.
Sebagian dari mereka juga berpendapat bahwa Allah menciptakan irôdat dengan tanpa tempat. Begitu juga pendapat mereka yang mengatakan bahwa Allah menciptakan kalam bukan pada dzat Allah, namun pada sebuah jism, yang dengan jism itulah Allah berbicara. Seperti Allah menciptakan sebuah alat pendengar pada nabi untuk mendengarkan suara-suara yang orang lain tidak mendengarnya, dalam keadaan tidur maupun dalam keadaan sadar. Seperti orang tidur yang mendengar suara yang tidak terdengar oleh orang-orang yang bangun di sekitarnya.
Imam al Ghozali mengatakan bahwa mu'tazilah adalah madzhab yang sesat karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa Allah 'âliman, qôdiron, murîdan, hayyan, namun tidak disifati dengan sifat 'ilmu, qudrot, irôdat, dan hayât. Namun kata imam al Ghozali jika Allah 'âliman, maka harus ada 'ilmu pada Allah, dan Allah harus disifati dengan sifat 'ilmu.

b.      Hukum Kedua
Sifat-sifat Allah yang dua puluh itu, kesemuanya berdiri dengan dzat Allah S.W.T., maka tidak ada satu sifat yang berdiri dengan selain dzat Allah. Pada suatu tempat atau tidak pada tempat.
Imam Ghozali dalam kitabnya al I'tishôd fil I'tiqôd berkata : Ketika kita berkata Allah adalah murîd, maka yang dimaksud adalah terdapat sifat irôdat yang berada pada dzat Allah. Dan juga ucapan kita bahwa Allah adalah mutakallim, maka itu berarti terdapat sifat kalâm yang berada pada dzat Allah. Jika sifat tersebut tidak berada pada dzatNya, bagaimana Allah disifati dengan sifat itu ? Dan bagaimana kita mengatakan bahwa Allah adalah murîd, qôdir, 'âlim dan mutakallim ? Maka jika sifat kalam tidak berada pada dzat Allah, maka Allah bukanlah dzat yang mutakallim.
Golongan mu'tazilah berpendapat bahwa Allah menciptakan irôdat, qudrot, atau 'ilmu tanpa tempat, karena Allah tidak bisa menjadi tempat hal-hal baru (hawâdist). Imam Ghozali menolak pendapat tersebut. Andai saja wujud sifat-sifat Allah tidak pada suatu tempat, mengapa mereka mengatakan bahwa ashwât (suara-suara) diciptakan pada suatu tempat ? Maka cobalah untuk menciptakan sebuah shout (suara) tanpa tempat ! Maka akal menolak adanya suara yang tak bertempat. Karena suara adalah 'ardl yang mensifati tempat tersebut. Begitu juga sifat irôdat dan qudrot.
Adapun pendapat dari golongan mujassimah adalah bahwa sesungguhnya irôdat dan qodrot ada pada dzat Allah. Dan hal-hal yang baru bisa menempel pada dzat Allah. Golongan ini juga menolak pendapat mu'tazilah. Mereka berkata bahwa mustahil bagi sifat irôdat untuk berdiri tanpa sebuah tempat. Mustahil jika Allah dikatakan murîd, namun tidak disifati dengan sifat irôdat. Penciptaan irôdat juga mustahil terjadi tanpa adanya irodat.
Mereka berkata bahwa semua kemustahilan yang mereka paparkan adalah kemustahilan yang jelas, yang mampu dicerna dengan tanpa berfikir dalam-dalam.

c.       Hukum ketiga
Semua sifat-sifat Allah itu adalah hal yang qodîmah (dahulu), bukan hadîstah (baru). Adapun keqodiman sifat itu sebab qodîmnya dzat Allah.
Mu'tazilah menolak hal ini karena menurut mereka menambah sifat-sifat pada dzat Allah itu berarti mengklaim bahwa banyak dzat-dzat yang qodîm selain Allah, dan itu mustahil. Penolakan tersebut terjawab oleh perkatan imam al Ghozali bahwa kemuhalan itu terdapat pada banyaknya dzat. Adapun banyaknya sifat pada dzat yang satu adalah bukanlah muhal, melainkan wajib. Adapun sifat-sifat ma'âni Allah itu tidak bisa dilepas dari dzat Allah. Maka tidak akan bisa terbayangkan berdirinya dzat Allah tanpa sifat-sifat ma'âni. Begitu pula sebaliknya, tak akan terjadi sifat-sifat ma'ani tersebut berdiri tanpa dzat Allah yang suci. Maka sifat-sifat Allah adalah qodimah. Jika sifat Allah tersebut adalah haditsah, sedangkan hal-hal yang baru tidak bisa menempel pada dzat Allah, maka hal ini adalah mustahil.
Setiap sessuatu yang hadist adalah jawaz adanya. Adapun sesuatu yang qodim adalah wujub adanya. Jika sifat Allah itu hadist maka hal ini bertentangan dengan wujudnya Allah yang wujub adanya. Adapun jawaz dan wujub itu dua hal yang yang bertentangan. Setiap dzat yang wujub adanya adalah mustahil disifati dengan sifat-sifat yang jawaz. Maka dzat Allah dan sifatnya adalah qodim.

d.      Hukum Keempaat
Sesungguhnya nama-nama Allah yang merupakan hasil dari sifat-sifat ma'ani adalah azali dan abadi bersama dzat Allah.  Maka Allah adalah hayun, qodirun, 'alimun, muridun, sami'un, bashirun dan mutakallimun dalam keqodimanNya. Adapun dalam sifat Allah yang bernuansa af'al (kerjaan) yang diambil dari sifat-sifatNya seperti rozzaq, kholiq, mu'iz dan mudzil, terdapat perbedaan pendapat.
Nama-nama Allah yang diambil dari dari sifat-sifatNya  dikumpulkan pada empat kategori :
1.      Sifat yang menunjukkan dzat Allah S.W.T seperti maujud. Dan nama ini adalah azali dan abadi bersama dzatNya.
2.      Sifat yang menunjukkan dzat Allah beserta dengan tambahan dari sifat salbiyah (sifat-sifat yang membedakan) seperti qodim, baqi, wahid, ghina. Maka nama-nama tersebut azali dan abadi bersama dzatNya.
3.      Sifat yang menunjukkan dzat Allah dengan sifat tambahan dari sifat-sifat ma'ani dan apapun yang berhubungan dengan sifat ma'ani seperti amr, nahi, khobir. Maka nama-nama ini azali dan abadi bersama dzatNya, karena sifat ma'ani sendiri adalah qodim.
4.      Sifat yang menunjukan adanya Allah dan disandarkan pada sebuah pekerjaan dari pekerjaan-pekerjaan Allah seperti al jawwad, ar rozzaq, al kholiq, al mu'iz, al mudzil. Dalam nama-nama ini terdapat khilaf.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama-nama ini azali dan abadi. Jika nama-nama ini tidak azali dan abadi maka pasti terdapat perubahan ketika penetapan nama yang diambil dari sifat-sifat Allah tersebut. Dan sebagian lainnya berpendapat bahwa nama-nama  tidak azali dan abadi bersama dzatNya. Karena ketika Allah tidak menciptakan alam ini, bagaimana Allah dinamakan Kholiq ?
Pertanyaan dijawab oleh imam al Ghozali. Bahwa nama Allah al kholiq adalah azali dan abadi bersama dzatNya. Karena setiap sesuatu yang menjadi syarat atas aktualisasi penciptaan adalah maujud (ada) pada zaman azali.
Seperti pedang misalnya. Pedang disebut benda yang melukai, baik telah melukai ataupun belum. Jika belum melukai maka pedang tetap dianggap benda yang melukai, dalam artian mempunyai potensi untuk melukai. Dan jika telah melukai maka jelas disebut benda yang melukai karena telah terjadi. Begitupun juga jika kita terapkan pada sifat-sifat Allah al kholiq. Maka sifat tersebut adalah azali dan abadi bersama dzatNya. Sebelum alam raya ini tercipta, Allah tetap disifati dengan sifat kholiq, karena potensi Allah dengan sifat-sifatNya mampu menciptakan alam ini. Begitupun nama-nama lainnya yang diambil dari sifat-sifat Allah.

B.     Menanggapi Pendapat-pendapat Yang Dianggap Tidak Sesuai Akidah
Telah kita ketahui bahwa banyak dari golongan-golongan yang berbeda pendapat akan sebuah akidah. Hal itu disebabkan mungkin karena ilmu dan pengetahuan yang berbeda-beda kadarnya. Atau karena doktrin awal dan bukan tidak mungkin jika sebuah perbedaan pendapat hanya didasari rasa gengsi.
Dirasa ilmu kalam adalah ilmu yang cukup rumit untuk dipelajari. Ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang sang Kholiq yang Esa. Karena itulah banyak yang kata bapak dosen kami adalah orang "bingung". Tidak sedikit orang yang sesat dibuatnya. Maka dari itu perlu kita tahan emosi kita agar tidak terlalu cepat menvonis seseorang atau segolongan sesat. Karena memang ilmu ini adalah ilmu yang sangat rumit untuk ditemukan kebenarannya.
Allah menjadikan pemikiran-pemikiran setiap orang berbeda, itu tidak mungkin tanpa sebuah hikmah. Memang ada sebagian golongan yang terlalu menonjol kesesatannya. Namun tidak seharusnya kita sebagai dokter langsung menvonis seseorang dengan tanpa perhitungan. Terlebih kita menjadikan orang tersebut sebagai ajang untuk saling menyalahkan dan mengadu keilmuan.
Telah kita ketahui dalam al I'tishod fil I'tiqod bahwa imam al Ghozali menggambarkan seorang ahli ilmu kalam adalah dokter yang membawa obat untuk menyembuhkan penyakit-penyakit akidah. Di kitab tersebut juga dijelaskan bahwa menarik seorang pasien yang sakit akidahnya dalam sebuah meja perdebatan tidak membuatnya sembuh dari sakitnya, bahkan hal itu membuatnya semakin sulit untuk terobati, karena hatinya yang tertutupi oleh penyakit lain (benci/marah) tidak akan menerima obat yang kita berikan. Maka dari itu, seyogyanya kita lebih bisa menempatkan ilmu kita dengan cara yang benar.















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam dua puluh sifat Allah tersebut terdapat empat hukum yaitu:
1.      Bahwa sesungguhnya sifat-sifat Allah adalah bukan dzat Allah itu sendiri, namun suatu tambahan pada dzatNya.
2.      Sifat-sifat Allah berada pada dzatNya.
3.      Sifat-sifat Allah adalah qodîm (dahulu), bukan hal yang hâdist (baru).
4.      Nama-nama Allah yang ditelurkan dari sifat-sifatNya adalah bersamaan denganNya dalam keazalian dan keabadiannya.
Kita dalam menanggapi perbedaan pendapat dalam suatu hal tidak seharusnya dengan mudah menyalahkan dan menvonis seseorang atau golongan. Terlebih dalam masalah ilmu kalam yang membicarakan hal yang tidak simple dan mudah. Namun sebaiknya kita menempatkan ilmu yang kita miliki dengan cara yang benar dan bisa membuahkan hasil, yaitu kesembuhan akidah pasien kita.

 
DAFTAR PUSTAKA
Al imam al Ghozali. Al'iqtishod fil I'tiqod. (dâr al quthaibah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar