Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Ibadah Haji
Oleh: Khoirudin Azis
I. Latar Belakang
Ibadah dalam agama Islam
banyak macamnya. Haji adalah salah satunya dan merupakan salah satu dari rukun
Islam. Ibadah haji adalah sebagai tindak lanjut dalam pembentukan sikap mental
dan akhlak yang mulia. Ibadah haji merupakan pernyataan umat Islam seluruh
dunia, menjadi umat yang satu karena memiliki persamaan kepercayaan dan rasa
persatuan agama. Memperkuat fisik dan mental, kerena ibadah haji merupakan ibadah
yang berat dalam pelaksanaanya memerlukan persiapan fisik yang kuat, biaya
besar dan memerlukan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi segala godaan
dan rintangan. Ibadah haji menumbuhkan semangat yang tinggi dalam menegakkan
agama Islam dan juga rela mengorbankan baik harta, benda, jiwa besar dan pemurah,
tenaga serta waktu untuk melakukannya.
Haji merupakan rukun Islam
yang kelima yang diwajibkan bagi seorang muslim-muslimah sekali sepanjang
hidupnya bagi yang mampu melaksanakanya. Dengan melaksanakan ibadah haji bisa
dimanfaatkan untuk membangun persatuan dan kesatuan umat Islam sedunia. Ibadah
haji merupakan muktamar akbar umat Islam sedunia, yang pesertanya berdatangan
dari seluruh penjuru dunia dan Ka'bahlah yang menjadi simbol kesatuan dan
persatuan umat Islam.
Di dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang haji yang
mencakup pengertian haji dan beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang di dalamnya
menjelaskan tentang ibadah haji. Di antara ayat-ayat tersebut yaitu Surat al-Imrān ayat 97, Surat al-Baqarah
ayat 197, dan Surat al-Hajj ayat 28.
II. Pengertian Haji dan Umrah
Di dalam makalah ini akan di
jelaskan mengenai haji dan sedikit mengenai umrah, agar dapat di gunakan untuk
membedakan antara haji dan umrah:
1.
Pengertian
haji.
Makna haji secara لغة (bahasa) adalah القصد berkehendak,
berniat, menyengaja. Sedangkan makna haji secara istilah adalah menyengaja/ bermaksud/
niat menuju ke Baitul haram untuk melaksanakan ibadah yang ditentukan dengan
syarat-syarat yang ditentukan.[1]
2.
Pengertian
umrah
Umrah adalah berkunjung ke Ka’bah
untuk melakukan serangkaiaan ibadah dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2]
3.
Perbedaan haji dan umrah.[3]
Di bawah ini
akan dijelaskan beberapa perbedaan mengenai haji dan umrah:
a. Dari segi waktu
Ibadah haji memiliki waktu tertentu,
yaitu bulan-bulan yang tidak sah niat ihram haji, kecuali di dalamnya. Adapun
bulan-bulan tersebut ialah Syawal, Dzulqa’dah, dan 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah.
Sedangkan umrah dapat dilaksanakan kapanpun, yakni pada hari-hari selain waktu
pelaksaan ibadah haji bagi orang yang berniat ihram haji saja.
b. Dari segi manasik
Dalam
pelaksanaanya, ibadah haji melaksakanan wukuf di Arafah, mabit di Muzdhalifah
dan Mina, serta melempar jumrah. Sedangkan umrah hal-hal tersebut tidak
dilakukan. Umrah hanya terdiri atas niat, ihram, ṭawaf, sa’i, halq, dan
tahallul.
c. Dari segi hukum
Ibadah
haji hukumnya fardu (wajib) bagi yang mampu dari segi fisik maupun materi, sedangkan
umrah hukumnya sunnah.
III. Penafsiran Surat Al-‘Imrān Ayat 97
A.
Lafadh Ayat 97 Surat Al-‘Imrān
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ
مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ
حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam
Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam (QS. Ali-Imran; 97).[4]
B.
Penjelasan Lafadz
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai penjelasan ayat
al-Qur’an yang menjelaskan mengenai printah haji, yaitu Surat al-‘Imrān
Ayat 97:
Pada lafadzفِيهِ ءايات بينات (Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata) di antaranyaمَّقَام
إبراهيم (makam Ibrahim), yang dimaksud adalah batu
tempat berpijaknya Ibrahim sewaktu mendirikan Baitullah itu. Kedua telapak
kakinya meninggalkan bekas padanya sampai sekarang dan tetap sepanjang zaman
walaupun pemerintahan yang berkuasa sudah silih berganti. Di antaranya pula
dilipat gandakannya pahala kebaikan bagi yang shalat di dalamnya dan burung
tidak dapat terbang di atas Ka’bah.
Pada lafadz وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِناً (dan barang siapa memasukinya menjadi amanlah dia) artinya
bebas dari ancaman pembunuhan, keaniayaan dan lain-lain.
Pada lafadzوَللَّهِ عَلَى الناس حِجُّ البيت (Mengerjakan
haji di Baitullah itu menjadi kewajiban manusia terhadap Allah) Ada yang
membaca hajja (حَجَّ) dengan makna menyengaja ( قصد). Lalu sebagai badal dari manusia (الناس) ialah مَنِ
استطاع إِلَيْهِ سَبِيلاً (yakni orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan
kepadanya) yang oleh Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla.
ditafsirkan dengan adanya perbekalan dan kendaraan, menurut riwayat Hakim dan
lain-lain.
Pada lafadz وَمَن كَفَرَ (Barang siapa yang
kafir), Yang dimaksud disini adalah kafir terhadap Allah Subḥānahu wa Ta’ālā
atau terhadap kewajiban haji.
Pada lafadz فَإِنَّ الله غَنِىٌّ عَنِ العال (maka sesungguhnya Allah Maha Kaya terhadap seluruh alam)
artinya tidak memerlukan manusia, jin dan malaikat serta amal ibadah mereka.[5]
Ayat tersebut
termasuk ayat yang tidak terdapat asbab an-Nuzulnya.
C.
Penjelasan ayat secara global
Ayat di atas
merupakan dalil naqli dari diwajibkannya ibadah haji bagi setiap muslim yang
memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Ketaatan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā itulah tujuan utama
dalam melakukan ibadah haji. Di samping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Ketika menjalankan
ibadah haji, semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia, dengan beraneka ragam
perbedaan berkumpul menjadi satu untuk mengagungkan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, menyaksikan tempat
dimana ayat-ayat suci turun, tempat para nabi yang siddīq dan orang-orang yang shaleh pernah berkumpul serta
memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun.
IV. Penafsiran Surat al- Baqarah Ayat 197
A.
Lafadz
Ayat 197 Surat Al-Baqarah
الْحَجُّ أَشْهُرٌ
مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا
جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الألْبَابِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah
kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah; 197).[6]
B.
Penjelasan
Lafadz Ayat 197 Surat Al-Baqarah
Di
bawah ini akan dijelaskan mengenai penjelasan ayat al-Qur’an yang menjelaskan
mengenai printah haji, yaitu Ayat 197 Surat al-Baqarah:
Pada lafadz الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ maksudnya adalah waktu dan musimnya (beberapa bulan yang
dimaklumi), yaitu Syawal, Zulkaidah dan 10 hari pertama bulan Zulhijah. Tetapi
ada pula yang mengatakan seluruh bulan Zulhijah.[7]
Ulama’ berbeda pendapat dalam memaknai lafadz ini.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa bentuk lengkapnya adalah ibadah haji yang
sesungguhnya ialah haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi untuk
itu. Berdasarkan pengertian ini berarti
dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan ihram ibadah haji dalam bulan-bulan
haji lebih sempurna daripada melakukan ihrah haji di luar bulan haji, sekalipun
melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji hukumnya sah.[8]
Pada lafadz فَإِنَّ
خَيْرَ الزاد التقوى وَتَزَوَّدُواْ (dan berbekal lah kamu dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa), yang di maksud lafadz ini adalah yang akan menyampaikan kamu ke
tujuan perjalananmu, artinya yang dipergunakan manusia untuk menjaga dirinya
agar tidak menjadi beban bagi orang lain dan sebagainya. (Dan bertakwalah kamu
kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.[10]
Ayat tersebut
termasuk ayat yang tidak terdapat asbab an-Nuzulnya.
C.
Penjelasan ayat secara global
Ayat
di atas termasuk ayat yang menjelaskan mengenai jika ingin melaksanakan haji
maka harus memiliki bekal. Pada hari-hari yang telah ditentukan, dalam
pelaksanaan haji seseorang yang telah niat akan melaksanakan haji hendaknya
melaksanakanya dengan baik, sesuai syarat, rukun, wajib dan aturan-aturan
lainya. Dalam pelaksanaan haji dalam seumur hidup di wajibkan hanya sekali. Dan
kewajiban tersebut berlaku bagi yang mempunyai bekal dan mampu baik harta,
mental, kekuatan fisik dan lain-lain. Namun telah di jelaskan juga pada ayat di
atas, bahwa sebaik-baiknya bekal dalam pelaksanaan haji yaitu bekal takwa kepada
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Di setiap saat marilah kita meningkatkan takwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, yaitu dengan menjalankan yang telah diwajibkan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dan menjahui segala larangan-Nya.
V. Penafsiran
Surat Al-Hajj Ayat 28
A.
Lafad Surat Al-Hajj Ayat 28:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ
لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا
رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang
Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian
daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara lagi fakir (QS. Al-Hajj;28).[11]
B.
Penafsiran
Surat Al-Hajj Ayat 28:
Di
bawah ini akan dijelaskan mengenai penjelasan ayat al-Qur’an yang menjelaskan
mengenai manfaat haji, yaitu Surat Al-Hajj Ayat 28:
Pada
lafadz لِيَشْهَدُوا (Supaya mereka mempersaksikan), maksudnya
adalah mendatangi مَنَافِعَ لَهُمْ
(berbagai manfaat untuk mereka) dalam
urusan dunia mereka melalui berdagang, atau urusan akhirat atau untuk keduanya.
Sehubungan dengan masalah ini ada berbagai pendapat mengenainya.
Pada
lafadzوَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ
مَعْلُومَاتٍ (dan
supaya mereka menyebut nama Allah Subḥānahu wa Ta’ālā pada hari-hari
yang telah ditentukan), maksudnya adalah tanggal sepuluh Zulhijah, atau hari
Arafah, atau hari berkurban hingga akhir hari-hari Tasyriq; mengenai masalah
ini pun ada beberapa pendapat.
Pada lafadz عَلَى
مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ (atas rezeki yang telah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berikan
kepada mereka berupa binatang ternak), yaitu unta, sapi dan kambing yang
disembelih pada hari raya kurban dan ternak-ternak yang disembelih sesudahnya
sebagai kurban. فَكُلُوا مِنْهَا (Maka makanlah sebagian daripadanya) jika
kalian menyukainya.
Pada lafadz وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (dan berikanlah untuk dimakan orang-orang
yang sengsara lagi fakir), maksudnya adalah sangat miskin.
C.
Penjelasan
secara global
Ayat di atas
menjelaskan berbagai macam manfaat yang dapat kita ambil dari disyariatkanya
melakukan ibadah haji. Pada hari-hari yang telah ditentukan untuk menjalankan
ibadah haji yaitu hari-hari pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari
pertama dari bulan Dzulhijjah. Karena dengan
melaksanakan ibadah haji tersebut orang-orang akan banyak yang bertakbir,
bertasbih, bertahlil dan banyak-banyak menyebut nama Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Dengan melakukan haji itu juga dapat menandakan bahwa orang-orang telah
mensyukuri nikmat atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang yang
melaksanakan haji tersebut. Ayat ini juga menjelaskan bahwa kita hendaknya
menjadi seseorang yang suka menolong, harta yang kita miliki tidak cukup kita
makan sendiri, namun ayat ini juga mengajarkan untuk saling berbagi kepada orang-orang
fakir/miskin yang membutuhkannya.
VI. Hikmah Melaksanakan
Haji
1.
Setiap perbuatan dalam
ibadah haji sebenarnya mengandung rahasia, contoh seperti ihram sebagai upacara
pertama maksudnya adalah bahwa manusia harus melepaskan diri dari hawa nafsu
dan hanya mengahadap diri kepada Allah
Subḥānahu wa Ta’ālā.[12]
- Memperteguh Iman dan takwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā karena dalam ibadah tersebut diliputi dengan penuh kekhusyu’an.
- Ibadah haji menambahkan jiwa tauhid yang tinggi.
- Ibadah haji adalah sebagai tindak lanjut dalam pembentukan sikap mental dan akhlak yang mulia.
- Ibadah haji merupakan pernyataan umat islam seluruh dunia menjadi umat yang satu karena mempunyai persamaan atau satu akidah.
- Memperkuat fisik dan mental, kerena ibadah haji maupun umrah merupakan ibadah yang berat memerlukan persiapan fisik yang kuat, biaya besar dan memerlukan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi segala godaan dan rintangan.
- Menumbuhkan semangat berkorban, karena ibadah haji maupun umrah, banyak meminta pengorbanan baik harta, benda, jiwa besar dan pemurah, tenaga serta waktu untuk melakukannya.
- Dengan melaksanakan ibadah haji bisa dimanfaatkan untuk membina persatuan dan kesatuan umat Islam sedunia.
- Mendekatkan diri kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
- Menumbuhkan rasa Syukur atas nikmat yang didapat.
VII. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di
disimpulkan menjadi beberapa poin, diantaranya yaitu:
1.
Haji
berarti bersengaja mendatangi Baitullah (ka’bah) untuk melakukan beberapa amal
ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu tertentu
pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari
ridha Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
2.
Ketaatan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā itulah tujuan utama dalam
melakukan ibadah haji.
3.
Allah
Subḥānahu wa Ta’ālā telah menjelaskan di dalam al-Qur’an tentang
kewajibaan haji.
4.
Ibadah
haji mengandung banyak manfaat.
5.
Dalam
pelaksanaan ibadah haji, sebaik-baiknya bekal adalah takwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
6.
Disamping
itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
VIII.
Kritik Dan Saran
Penulis memohon maaf
atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini dan senantiasa mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat dan lebih
baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
IX. Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Muhammad, Jalaluddin Ibn Ahmad Al Mahalli, Abdurrahman, Jalaluddin
Ibn Abi Bakr al-Suyuṭī. Tafsir Jalālaīn. Terj. Dani Hidayat.Tasik Malaya:
Al Hidāyah, 2010.
Muhammad, Jalaluddin Ibn Ahmad Al Mahalli. Abdurrahman, Jalaluddin
Ibn Abi Bakr al-Suyuṭī. Tafsir Jalālaīn. Surabaya: Al Hidāyah,
t.th.
Hamid, Atiqah. Buku Lengkap Fiqih Wanita. Jogjakarta: Diva
Press, 2013.
Press, 2013.
Bugha (al), Musṭafa,
dkk, Al-Fiqh Al-Manhajjī. ttp: Nurul Musṭafa, tth.
http://jungpasir27.blogspot.com/2013/10/makalah-mata-kuliah-fiqih-tentang-haji.html
Diakses: Minggu, 4, 2015.
[2] Atiqah
Hamid, Buku Lengkap Fiqih Wanita (Jogjakarta: Diva
Press, 2013), 52.
Press, 2013), 52.
[3]
Ibid,.53.
[4]
Al-Quran, 3; 97.
[5]Jalaluddin
Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Suyuṭī Tafsir
Jalālaīn,(Surabaya:
Al Hidāyah, t.th.), 1: 85.
[6]
Al-Qur’an, 22; 197.
[7]
Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr
al-Suyuṭī Tafsir Jalālaīn,Terj. Dani Hidayat, (Tasik Malaya: Al Hidāyah, 2010), 1: 286.
[8]
Al-Imām Abu al-Fida Isma’īl Ibn Kathīr al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’anul
Adzim, (Bairut; Dār al-Fikr, 2011), 214-215.
[9]
Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr
al-Suyuṭī Tafsir Jalālaīn,(Surabaya: Al Hidāyah,
t.th.), 1: 85.
[10]Jalaluddin
Muhammad Ibn Ahmad Al Mahalli, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Suyuṭī Tafsir
Jalālaīn,Terj.
Dani Hidayat, (Tasik Malaya: Al Hidāyah, 2010),
1: 287.
[11]
Al-Qur’an, 22; 28.
[12] http://jungpasir27.blogspot.com/2013/10/makalah-mata-kuliah-fiqih-tentang-haji.html,
dikutip: Minggu, 13, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar