Rabu, 03 Juni 2015

Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Ibadah Haji



Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Ibadah Haji
Oleh: Khoirudin Azis

I. Latar Belakang
            Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah satunya dan merupakan salah satu dari rukun Islam. Ibadah haji adalah sebagai tindak lanjut dalam pembentukan sikap mental dan akhlak yang mulia. Ibadah haji merupakan pernyataan umat Islam seluruh dunia, menjadi umat yang satu karena memiliki persamaan kepercayaan dan rasa persatuan agama. Memperkuat fisik dan mental, kerena ibadah haji merupakan ibadah yang berat dalam pelaksanaanya memerlukan persiapan fisik yang kuat, biaya besar dan memerlukan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi segala godaan dan rintangan. Ibadah haji menumbuhkan semangat yang tinggi dalam menegakkan agama Islam dan juga rela mengorbankan  baik harta, benda, jiwa besar dan pemurah, tenaga serta waktu untuk melakukannya.
            Haji merupakan rukun Islam yang kelima yang diwajibkan bagi seorang muslim-muslimah sekali sepanjang hidupnya bagi yang mampu melaksanakanya. Dengan melaksanakan ibadah haji bisa dimanfaatkan untuk membangun persatuan dan kesatuan umat Islam sedunia. Ibadah haji merupakan muktamar akbar umat Islam sedunia, yang pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia dan Ka'bahlah yang menjadi simbol kesatuan dan persatuan umat Islam.
   Di dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang haji yang mencakup pengertian haji dan beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang di dalamnya menjelaskan tentang ibadah haji. Di antara ayat-ayat tersebut  yaitu Surat al-Imrān ayat 97, Surat al-Baqarah ayat 197, dan Surat al-Hajj ayat 28.





II. Pengertian Haji dan Umrah
Di dalam makalah ini akan di jelaskan mengenai haji dan sedikit mengenai umrah, agar dapat di gunakan untuk membedakan antara haji dan umrah:
1.      Pengertian haji.
Makna haji secara لغة (bahasa) adalah القصد berkehendak, berniat, menyengaja. Sedangkan makna haji secara istilah adalah menyengaja/ bermaksud/ niat menuju ke Baitul haram untuk melaksanakan ibadah yang ditentukan dengan syarat-syarat yang ditentukan.[1]
2.      Pengertian umrah
            Umrah adalah berkunjung ke Ka’bah untuk melakukan serangkaiaan ibadah dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2]
3.      Perbedaan haji dan umrah.[3]
            Di bawah ini akan dijelaskan beberapa perbedaan mengenai haji dan umrah:
a. Dari segi waktu
Ibadah haji memiliki waktu tertentu, yaitu bulan-bulan yang tidak sah niat ihram haji, kecuali di dalamnya. Adapun bulan-bulan tersebut ialah Syawal, Dzulqa’dah, dan 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Sedangkan umrah dapat dilaksanakan kapanpun, yakni pada hari-hari selain waktu pelaksaan ibadah haji bagi orang yang berniat ihram haji saja.
b. Dari segi manasik
            Dalam pelaksanaanya, ibadah haji melaksakanan wukuf di Arafah, mabit di Muzdhalifah dan Mina, serta melempar jumrah. Sedangkan umrah hal-hal tersebut tidak dilakukan. Umrah hanya terdiri atas niat, ihram, ṭawaf, sa’i, halq, dan tahallul.
c. Dari segi hukum
            Ibadah haji hukumnya fardu (wajib) bagi yang mampu dari segi fisik maupun materi, sedangkan umrah hukumnya sunnah.



III. Penafsiran Surat Al-‘Imrān Ayat 97
A.    Lafadh Ayat 97 Surat Al-‘Imrān
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (QS. Ali-Imran; 97).[4]
B.     Penjelasan Lafadz
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai penjelasan ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai printah haji, yaitu Surat al-‘Imrān Ayat 97:
Pada lafadzفِيهِ ءايات بينات  (Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata) di antaranyaمَّقَام إبراهيم  (makam Ibrahim), yang dimaksud adalah batu tempat berpijaknya Ibrahim sewaktu mendirikan Baitullah itu. Kedua telapak kakinya meninggalkan bekas padanya sampai sekarang dan tetap sepanjang zaman walaupun pemerintahan yang berkuasa sudah silih berganti. Di antaranya pula dilipat gandakannya pahala kebaikan bagi yang shalat di dalamnya dan burung tidak dapat terbang di atas Ka’bah.
Pada lafadz وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِناً (dan barang siapa memasukinya menjadi amanlah dia) artinya bebas dari ancaman pembunuhan, keaniayaan dan lain-lain.
Pada lafadzوَللَّهِ عَلَى الناس حِجُّ البيت  (Mengerjakan haji di Baitullah itu menjadi kewajiban manusia terhadap Allah) Ada yang membaca hajja (حَجَّ) dengan makna menyengaja ( قصد). Lalu sebagai badal dari manusia (الناس) ialah مَنِ استطاع إِلَيْهِ سَبِيلاً (yakni orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya) yang oleh Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla. ditafsirkan dengan adanya perbekalan dan kendaraan, menurut riwayat Hakim dan lain-lain.
Pada lafadz وَمَن كَفَرَ  (Barang siapa yang kafir), Yang dimaksud disini adalah kafir terhadap Allah Subḥānahu wa Ta’ālā atau terhadap kewajiban haji.
Pada lafadz فَإِنَّ الله غَنِىٌّ عَنِ العال (maka sesungguhnya Allah Maha Kaya terhadap seluruh alam) artinya tidak memerlukan manusia, jin dan malaikat serta amal ibadah mereka.[5]
Ayat tersebut termasuk ayat yang tidak terdapat asbab an-Nuzulnya.
C.     Penjelasan ayat secara global
Ayat di atas merupakan dalil naqli dari diwajibkannya ibadah haji bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Ketaatan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji. Di samping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Ketika menjalankan ibadah haji, semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia, dengan beraneka ragam perbedaan berkumpul menjadi satu untuk mengagungkan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, menyaksikan tempat dimana ayat-ayat suci turun, tempat para nabi yang siddīq dan orang-orang yang shaleh pernah berkumpul serta memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun.
IV. Penafsiran Surat al- Baqarah Ayat 197
A.    Lafadz Ayat 197 Surat Al-Baqarah
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah; 197).[6]
B.     Penjelasan Lafadz Ayat 197 Surat Al-Baqarah
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai penjelasan ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai printah haji, yaitu Ayat 197 Surat al-Baqarah:
 Pada lafadz الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ maksudnya adalah waktu dan musimnya (beberapa bulan yang dimaklumi), yaitu Syawal, Zulkaidah dan 10 hari pertama bulan Zulhijah. Tetapi ada pula yang mengatakan seluruh bulan Zulhijah.[7]
Ulama’ berbeda pendapat dalam memaknai lafadz ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa bentuk lengkapnya adalah ibadah haji yang sesungguhnya ialah haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi untuk itu. Berdasarkan pengertian ini berarti  dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan ihram ibadah haji dalam bulan-bulan haji lebih sempurna daripada melakukan ihrah haji di luar bulan haji, sekalipun melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji hukumnya sah.[8]
Pada lafadz فَلاَ رَفَثَ (maka tidak boleh ia mencampuri istrinya), Maksudnya adalah bersetubuh.[9]
Pada lafadz  فَإِنَّ خَيْرَ الزاد التقوى وَتَزَوَّدُواْ (dan berbekal lah kamu dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa), yang di maksud lafadz  ini adalah yang akan menyampaikan kamu ke tujuan perjalananmu, artinya yang dipergunakan manusia untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain dan sebagainya. (Dan bertakwalah kamu kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.[10]
Ayat tersebut termasuk ayat yang tidak terdapat asbab an-Nuzulnya.
C.     Penjelasan ayat secara global
Ayat di atas termasuk ayat yang menjelaskan mengenai jika ingin melaksanakan haji maka harus memiliki bekal. Pada hari-hari yang telah ditentukan, dalam pelaksanaan haji seseorang yang telah niat akan melaksanakan haji hendaknya melaksanakanya dengan baik, sesuai syarat, rukun, wajib dan aturan-aturan lainya. Dalam pelaksanaan haji dalam seumur hidup di wajibkan hanya sekali. Dan kewajiban tersebut berlaku bagi yang mempunyai bekal dan mampu baik harta, mental, kekuatan fisik dan lain-lain. Namun telah di jelaskan juga pada ayat di atas, bahwa sebaik-baiknya bekal dalam pelaksanaan haji yaitu bekal takwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Di setiap saat marilah kita meningkatkan takwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, yaitu dengan menjalankan yang telah diwajibkan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dan menjahui segala larangan-Nya.
V. Penafsiran Surat Al-Hajj Ayat 28
A.    Lafad Surat Al-Hajj Ayat 28:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir (QS. Al-Hajj;28).[11]

B.     Penafsiran Surat Al-Hajj Ayat 28:
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai penjelasan ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai manfaat haji, yaitu Surat Al-Hajj Ayat 28:
Pada lafadz لِيَشْهَدُوا (Supaya mereka mempersaksikan), maksudnya adalah mendatangi مَنَافِعَ لَهُمْ  (berbagai manfaat untuk mereka) dalam urusan dunia mereka melalui berdagang, atau urusan akhirat atau untuk keduanya. Sehubungan dengan masalah ini ada berbagai pendapat mengenainya.
Pada lafadzوَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ  (dan supaya mereka menyebut nama Allah Subḥānahu wa Ta’ālā pada hari-hari yang telah ditentukan), maksudnya adalah tanggal sepuluh Zulhijah, atau hari Arafah, atau hari berkurban hingga akhir hari-hari Tasyriq; mengenai masalah ini pun ada beberapa pendapat.
Pada lafadz  عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ (atas rezeki yang telah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berikan kepada mereka berupa binatang ternak), yaitu unta, sapi dan kambing yang disembelih pada hari raya kurban dan ternak-ternak yang disembelih sesudahnya sebagai kurban. فَكُلُوا مِنْهَا (Maka makanlah sebagian daripadanya) jika kalian menyukainya.
Pada lafadz وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir), maksudnya adalah sangat miskin.
C.     Penjelasan secara global
Ayat di atas menjelaskan berbagai macam manfaat yang dapat kita ambil dari disyariatkanya melakukan ibadah haji. Pada hari-hari yang telah ditentukan untuk menjalankan ibadah haji yaitu hari-hari pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Karena dengan melaksanakan ibadah haji tersebut orang-orang akan banyak yang bertakbir, bertasbih, bertahlil dan banyak-banyak menyebut nama Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Dengan melakukan haji itu juga dapat menandakan bahwa orang-orang telah mensyukuri nikmat atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang yang melaksanakan haji tersebut. Ayat ini juga menjelaskan bahwa kita hendaknya menjadi seseorang yang suka menolong, harta yang kita miliki tidak cukup kita makan sendiri, namun ayat ini juga mengajarkan untuk saling berbagi kepada orang-orang fakir/miskin yang membutuhkannya.
VI. Hikmah Melaksanakan Haji
1.       Setiap perbuatan dalam ibadah haji sebenarnya mengandung rahasia, contoh seperti ihram sebagai upacara pertama maksudnya adalah bahwa manusia harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan hanya mengahadap diri kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.[12]
  1. Memperteguh Iman dan takwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā karena dalam ibadah tersebut diliputi dengan penuh kekhusyu’an.
  2. Ibadah haji menambahkan jiwa tauhid yang tinggi.
  3. Ibadah haji adalah sebagai tindak lanjut dalam pembentukan sikap mental dan akhlak yang mulia.
  4. Ibadah haji merupakan pernyataan umat islam seluruh dunia menjadi umat yang satu karena mempunyai persamaan atau satu akidah.
  5. Memperkuat fisik dan mental, kerena ibadah haji maupun umrah merupakan ibadah yang berat memerlukan persiapan fisik yang kuat, biaya besar dan memerlukan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi segala godaan dan rintangan.
  6. Menumbuhkan semangat berkorban, karena ibadah haji maupun umrah, banyak meminta pengorbanan baik harta, benda, jiwa besar dan pemurah, tenaga serta waktu untuk melakukannya.
  7. Dengan melaksanakan ibadah haji bisa dimanfaatkan untuk membina persatuan dan kesatuan umat Islam sedunia.
  8. Mendekatkan diri kepada  Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
  9. Menumbuhkan rasa Syukur atas nikmat yang didapat.

VII. Kesimpulan
            Dari uraian di atas dapat di disimpulkan menjadi beberapa poin, diantaranya yaitu:
1.      Haji berarti bersengaja mendatangi Baitullah (ka’bah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridha Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
2.       Ketaatan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā  itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji.
3.      Allah Subḥānahu wa Ta’ālā telah menjelaskan di dalam al-Qur’an tentang kewajibaan haji.
4.      Ibadah haji mengandung banyak manfaat.
5.      Dalam pelaksanaan ibadah haji, sebaik-baiknya bekal adalah takwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
6.      Disamping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
VIII. Kritik Dan Saran
Penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini dan senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat dan lebih baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.






IX. Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Muhammad, Jalaluddin Ibn Ahmad Al Mahalli, Abdurrahman, Jalaluddin Ibn Abi Bakr al-Suyuṭī. Tafsir Jalālaīn. Terj. Dani Hidayat.Tasik Malaya: Al Hidāyah, 2010.
Muhammad, Jalaluddin Ibn Ahmad Al Mahalli. Abdurrahman, Jalaluddin Ibn Abi Bakr al-Suyuṭī. Tafsir Jalālaīn. Surabaya: Al Hidāyah, t.th.
Hamid, Atiqah. Buku Lengkap Fiqih Wanita. Jogjakarta: Diva
Press, 2013.
Bugha (al), Musafa, dkk, Al-Fiqh Al-Manhajjī. ttp: Nurul Musafa, tth.



[1] Dr. Mustafa al-Bugha, dkk, Al-Fiqih al-Manhajjī, (ttp: Nurul Musafa, tth), 213.
[2] Atiqah Hamid, Buku Lengkap Fiqih Wanita (Jogjakarta: Diva
Press, 2013), 52.
[3] Ibid,.53.
[4] Al-Quran, 3; 97.
[5]Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Suyuī Tafsir Jalālaīn,(Surabaya: Al Hidāyah, t.th.), 1: 85.
[6] Al-Qur’an, 22; 197.
[7] Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Suyuī Tafsir Jalālaīn,Terj. Dani Hidayat, (Tasik Malaya: Al Hidāyah, 2010), 1: 286.
[8] Al-Imām Abu al-Fida Isma’īl Ibn  Kathīr al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, (Bairut; Dār al-Fikr, 2011), 214-215.
[9] Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Suyuī Tafsir Jalālaīn,(Surabaya: Al Hidāyah, t.th.), 1: 85.
[10]Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Suyuī Tafsir Jalālaīn,Terj. Dani Hidayat, (Tasik Malaya: Al Hidāyah, 2010), 1: 287.
[11] Al-Qur’an, 22; 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar