Rabu, 18 Maret 2015

HADITH ḌA’IF DITINJAU DARI SUDUT MATAN



HADITH ḌA’IF DITINJAU DARI SUDUT MATAN
Oleh: Khoirudin Azis 



I.     Pendahuluan
            Hadith merupakan salah satu sumber rujukan dalam Islam setelah al Qur’an. Hadith yang begitu banyak  jumlahnya tidak semuanya dijadikan pokok sandaran dalam Islam. Karena setelah dilihat, tidak semua hadith itu dapat diterima keṣahihannya atau kehujjahannya. Untuk mengetahui semua itu perlu adanya usaha atau kritik agar dapat diketahui kualitas hadiht, mana hadith yang dapat diterima dan mana hadith yang tidak dapat diterima.
            Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadith. Banyak sekali bahasan dalam ilmu hadith yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadith.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadith yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadith yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadith ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadith ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk lebih jelasnya, di dalam makalah ini penulis berusaha mengkaji tentang makna hadith ḍa’if ditinjau dari sudut matan dan bagaimana kehujjahan hadith ḍa’if tersebut.
II. Pengertian Hadith Ḍa’if.

الضعيف.
تعر يفه:
أ. لغة: ضد القوي, والضعف حسي ومعنوي, والمرادبه هنا الضعف المعنوي.
ب. اصطلاحا: هو ما لم يجمع صفة الحسن, بفقد شرط من شروطه.[1]
ما فقد شرطا أواكثر من شروط الصحيح أوالحسن.
Hadith ḍa’if  Ialah hadith yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadith ahih atau hadith hasan.[2]
Hadith ḍa’if adalah hadith yang di dalamnya tidak didapati syarat hadith ahih dan tidak pula didapati syarat hadith hasan”.[3]
III. Pembagian Hadith Ḍa’if  Ditinjau dari Sudut Matan.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai beberapa hadith ḍa’if ditinjau dari sudut matan.
1.      Hadith Mauqūf.
            Penisbatan matan kepada sahabat, disebut mauqūf:
        ما قصر على الصحابي قولاأوفعلامتصلاكان أومنقطعا.
“Berita yang hanya dinisbatkan kepada sahabat, baik yang dinisbatkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus”.[4]
Contoh hadith mauqūf :
يقول: إذاأمسيت فلاتنتظر الصباح وإذاأصبحت فلاتنتضرالمساء, وخذ من صحتك لمرضك, ومن حياتك لموتك.
“Konon Ibnu ‘Umar r. a. berkata: “Bila kau berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu”. (Riwayat Bukhāri)” .
            Hadith Bukhāri yang bersanad ‘Ali bin ‘Abdillāh, Muhammad bin ‘Abdurrahmān At-Thuwafi, Sulaiman Al-A’masy, Mujahid dan Ibnu Umar r. a. ini adalah hadith mauqūf. Sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu ‘Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasūlullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām memegang bahunya dengan bersabda:
كن فى الدّنيا كأنك غريب او عابرسبيل.
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan”.[5]
2.      Hadith Maqṭū’.
            Penisbatan matan kepada tabi’īn, disebut maqṭū’.
ماجاءعن تابعي من قوله أوفعله موقوفا عليه سواء اتصل سنده أم لا.
“Perkataan atau perbuatan yang berasal dari seseorang tabi’īn serta dinisbatkan kepadanya, baik sanadnya bersambung maupun terputus”.[6]
Contoh hadith maqṭū’:
المؤمن إذا عرف ربّه عزّ وجل أحبه, وإذاأحبه أقبل إليه.
“Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhanya ‘Azza Wajalla, niscaya ia mencintai-Nya, Allah menerimanya”.
            Contoh hadith ini adalah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’īn besar.[7]
3.      Hadith Muḍṭarib.
Muḍṭarib dari akar kata اِضْطَرَبَ يَضْطَرِبُ اِضْطِرَابًا فَهُوَ مُضْطَرِبٌ , berati guncang dan bergetar, seperti guncangan ombak di laut.[8]
Secara istilah hadith muḍṭarib adalah hadith yang diriwayatkan dari jalur yang berbeda-beda serta sama dalam tingkat kekuatanya, dimana jalur satu dengan yang lainya tidak memungkinkan untuk disatukan atau digabungkan dan tidak memungkinkan pula untuk dipilih salah satu yang terkuat.[9]
Ketidaktetapan (Al-Iḍṭirab) kadang-kadang terjadi pada sanad hadith dan kadang-kadang terjadi pada matanntya. Namun terjadinya ketidak tetapan (Al-Iḍṭirab) pada sanad lebih banyak dari pada terjadi pada matanya. Adapun contoh muḍṭarib pada matan, seperti hadith yang diriwayatkan At-Tirmidhi dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya’bi dari Fatimah bin Qays berkata: Rasūlullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām ditanya tentang zakat menjawab:
 إنّ في المال لحقَا سوى الزّكاة.
“Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat”.
 Sementara pada riwayat Ibnu Majah melalui jalan ini Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām bersabda:
ليس فيالمال حقٌّ سوى الزّكاة
“Tidak ada hak pada harta selain zakat”.
Al-Iraqi berkata: “Hadith di atas terjadi Iḍṭirab tidak mungkin ditakwilkan”. Hadith pertama menyatakan adanya hak bagi harta selain zakat, sedangkan hadith kedua menyatakan sebaliknya, yakni tidak adanya hak selain zakat atau hanya zakat saja sebagai hak harta.[10]
4.      Hadith Maqlūb.
Maqlūb dari akar kata قَلَبَ يَقْلِبُ قَلْباً فَهُوَ مَقْلُوْبٌ  , berati mengubah, mengganti, perpindah, dan tau membalik. Hati dalam bahasa Arab adalah Al- Qalbu, karena sifat hati itu berpindah-pindah, berbolak balik. Dalam hadith maqlūb akan terjadi terbaliknya redaksi hadith.[11]
Hadith maqlūb menurut istilah adalah hadith yang terjadi padanya taqdīm atau takhīr, yakni (mendahulukan yang kemudian atau sebaliknya) pada sanad atau matan atau menggantinya dengan yang lain.[12]   
Hadith maqlūb terbagi menjadi dua bagian yaitu maqlūb sanad dan maqlūb matan. Contoh hadith maqlūb matan yaitu seperti hadith Abu Hurairah pada Imam Muslim tentang tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat di bawah naungan ‘Arsh-Nya, di dalamnya disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan laki-laki yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kirinya”.
Bunyi hadith ini dirubah oleh seorang perawi, padahal yang sebenarnya:
 وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ شمِاَلَهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan laki-laki yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kanannya”. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Bukhari.[13]
5.      Hadith Munqalib.
Munqalib menurut bahasa artinya yang berbalik atau yang berpaling. Sedangkan menurut istilah adalah hadith yang sebagian dari lafaz matannya terbalik karena siperawi, sehingga berubahlah maknanya.[14]
Hadith munqalib hampir sama dengan hadith maqlūb, hanya saja kebanyakan ulama mengkhususkan munqalib apabila terjadi pembalikan lafaz dalam matan.[15]
6.      Hadith Mudraj.
Mudraj berasal dari kata أَدْرَجَ يُدْرِجُ إِدْرَاجًا فَهُوَ مُدْرَجٌ , yang berarti memasukkan atau menghimpun dan atau menyisipkan.[16] Sedangkan secara istilah adalah hadith yang asal sanadnya atau matannya tercampur dengan sesuatu yang bukan bagiannya.[17] Mudraj itu ada dua bagian, yaitu mudraj pada sanad dan mudraj pada matan.    Mudraj pada matan yaitu hadith yang dimasukkan ke dalam matannya sesuatu yang tidak bagian dari padanya tanpa ada pemisah. Contohnya yaitu hadith riwayat Al-khāthib dari Abi Qathan dan Syababah dari Syu’bah dari Muhammad bin Zayad dai Abu Hurairah berkata: Rasūlullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām bersabda:
اَسْبِغُواالْوُضُوْءَ وَيْلٌ لِلاَعْقَابِ مِنَالنَّارِ.
Pada hadith tersebut kalimat Asbighūl al-Wuḍū’a adalah kalimat Abu Hurairah sendiri.[18]
7.      Hadith Muṣahhaf.
Dari segi bahasa, muṣahhaf berasal dari kata صَحَّفَ يُصَحِّفُ تَصْحِيْفًا فَهُوَ مُصَحِّفٌ, yang berarti salah baca tulisan (ṣahifah).[19]
Secara istilah adalah hadith yang terjadi padanya perbedaan dengan riwayat yang thiqah (kepercayaan) yang lain, dengan mengubah satu huruf atau beberapa huruf serta tetap rupa tulisan yang asli.[20]
Contoh muṣahhaf, hadith nabi Muhammad Ṣalallāhu’alyhiwasallām:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهَرَ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dan diikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia sama dengan berpuasa satu tahun.
Hadith ini di-taṣīf-kan oleh Abu Bakar Ash-Shuli dengan ungkapan:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ اتَّبَعَهُ شَيْئًا مِنْ شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
Perkataan sittān yang artinya enam, oleh Abu Bakar Ash-Shuli di ubah dengan shaiān, yang berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah makna karenanya.[21] Muṣahhaf dalam hadith tersebut terjadi pada matan.
8.      Hadith Muharraf.
Muharraf berasal dari kata حرّف يحرّف تفريحا فهو محرّف  , yang berarti mengubah atau mengganti.[22]
Sedangkan menurut istilah adalah hadith yang harakat dan sukun dari huruf yang ada pada matan dan sanadnya berubah dari asalnya.[23]
Contoh hadith Muharraf, Jabir berkata:
رُمِىَ أُبَىٌّ يَوْمَ الأَحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
“Ubay dipanah pada peperangan Ahzāb di urat lengannya, maka Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām mengobatinya dengan besi panas. (HR. Ad-Daruquthni).
Hadith di atas di-tahhrīf (diubah) oleh Ghandar pada kata Ubay menjadi Abī = ayahku. Maksud Jabir menjelaskan yang terpanah atau mati syahid pada peperangan Ahzāb adalah Ubay bin Ka’ab bukan bapaknya sendiri, bapaknya meninggal dunia pada perang Uhud sebelum perang Ahzāb.[24]
Meskipun beberapa sebab terjadinya muharraf, tetapi yang umum adalah karena mengambil hadith dari isi kitab hadith tidak bertemu langsung dengan gurunya. Terjadinya Muharraf itu terkadang ada pada sanad dan terkadang pada matanya. Contoh di atas merupakan contoh dari muharraf dari segi matan.
9.      Hadith Mubham
Mubham (البمهم) menurut bahasa adalah samar, tidak jelas. jadi perowinya atau orang ketiga yang menjadi objek pembicaraan tidak di jelaskan siapa nama dan dari mana dia.[25]
Adapun pada istilah adalah hadith yang pada matan atau sanadnya ada seorang yang tidak disebut namanya. Mubham adakalanya ada dalam sanad dan adakalanya ada pada matannya.
Adapun contoh hadith mubham dalam sanad yaitu hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah ra. Berkata: “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām: “Sedekah apa yang paling utama? Rasul menjawab: Sedekah sedang Anda dalam keadaan sehat, sangat perlu..”.[26]
Hukum mubham dalam sanad, jika terjadi pada seorang sahabat tidak apa-apa, karena semua sahabat adil dan jika terjadi pada selain sahabat jumhur ulama menolaknya sehingga diketahui identitasnya seperti majhul ‘ain, sedang mubham dalam matan tidak mengapa dan tidak mengganggu keṣahihan hadith.
10.  Hadith Shadh.
Dari segi bahasa, shadh berasal dari kata شذّ يشذّ شذا فهو شاذّ , diartikan ganjil, tidak sama dengan yang mayoritas.[27]
Hadits shadh adalah hadith yang diriwatkan oleh orang yang maqbūl, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama[28]. Hadits shadh ini dapat terjadai pada sanad dan juga dapat terjadi pada matan.
Contoh hadis shadh pada matan, hadith yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfū’, Rasulullah Ṣalallāhu’alyhiwasallām bersabda:
إِذَا صَلَّى أحَدُكُمْ رَكْعَتَي الفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ.
“Jika telah shalat dua rakaat fajar salah seorang di antara kamu, hendaklah tidur pada lambung kanan”.
Al-Baihaqi berkata: periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Shadh karena menyalahi mayoritas perawiyang meriwayatkan dari segi perbuatan nabi bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri di antara para perawi thiqāh. Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh Al- Bukhari dari Aisyah:
كان نبي صلى الله عليه وسلّمإذا صلى ركعتي اضطجع على شقّه الأيمن
“Nabi muhammad Ṣalallāhu’alyhiwasallām ketika telah melaksanakan shalat dua rakaat fajar tiduran pada lambung sebelah kanan”.[29]


  IV. Berhujjah dengan Hadith Ḍa’īf.
Para ulama’ terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadith ḍa’īf. Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadith ini:
1.      Menurut Yahya Ibn Ma’īn Abu Bakar Ibn ‘Arabi, al-Bukhāri, Muslim, dan Ibn Hazm, hadith ḍa’īf tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam maasalah faḍāil al’mal maupun hukum.
2.      Menurut Abu Dawūd dan Ahmad Ibn Hambal bahwa hadith ḍa’īf dapat diamalkan secara mutlak. Menurut mereka hadith ḍa’īf kedudukanya lebih kuat jika di bandingkan dengan pendapat manusia.
3.      Menurut Ibn Hajar al-‘Asqālani, hadith ḍa’īf dapat dijadikan hujjah dalam masalah faḍāil al a’mal, mawā’izh, al-tarhib wa al-targhīb, dan sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu.[30]
            Syarat-syarat itu adalah:
a.       Keḍa’ifannya tidak parah, seperti hadith yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan.
b.      terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan.
c.       ketika mengamalkan tidak beriktikad bahwa hadith itu thubūt, tetapi sebaiknya dalam rangka berhati-hati.
Menurut penulis pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, sebab masalah keutamaan-keutamaan (faḍāil al-a’mal) dan kemuliaan akhlak (makarim al-akhlaq), termasuk pula mawā’ih, al-tarhib wa al-targhīb merupakan tiang-tiang agama yang tidak ada berbeda dengan hukum yang harus berdasar hadith Ṣahih atau hasan, karena semuanya itu harus bersumber dari hadith yang maqbūl.       Pendapat ini sependapat dengan pendapatnya seorang ulama’ ahli hadith yang bernama Muhammad ‘Ajjaj al-Khātib.[31]
V. Kesimpulan
Dari hasil penyusunan makalah ini dapat diambil beberapa keseimpulan, diantaranya:
1.      Hadith ialah sesuatu yang di sandarkan kepada nabi Muhammad Ṣalallāhu’alyhiwasallām, baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan, atau yang lain misalnya berkenaan dengan sifat fisik, budi pekerti dan sebagainya.
2.      Hadith ḍa’if adalah hadith yang tidak terkumpul padanya sifat hadith Ṣahih dan hasan.
3.      Hadith a’if  ditinjau dari sudut matan ada banyak jenisnya diantaranya yaitu  hadith mauqūf, hadith maqṭū’, hadith mudhtharib, hadith maqlub, hadith munqalib, hadith mudraj, hadith mushahhaf, hadith muharraf, hadith mubham, hadith shadh. Dan lain-lain.
VI. Saran
Pada penyusunan makalah ini kamin sangat menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik lagi.












Daftar Pustaka
Khaeruman, Badri, Ulumul al-Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2014.
Indri, Studi Hadis,  Jakarta, Prenada Media Group, 2010.
Zuhri, Muhammad, Telaah Hadis Historis dan Metodologis, Yogyakarta                             Tiara Wacana Yogya, 2011.
Aththahan, Mahmud, Taisir Musṭālah al-Hadith, ttp. , Darul Fikr, tth.
Qaththan (al), Syaikh Manna’, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, Pengantar                          Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta Timur,                            Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung, PT Alma’arif,                2012.
Majid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2013.
Hasan, Ahmad Qadir, Ulumul Hadis, Bangil, Al-Muslimun,1966.   
Anwar, Muhammad, Ilmu Musthalahul Hadits, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981.


[1] Dr. Mahmūd Aththahan, Taisir Musthalah Hadith, (ttp. : Dārul Fikr, tth.), 14.
[2] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 166.
[3] Syaīkh Manna’ Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol Abdurrahmān, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 129.
[4] Ibid., 131.
[5] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 166.
[6] Dr. Badri Khaeruman, Ulumul Al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,  2010), 131.
[7] Ibid., 131.
[8] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 219.
[9] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 161.
[10] Ibid., 162.
[11] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 217.
[12] Ibid., 156.
[13] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 158.
[14] A. Qadir Hasan, Ulumul Hadis, (Bangil: Al-Muslimun, 1966). 50.
[15] M. Anwar, Ilmu Musthalahuh Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), 154.
[16] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 215.
[17] Ibid., 153.
[18] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 217.
[19] ibid,.hlm. 220.
[20] ibid., hlm. 221.
[21] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 194.
[22] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 220.
[23] A. Qadir Hasan, Ilmu Hadis, (Bangil: Al-Muslimun, 1966. 80.
[24] Ibid., 222.
[25] Ibid,. 210.
[26] Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 210.
[27] Ibid., 222.
[28] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mubāhathu Fī ‘Ulum al Hadīth, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 166.
[29] Ibid., 224.
[30] Dr. Indri, Studi Hadis, (Jakarta, Prendana Media Grup,  2010), hlm. 245.
[31] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadists (Bandung: PT Alma’arif, 2012), 246.