Puasa Ramaḍan, Puasa Nadhar
dan Puasa Qaḍa
I. Pendahuluan
Puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Oleh sebab itu setiap orang yang
beragama Islam dan beriman diperintahkan dan diwajibkan untuk menjalankan
puasa. Melaksanakan ibadah puasa ini selain untuk mematuhi perintah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā juga untuk menjadi
tangga ketingkat taqwa, karena takwalah dasar keheningan jiwa dan keluhuran
budi dan akhlak.
Puasa mempunyai banyak faidah
bagi rohani dan jasmani kita. Ibadah puasa juga mengandung aspek sosial. Selain
itu, ibadah puasa juga dapat menunjukkan bahwa orang-orang beriman sangat patuh
kepada Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā karena mereka mampu menahan makan, minum, nafsu dan hal-hal yang
membatalkan puasa lainya.
Adapun macam-macam puasa di tinjau
dari hukumnya, puasa bisa di klasifikasikan menjadi puasa wajib, puasa sunah,
puasa haram, dan puasa makruh. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa puasa yang
dihukumi wajib adalah suatu keharusan yang harus dilakukan dan apabila puasa
wajib tersebut ditinggalkan atau tidak dilaksanakan maka akan mendapat dosa.
Ibadah puasa merupakan salah satu
tema pembahasan yang sangat menarik untuk dikaji, karena selain ibadah puasa
diperintahkan untuk umat islam, puasa juga diperintahkan pada umat-umat terdahulu.
Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang puasa yang tergolong dihukumi
wajib, yaitu puasa Ramaḍan, puasa Nadhar dan puasa Qaḍa.
II. Pengertian Puasa
الصّيام:
إِمْشَاكٌ عَنْ مُفْطِرٍ بِنِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ جَمِيْعَ نَهَارٍ قَابِلِ لِلصَّومِ
مِنْ مُسْلِمٍ عَاقِلٍ طَاهِرٍ مِنْ حَيْضٍ وَنِفَاسٍ.[1]
Kata
“Ṣiyām” ( (صِيَا مٌdan
“Saūm” ( (صَوْمٌkeduanya adalah bentuk masdar yang
arti menurut bahasa ialah “menahan” dan menurut syara’ ialah menahan dari
perkara yang membatalkan puasa dengan niat tertentu pada seluruh hari yang dapat
dibuat berpuasa oleh orang Islam, berakaal sehat, suci dari haid dan nifas,[2]
Ṣiyām
menurut lughah (bahasa) adalah menahan diri. Sedangkan menurut syara’
ialah menahan dari makan, minum, jima’ dan lain-lain yang dituntut oleh
syara’, di siang hari menurut cara yang disyari’atkan. Atau menahan diri dari
makan, minum dan jima’ dari terbit fajar sampai terbenam matahari,
karena mengharap pahala dari Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā.[3]
Puasa menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
adalah salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan,
minum, dan segala yang membatalkanya mulai terbit fajar sampai terbenam
matahari.[4]
Puasa
merupakan ibadah yang di dalamnya terdapat penyucian jiwa, derajat tinggi untuk
ruh, dan sehat bagi tubuh. Barang siapa yang melaksanakanya karena mengikuti
perintah Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā dan
mengharapkan riḍanya,
maka itu menjadi penghapus bagi semua dosanya dan menjadi penyebab masuk surga,
sebagaimana sabda Rasulullah Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallam” Barang
siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, ia diampuni
dari segala dosanya yang terdahulu”.[5]
Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat dikatakan bahwa puasa pada
dasarnya mengandung pengertian menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan
yang dilarang oleh syariat agama Islam.
III. Syarat-Syarat
Wajib Berpuasa[6]
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal sehat
4. Kuasa (mampu) mengerjakan puasa
1.
Niat
2.
Menahan dari makan dan
minum
3.
Menahan bersetubuh
dengan sengaja
4.
Menahan muntah dengan
sengaja
V. Perkara Yang Membatalkan Puasa[8]
1/2. Masuknya sesuatu
benda dengan sengajasaampai ke lubang yang membuka.
3. Mengobati salah satu dari kedua jalan yakni mengobati orang yang sakit pada
bagian kubul/dubur.
4. Muntah dengan sengaja
5. Sengaja wathi
6. Keluar air mani
7. Haid
8. Nifas
9. Gila
10. Murtad
VI. Dalil disyariatkanya Puasa
Di bawah ini akan disebutkan beberapa dalil mengenai
disyariatkanya puasa, baik dalil dari dalam al-Qur’an maupun al-Hadis:
1. Adapun dalil dari dalam al-Qur’an yang menjelaskan
tentang puasa yaitu terdapat pada surah al-Baqarah ayat 183:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.[9]
2. Sedangkan dalil dari al-hadis
Nabi Muhammad Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam mengenai puasa yaitu
terdapat pada sabda Nabi Muhammad Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang dinyatakan dalam
hadis bahwa Islam dibangun atas lima tiang (Rukun Islam):
عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن
الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : بني
الإسلام على خمسٍ ؛ شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، وإقام الصلاة
وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان. [10]
Dari Abu Abdirrahman,
Abdullah bin Umar bin al-Khathab radhiallahu 'anhuma berkata: Saya mendengar
Rasulullah bersabda: "Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan". (HR
Bukhari no. 8).
VII. Macam-Macam
Puasa Wajib
1.
Puasa Ramaḍan
Puasa Ramaḍan adalah puasa wajib bagi seseorang yang telah mukallaf
yang dilaksanakan pada bulan suci Ramaḍan. Puasa ini hukumnya wajib, yaitu apabila dikerjakan
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa. Puasa Ramaḍan adalah farḍu
‘ain bagi setiap orang mukallaf yang mampu berpuasa. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā telah menjelaskan mengenai puasa Ramaḍan dalam firman-Nya Surat al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[11]
Selama
bulan Ramaḍan, seorang perempuan diwajibkan berpuasa, meskipun ia di dampingi
suamiya. Sebab puasa Ramaḍan
hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan oleh siapapun, kecuali bagi mereka
yang benar-benar tidak mampu melaksanakanya (wanita hamil, menyusui, lanjut
usia, sakit, musafir, dan lain sebagainya)[12].
Hal ini menjelaskan bahwasanya seorang perempuan apabila tidak ada udhur
tertentu tetap diwajibkan untuk melaksanakan puasa Ramaḍan dikarenakan puasa Ramaḍan hukumnya wajib, tidak seperti dalam puasa sunnah yang
dalam pengamalanya harus mendapatkan izin dari suaminya. Apabila seorang suamai
tidak memberikan ijin kepada istri maka seorang perempuan tersebut tidak diperbolehkan
melakukan puasa sunnah.
2.
Puasa Nadhar
A.
Pengertian
Puasa Nadhar
Puasa Nadhar adalah puasa yang diwajibkan orang kepada
dirinya sendiri dengan cara bernadhar (qaul) kepada Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā, maka yang bersangkuatan harus berpuasa sesuai nadharnya,
baik cara maupun jumlahnya.
Bernadhar artinya berjanji akan berpuasa, misalnya yaitu
sembuh dari sakit atau jika diperkenankan sesuatu maksud yang baik (yang bukan
maksiat) dalam rangka mensyukuri nikmat atau untuk mendekatkan diri kepada
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, maka wajiblah atasnya untuk melaksanakannya.
Puasa Nadhar pada dasarnya utang, bahkan lebih tegas lagi karena
biasanya dikaitkan dengan sesuatu. Oleh karena itu, seorang yang bernadhar
wajib melaksanakan puasa nadhar tersebut sebab ia sendiri yang
membuatnya wajib. Dengan mengatakan, misalnya, “Jika saya sembuh nanti, maka
saya akan puasa selama lima hari berturut-turut,” maka setelah sembuh
puasa lima hari berturut-turut tersebut wajib baginya untuk dilaksanakan.
Disyariatkannya nadhar bisa dilihat dari dalil-dalil yang
ada di dalam al-Qur’an. Contohnya yaitu terdapat pada surat al-Baqarah ayat
270:
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ
نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ
أَنصَارٍ
Apa
saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya. orang-orang yang berbuat zalim
tidak ada seorang penolongpun baginya.” (QS. Al Baqarah: 270).[13]
Jika seseorang memiliki nadhar kemudian meninggal tanpa
sempat menunaikan nadharnya, maka puasa nadhar itu diwariskan atau
ditanggung oleh wali atau pewarisnya untuk disempurnakan. Hal ini di jelaskan
pada hadis Nabi Muhammad Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang diriwaratkan
oleh Sa’ad bin ubadalah r.a. :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَاَةً قَالَتْ:
يَارَسُولَ اللهِ اَنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ اَفَاَصُوْمُ
عَنْهَا ؟ قَالَ: اَرَاَيْتِ
لَوْ كَانَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتُهُ اَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكَ
عَنْهَا ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ فَصُوْمِى عَنْ اُمِّكِ.
Dari Ibnu Abbas r.a: sesungguhnya ada seorang perempuan telah
bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “ya Rasulullah s.a.w, sesungguhnya ibuku
telah meninggal duniam dan ia meninggalkan keajiban puasa nadzar yang belum
sempat ia tunaikan, apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?”
rasulullah s.a.w, menjawab;”apakah pendapatmu, kalau seandainya ibumu mempunya
hutang, dan kamu membayarnya. Apakah hutangnya
terbayarkan?”. Perempuan tadi, menjawab: “ia”. Dan Nabi s.a.w, bersabda:
“berpuasalah untuk ibumu”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim).[14]
B.
Macam-macam
Puasa Nadhar.[15]
a.
Puasa
Nafsi
Puasa Nafsi
melaksanakan puasa yang berkaitan dengan pribadi masing-masing.
b.
Puasa
Ahli
Ialah
melaksanakan suatu puasa Nadhar yang ada kaitannya dengan orang lain
(maksudnya bukan untuk pribadi sendiri). Contohnya: misal ada seseorang yang
kita nazarkan, dan dengan nazar kita orang itu dari perbuatan yang tidak baik
menjadi baik.
c.
Puasa
Juri’at
Ialah
melaksanakan sesuatu Nadhar kepada tempat ibadah. Yang dimaksud tempat
ibadah di sini ialah tempat-tempat yang suci, contohnya adalah, Bernadhar
ke Baitullah (Rumah Allah), Bernadhar ke Masjidin Nabawi (Rumah Nabi), Bernadhar
ke Baitul Muqadis/Masjidil Aqsha (Rumah Suci).
Adapun tatacara
pelaksanaan Puasa Nadhar sama seperti pelaksanaan dalam melaksanakan
puasa Ramaḍan. Hanya niatanya sebagai berikut:
نَوَيْتُ
صَوْم غَدٍ لِنَذَرٍ فَرْضَا ِللهِ تَعَالَى
Saya niat
berpuasa besok hari untuk menunaikan nadhar (dalam hati menyebut nadharnya)
fardu karena Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
C.
Puasa Qaḍa
Lafadz “Qaḍa” adalah bentuk
masdar dari kata dasar “qaḍaa”, yang artinya; memenuhi atau
melaksanakan. Adapun menurut istilah dalam Ilmu Fiqh, Qaḍa dimaksudkan
sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh
Syariat Islam. Misalnya, Qaḍa puasa Ramaḍan yang berarti
puasa Ramaḍan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramaḍan. Puasa Qaḍa
adalah puasa untuk menggantikan puasa Ramaḍan yang kita
tinggalkan karena sebab syar’i.
Orang yang wajib puasa Qaḍa itu adalah yang diharuskan berbuka puasa atau tidak puasa karena
sessuatu sebab yang diizinkan oleh syara’, di bawah ini beberapa contoh
seseorang yang di perbolehkan meninggalkan puasa, namun wajib meng Qaḍa:
1.
Orang
Sakit dan Musafir
Islam memberi keringanan atau rukhsah harus berbuka puasa
atau tidak puasa kepada orang sakit dan musafir. Tapi tetap mereka ini wajib
mengganti qada puasa yang tertinggal pada hari-hari lain.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا
أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[16]
2. Wanita hamil/menyusui anak
Bagi
wanita yang hamil/menyusui anak, apabila di khawatirkan akan membahayakan
kesehatanya diantara keduanya maka boleh tidak berpuasa, namun wajib mengqadha
di hari lain selain bulan ramadhan tersebut.[17]
Dalil yang menjelaskan mengenai puasa qada:
مَنْ
مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.[18]
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih
memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.
Niat Puasa Qadha:
نويت صوم غد عن قضاء فرض رمضان لله تعالى
Aku niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Ramaḍan karena Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
.
VIII. Hikmah Puasa
Puasa memiliki hikmah yang sangat besar terhadap manusia, baik terhadap individu
maupun sosial, terhadap rohani maupun jasmani. Terhadap rohani, puasa juga
berfungsi mendidik dan melatih manusia agar terbiasa mengendalikan hawa nafsu
yang ada dalam diri setiap individu. Puasa juga mampu melatih kepekaan dan
kepedulian sosial manusia dengan merasakan langsung rasa lapar yang sering
diderita oleh orang miskin dan dituntunkan untuk membantu mereka dengan
memperbanyak shadaqah.
Sedangkan terhadap jasmani, puasa bisa mempertinggi kekuatan dan ketahanan
jasmani kita, karena umumnya penyakit bersumber dari makanan, dan sebenarnya
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menciptakan makhluk-Nya termasuk manusia sudah ada kadarnya. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberikan kelebihan
demikian pula keterbatasan pada manusia, termasuk keterbatasan pada soal kadar
makan-minumnya.
Berikut ini beberapa contoh hikmah yang kita dapatkan setelah berjuang seharian
berpuasa:
- Bulan Ramadhan bulan melatih diri untuk disiplin waktu. Dalam tiga puluh hari kita dilatih disiplin bagai tentara, waktu bangun kita bangun, waktu makan kita makan, waktu menahan kita shalat, waktu berbuka kita berbuka, waktu shalat tarawih, iktikaf, baca al-Qur’an kita lakukan sesuai waktunya. Bukankah itu disiplin waktu namanya? Ya kita dilatih dengan sangat disiplin, kecuali orang tidak mau ikut latihan ini.
- Bulan Ramadhan bulan yang menunjukkan pada manusia untuk seimbang dalam hidup. Di bulan Ramadhan kita bersemangat untuk menambah amal-amal sunat.
- Bulan Ramadhan adalah bulan yang mengajarkan manusia akan pentingnya arti persaudaraan, dan silaturahmi.
- Bulan Ramadhan mengajarkan agar peduli pada orang lain yang lemah.
- Bulan Ramadhan mengajarkan akan adanya tujuan setiap perbuatan dalam kehidupan.
- Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita hidup ini harus selalu mempunyai nilai ibadah. Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah, menolong orang ibadah, berbuat adil pada manusia ibadah, tersenyum pada saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai tidurnya orang puasa ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga kita terbiasa hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah.
- Bulan Ramadhan melatih diri kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap perbuatan, terutama yang mengandung dosa.
- Bulan Ramadhan melatih kita untuk selalu tabah dalam berbagai halangan dan rintangan.
- Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan arti hidup hemat dan sederhana.
- Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan pentingnya rasa syukur kita, atas nikmat-nikmat yang diberikan pada kita.
Dan masih banyak lagi manfaat atau hikmah puasa yang lain
baik di dalam bidang kesehatan dan lain-lain.
IX. Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis akan
berusaha menyimpulkan makalah sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini:
Puasa adalah menahan dari
perkara yang membatalkan puasa dengan niat tertentu pada seluruh hari yang
dapat dibuat berpuasa oleh orang Islam, berakaal sehat, suci dari haid dan nifas.
Macam-macam puasa ditinjau dari
hukumnya, puasa bisa diklasifikasikan menjadi puasa wajib, puasa sunah, puasa
haram, dan puasa makruh. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa puasa yang
dihukumi wajib adalah suatu keharusan yang harus dilakukan dan apabila puasa
wajib tersebut ditinggalkan atau tidak dilaksanakan maka akan mendapat dosa.
Yang termasuk puasa wajib yaitu puasa Ramadhan, Nadhar dan Puasa Qaḍa’.
Puasa Ramaḍan adalah puasa wajib bagi seseorang yang telah mukallaf
yang dilaksanakan pada bulan suci Ramaḍan. Puasa Nadhar
adalah puasa yang diwajibkan orang kepada dirinya sendiri dengan cara bernadzar
(qaul) kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, maka yang bersangkuatan harus
berpuasa sesuai nadharnya, baik cara maupun jumlahnya. Puasa qadha adalah
puasa yang di laksanakan di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam.Puasa
wajib tidak boleh di tinggalkan oleh siapapun, kecuali wanita
hamil, menyusui, lanjut usia, sakit, musafir, dan lain sebagainya.
X.
Kritik dan Saran
Penulis memohon maaf
atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini dan senantiasa mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat dan lebih
baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
XI. Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Muhammad (al), Syaikh Ibn Qasīm Al-Ghazī. Fathu Al-qarīb
Al-Mujīb. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2013.
Muhammad (al), Syaikh Ibn Qasīm Al-Ghazī. Fathu Al-qarīb
Al-Mujīb. terj. Drs. Imran Abu Amar. Kudus: Menara Kudus. 1982.
Shiddieqy (al), Teungku Muhammad Hasbi. Kuliah Ibadah.
Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2010.
Sugono, Dendy, Dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2013
Nawawi (al), Imam. Al-Wafi fii Syarhil ‘Arba’in An-Nawawwiyah,
terj. Pipih Imran Nurtsanti, Solo: Insan Kamil, 2013.
Muhammad, Abī Abdillāh Ibn Isma’īl Al Bukhārī. Ṣahīh al Bukhārī.
Damashku Bairūt: Dāru Ibn Kathīr. 2002.
Hamid, Atiqah. Buku Lengkap Fiqih Wanita. Jogjakarta: Diva
Press, 2013.
Press, 2013.
http://rumaysho.com/puasa/qadha-puasa-dan-fidyah-7867, Di kutip; jumat, 10 april 2015.
Cerminan Hati
Al-Insan 10.58 , dalam http://coretan binder hijau.
blogspot. com/2013/02/makalah-puasa_5157.html (diakses 19 maret 2015).
[1]
Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb
Al-Mujīb (Bairut-Lebanon: Dār Al-Kotob Al-ilmiyah, 2013), 66.
[2]
Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb
Al-Mujīb, terj. Drs. Imran Abu Amar,
(Kudus: Menara Kudus, 1982), 182.
[3]PROF. DR.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2010), 161.
[4] Dendy
Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013), 1110.
[5] Imam
An-Nawawi, Al-Wafi fii Syarhil ‘Arba’in An-Nawawwiyah, terj. Pipih Imran
Nurtsanti, (Solo: Insan Kamil, 2013), 56.
[6]
Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb
Al-Mujīb, terj. Drs. Imran Abu Amar,
(Kudus: Menara Kudus, 1982), 182.
[7] Ibid.,182-183
[8] Ibid.,183-184
[9]
Al-Qur’an,7: 183.
[10] Abī Abdillāh Muhammad Ibn Isma’īl Al Bukhārī, Ṣahīh al Bukhārī, (Damashku Bairūt: Dāru Ibn Kathīr, 2002),
12.
[11] Al
Qur’an,2;185.
[12] Atiqah
Hamid, Buku Lengkap Fiqih Wanita (Jogjakarta: Diva
Press, 2013), 47.
Press, 2013), 47.
[13] Al-qur’an,
2; 270.
[15] Cerminan
Hati Al-Insan 10.58 , dalam http://coretan binder hijau.
blogspot. com/2013/02/makalah-puasa_5157.html (diakses 19 maret 2015).
[16] Al
Qur’an
[17]
Al-Syaikh Muhammad Ibn Qasīm Al-Ghazī, Fathu Al-qarīb
Al-Mujīb, terj. Drs. Imran Abu Amar,
(Kudus: Menara Kudus, 1982), 190.
[18] Abī Abdillāh Muhammad bin Isma’īl bin ibrahim bin mughirah al-Bukhārī, Ṣahīh a- Bukhārī, (Bairūt-Libanan:
Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1971), 353.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar