Rabu, 03 Juni 2015

Pandangan UlamaTerhadap Isrāīliyyat Dan Hukum Periwayatanya



Pandangan UlamaTerhadap Isrāīliyyat Dan Hukum Periwayatanya
Oleh: Khoirudin Azis, Abdullah Nukman Toblawi, dan Abdul Latif

I. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang tidak akan berubah oleh campur tangan manusia, tapi pemahaman terhadap al-Qur’an tidak tetap, selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi kandungan al-Qur’an itu dalam rangka mengaktualkannya dalam bentuk konsep yang bisa dilaksanakan. Dan ini akan terus berkembang sejalan tuntutan dan permasalahan hidup yang dihadapi manusia, maka di celah-celah sinilah peluang bagi orang-orang yang ingin mmempengaruhi agama Islam dapat berperan.
Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur’an harus dipahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu, namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur’an, bahkan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan kosa katanya, tidak jarang mereka berbeda pendapat atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dengan yang mereka baca, apalagi memahami ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung cerita Isrāīliyyat.
Dalam kesempatan ini, penulis akan berusaha menjelaskan tentang Isrāīliyyat, yang mencakup: Apa itu Isrāīliyyat?, Bagaimana sejarah munculnya Isrāīliyyat?, Apakah ada perbedaan ulama dalam menanggapi Isrāīliyyat?, Siapa sajakah tokoh-tokohnya?,  Dan bagaimana hukum meriwayatkanya?.




II. Pengertian Isrāīliyyat
Kata ( (الإسرائيلياتsecara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata (الإسرا ئيلية) nama yang dinisbahkan kepada kata Isrāīl (Bahasa Ibrani) yang berarti Abdullāh (Hamba Allah Subḥānahu wa Ta’ālā).[1]
Secara terminologis, kata  (الإسرائيليات) , yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan dengan tafsir maupun hadis berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbatkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya.[2]
Menurut Ahmad Khālil Arsyad, Isrāīliyyat adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahlu al-Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak.[3]
Isrāīliyyat termasuk dongeng yang sengaja dimasukkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut sengaja dimasukkan dengan tujuan merusak akidah kaum Muslimin.[4]
Isrāīliyyat adalah berita-berita yang diceritakan Ahlu al Kitab dari agama Yahudi dan Nasrani yang masuk agama Islam.[5]
III. Sejarah Masuknya Isrāīliyyat Ke dalam Tafsir
Sebelum agama Islam datang, ada satu golongan yang disebut dengan kaum Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu. Mereka telah membawa pengetahuan keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari kitab suci mereka.[6] Dengan kata lain, adanya kisah Isrāīliyyat merupakan konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab Jahilīyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.[7]
Pada saat itu, Bangsa Arab sendiri tidak tahu terlalu banyak perihal kitab-kitab agama terdahulu yang banyak menceritakan tentang kejadian-kejadian penting, penciptaan alam dan sebagainya. Sehingga mereka harus bertanya kepada orang-orang Ahlu al kitab dari golongan Yahudi dan Nasrani apabila ingin mengetahuinya. Momen-momen seperti inilah yang menjadi pintu gerbang masuknya cerita-cerita Isrāīliyyat ke dalam bangsa Arab, Khususnya agama Islam.[8]Sehingga bersamaan dengan perkembangan zaman, Banyak mufassir yang mengunakan dan memasukkan cerita-cerita Isrāīliyyat dalam kitab tafsirnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa sejarah masuknya Isrāīliyyat dalam tafsir adalah:
1. Karena semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk agama Islam. Sebelumnya mereka adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala mereka masuk Islam tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut terlebih dahulu, sehingga dalam pemahamannya sering kali tercampur antara ajaran yang mereka anut terdahulu dengan ajaran agama Islam.
2. Adanya keinginan dari kaum Muslim pada waktu itu untuk mengetahui sepenuhnya tentang seluk-beluk bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi, di dalam al-Qur’an hanya mengungkapkan secara sepintas saja. Dengan ini maka muncullah kelompok mufasir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan kisah-kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Akibatnya dalam penafsiran menimbulkan suatu keganjalan dan terjadi kesalahaana dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, bahkan terkadang mendekati khurafat dan takhayul.
3. Adanya ulama Yahudi yang masuk Islam seperti Abdullāh bin Salam, Ka’ab bin Akhbār, Wahab bin Manabbih. Mereka dipandang mempunyai andil besar terhadap tersebarnya kisah Isrāīliyyat pada Muslim.[9]
Hal ini dipandang sebagai indikasi bahwa kisah Isrāīliyyat masuk ke dalam Islam sejak masa sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran al-Qur’an pada masa-masa sesudahnya.
IV. Pendapat Ulama Tentang Isrāīliyyat [10]
Dalam menanggapi Isrāīliyyat ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama, tidak membolehkan seorang untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kisah-kisah Isrāīliyyat Pendapat kedua, membolehkan penggunaan kisah-kisah Isrāīliyyat secara mutlak. Dari ke dua pendapat ini, terbagi dalam 4 kelompok yang masing-masing mempunyai sikap terhadap kisah Isrāīliyyat, yaitu:
  1. Kelompok yang sengaja memanfaatkan berita Isrāīliyyat dengan menyebutkan sanadnya, seperti Ibnu Jarir al-Thābari.
  2. Kelompok yang sengaja menggunakanya tetapi tanpa menyertakan sanad-sanadnya, seperti al-Baghāwi.
  3. Kelompok yang menyantumkan kisah-kisah Isrāīliyyat dengan memberikan penilaian-penilaiannya, seperti Ibnu Kathīr.
  4. Kelompok yang tidak menerima sama sekali kisah Isrāīliyyat, bahkan tidak menganggapnya sebagai bagian dari tafsiran al-Qur’an, seperti Muhammad Rashīd Ria.
Dari kedua pendapat di atas penulis lebih cenderung memilih pendapat yang ke dua yaitu memperbolehkanya penggunaan kisah-kisah Isrāīliyyat dalam penafsiran ayat al-Qur’an, asalkan dalam pengambilan atau penukilan kisah-kisah tersebut di lalui dengan jalur yang benar. Apabila dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak diperbolehkan menggunakan penukilan terhadap kisah-kisah Isrāīliyyat secara mutlaq, maka akan ada banyak ayat-ayat al-Qur’an yang tidak di ketahui maksud isinya, karena pada zaman dahunu nabi Muhammad tidak menafsirkan semua ayat al Qur’an. Pendapat ini di kuatkan dengan dalil hadis Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang ada pada sub anak judul di bawah.
IV. Tokoh-Tokoh Periwayat Isrāīliyyat[11]
1.      Abdullāh bin Salām
2.      Ka’ab bin Ahbār
3.      Wahab bin Manabbih
4.      Abdul Malik bin Abdul ‘Azīz bin Juraīj
V.  Hukum Periwayatan Isrāīliyyat
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Isrāīliyyat itu terbagi menjadi tiga macam: Pertama, cerita Isrāīliyyat yang ahih, itu boleh diterima. Kedua, Isrāīliyyat yang dusta yang kita ketahui kedustaannya karena bertentangan dengan syari’at, itu harus ditolak. Ketiga, Isrāīliyyat yang tidak diketahui kebenaran dan kepalsuannya itu didiamkan, tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula membohongkannya.
Dalam menanggapi masalah ini, Jumhur ulama membagi pendapatnya menjadi tiga bagian:
1. Mereka dapat menerima Isrāīliyyat selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis, hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam di bawah ini:
بلغوا عنى ولواية, وحدثوا عن بنى إسرائيل ولا حرج, ومن كذب عليَّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.[12]
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat, dan ceritakanlah dari bani Isrāīl , karena yang demikian itu tidak dilarang. Tetapi barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di Neraka.
2. Mereka tidak menerima selagi kisah Isrāīliyyat tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis.
3. Tawaqqūf atau mendiamkan. Mereka tidak menolak dan tidak membenarkannya.[13] Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di bawah ini:
لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذ بوهم, وقول امنا بالله وماأنزل إلينا,,, الآية.[14]
Janganlah kamu membenarkan (berita-berita yang dibawa) ahli kitab dan jangan pula mendustakanya, tapi katakanlah, kami beriman kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dan kepada yang diturunkan kepada kami.
Dari pendapat jumhur ulama yang telah dijelaskan di atas terdapat dua hadis. Penulis dalam hal ini akan memberikan sedikit penjelasan mengenai hadis tersebut, yang apabila dipahami dengan tidak teliti, maka akan menimbulkan kesan yang kontrversi antara ke dua hadis tersebut. Pada intinya, hadis yang pertama, diperbolehkanya menggunakan kisah-kisah Isrāīliyyat dan tidak ada larangan asalkan tidak ada dusta dalam pengambilan atau menukil kisah-kisah Isrāīliyyat tersebut. Sedangkan hadis yang ke dua, pada intinya hadis tersebut menjelaskan larangan membenarkan dan juga larangan mendustakan kisah-kisah Isrāīliyyat. Dalam hal ini bukan berarti dari kedua hadis nabi Muhammad tersebut terdapat kontraversi, namun yang dimaksud pada hadis yang ke dua tersebut masih terdapat kemungkinan apakah kisah-kisah Isrāīliyyat tersebut benar atau salah, dan juga menganjurkan kepada kita untuk lebih berhati-hati dalam menanggapi kisah-kisah Isrāīliyyat. Sehingga kita tidak boleh menolaknya secara mutlak kisah-kisah Isrāīliyyat tersebut.
Pendapat penulis ini dikuatkan dengan pendapat Syeikh Manna’ al-Qaṭṭan dalam kitabnya yang bernama Mubāhathu Fi Ulūm al-Qur’an.[15]
V. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, Isra’iliyat secara terminologis adalah seluruh riwayat yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani dan lainnya yang masuk dalam tafsir dan hadis. Asal-usul meraka sendiri berasal dari kaum Yahudi dan Nasrani yang masuk agama Islam namun mereka masih membawa sejarah tentang agama mereka dan memasukkannya kedalam tafsir dan hadis. Adanya keinginan sebagian dari kaum muslimin untuk mengetahui ihwal orang-orang Yahudi yang mempunyai peradaban tinggi di banding kaum muslimin di jazirah Arab pada watku itu. Isra’iliyat mempunyai dampak positif dalam penafsiran al-Qur’an, karena sesuatu atau cerita zaman dahulu yang tidak di jelaskan secara detail di dalam al-Qur’an tapi dijelaskan secara detail di dalam kitab Taurat, Injil dan lainya. Isra’iliyat juga memiliki dampak negatif terhadap penafsiran al-Qur’an, ia dapat merusak cintra agama Islam, merusak aqidah muslim dan memalingkan kaum muslimin dari ajaran al-Qur’an dan sunnah yang sebenarnya.

VI. Saran
Pada penyusunan makalah ini kamin sangat menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik lagi.
















VII. Daftar Pustaka
Husein Khalāf (al), Muhammad. Al-Yahudiyyah Bayna Al-Masihiyyah Wa                           Al-       Islam. Mesir: Al-Muassasah Al-Mishriyyah. 1962.
            Khalil Qaththan (al), Manna‘. Mubāhathu Fi Ulūm al-Qur’an. terj. Abdul                           Zulfidar             Akaha. Jakarta: Pustaka al-Kausar. 2013.
            Khālil Arsyad, Ahmad. Dirash fi al-quran. Mesir: Dar al-Ma’arif. 1972.
            Khalil Qaththan (al), Manna‘. Mubāhathu Fi Ulūm al-Qur’an, terj.                                      Mudzakir AS.             Jakarta: Litera Antar Nusa. 1996.
            Quraish Shihab, Muhammad. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan.                            1995.
            Goldziher, Ignaz. Madzahib at-Tafsir Al-Islami. Kairo: Al-Sunnah Al-                                 Muhammadiyah. 1995.
            Chirzin, Muhammad. Al-Quran dan Ulumul Quran. Yogyakarta: PT Dana                          Bhakti Primayasa. 1998.
Muhammad, Abī Abdillāh Ibn Isma’īl Al Bukhārī. Ṣahīh al Bukhārī. Damashku Bairūt: Dāru Ibn Kathīr. 2002.
Husaīn Dhāhbī (al), Muhammad. Tafsīr al-Mufassirūn. Cairo; Maktabah al- Wahbab. 1995.
Kafabihi, Agus Ahma., al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah Dan Tafsir Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press. 2011.
            file:///C:/Users/ACER/Downloads/makalah%20Ulumul%20Qur%E2%80                            %99an %20~%20Israiliyyat%20~%20_%20anasunni.htm,                                        Diakses pada Kamis, 23 April 2015.
           


[1] Muhammad Husein al-Khalāf, Al-Yahudiyyah Bayna Al-Masihiyyah Wa Al-Islam, (Mesir: Al-Muassasah Al-Mishriyyah, 1962), 14.
[2] Ibid,. 19-20.
[3] Ahmad Khālil Arsyad, Dirash fi al-quran, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), 15.
[4] Muhammad Husein al-Khalāf, Al-Yahudiyyah Bayna Al-Masihiyyah Wa Al-Islam, 20.
[5] Manna‘ Khalil al-Qaththan, Mubāhathu Fi Ulūm al-Qur’an, terj.  Abdul Zulfidar Akaha, LC (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2013), 445.
[6] Manna‘ Khalil al-Qaththan, Mubāhathu Fi Ulūm al-Qur’an, terj.  Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1996), 42.
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1995),  46.
[8] Tim Forum Karya Ilmiyah Raden (Refleksi anak Muda Pesantren), al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah Dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press, 2011), 257.
[9] Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir Al-Islami, (Kairo: As Sunnah Al-Muhammadiyah, 1995),  113.
[11] Muhammad Husaīn al Dhāhbī ,Tafsīr al-Mufassirūn, (Cairo; Maktabah al- Wahbab, 1995), 126-174.
[12] Abī Abdillāh Muhammad Ibn Isma’īl Al Bukhārī, ahīh al Bukhārī, (Damashku Bairūt: Dāru Ibn Kathīr, 2002), 336.
[13] Drs. Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta, PT Dana Bhakti Primayasa, 1998), 77-82.
[14] Abī Abdillāh Muhammad Ibn Isma’īl Al Bukhārī, ahīh al-Bukhārī, 337.

[15] Manna‘ Khalil al-Qaṭṭan, Mubāhathu Fi Ulūm al-Qur’an, terj.  Abdul Zulfidar Akaha, LC (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2013), 444.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar