Kamis, 10 September 2015

Tafsir al-Adābiwaal-Ijtimā’i, Tahlily, Nuzūli Dan MaūḌu’i, Sektarian dan Kontemporer



Tafsir al-Adābiwaal-Ijtimā’i, Tahlily, Nuzūli Dan MaūḌu’i, Sektarian dan Kontemporer
Oleh: Khoirudin Azis


I. Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam sebagai penyempurna atas kitab-kitab umat terdahulu. Seluruh ayat al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Meskipun al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab, namun tidak serta-merta ayat-ayat al-Qur’an bisa difahami secara langsung oleh semua lapisan umat. Oleh karena itu diperlukan sebuah penafsiran agar ayat-ayat yang sukar untuk difahami dan dimengerti maknanya menjadi mudah untuk difahami.
Usaha untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an dari masa ke masa tak kunjung surut. Semakin hari semakin berkembang usaha untuk memahami al-Qur’an seiring dengan berjalannya waktu, hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena al-Qur’an merupakan wahyu yang berlaku secara universal bagi seluruh umat. Meskipun al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab namun dalam hal ini tidak serta-merta lafaẓ-lafaẓ yang tertulis dalam mushaf bisa difahami oleh semua lapisan umat terutama oleh orang-orang Arab sendiri yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penafsiran untuk memudahkan umat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam dalam memahami al-Qur’an. Sebab, tidak semua ayat al-Qur’an khususnya yang membicarakan tentang hukum dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, diperlukan lah sebuah penafsiran untuk memudahkan umat Rasulullah  Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam  serta untuk memahami pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an.
Berangkat dari latar belakang diatas, dalam makalah ini akan dijelaskan penjelasan mengenai al-Adābiwaal-Ijtimā’i, Tahlily, Nuzūli Dan MaūḌu’i, Sektarian dan Kontemporer yang meliputi pengertian, bagaimana perkembangannya, serta kitab-kitab apa saja yang termasuk dalam karakteristik tafsir tersebut.
II. Corak Tafsir Sosial Kemasyarakatan (Al-Adābi Waal-Ijtimā’i).
A.    Pengertian Tafsir al-Adābiwaal-Ijtimā’i
Al-adābi wa al-ijtimā’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adābi dan al-ijtimā’i. Kata al-adābi dilihat dari bentuknya termasuk madar  dari fi`il mai “aduba”, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtimā’i bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adābiwaal-Ijtimā’i adalah tafsir yang berorientasi pada perilaku dan kemasyarakatan.[1]
Syaīkh Manna’ Qathan memberikan definisi tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i sebagai: “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan dengan uraian tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan gaya al-Qur’an dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang mushkīl dengan maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati penyakit masyarakat dengan petunjuk al-Qur’an. ”Jadi dapat kita simpulkan bahwa tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i adalah  tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.[2]
Dari definisi di atas, dapat diketahui beberapa hal yang dianggap sebagai unsur atau ciri dari tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i, yaitu:
1. Tafsir ini menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa al-Qur’an serta ketelitian redaksinya, yang di dalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat memberikan sentuhan Iman dan rangsangan intelektual.
2. Dalam tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat al-Qur’an dikaitkan dengan sunatullah serta peran dan kedudukan akal sangat penting.
3. Tafsir ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang dipandang penting untuk mendorong pembangunan demi kemakmuran masyarakat. Pemahaman dan pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang bersumber dari al-Qur’an.
4. Disamping mempergunakan daya intelektual, tafsir ini juga menggunakan riwayat-riwayat (athār) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan antara pendekatan akal, athār dan sejarah.[3]
B. Corak Tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i
Corak penafsiran pada tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu:
1.      Memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusah membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, sebab mustahil al-Qur’an sebagai kalamullah tidak memeiliki relevansi dalam ayat-ayat dan surahnya.
2.      Keumuman kandungan al-Qur’an. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Qur’an bersifat universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa, bukan umat tertentu saja.[4]
3.      Al-Qur’an sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu Al-Qur’an. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat Al-Qur’an musykil hanya tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
4.      Menerangi taklid buta. Salah satu aliran tafsir ini adalah berusaha menghilangkan taklid buta dalam masyrakat Islam, karena dianggap menyebabkan  umat Islam beku, tidak dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat. Pendapat tengtang perlunya membuka pintu ijtihad dan usaha memerangi taklid didasarkan atas kepercayaan al-Qur’an pada kekuatan akal.
5.      Penggunaan daya pikir serta nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya. Karena itu lah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberikan anugerah kepada manusia berupa dua macam ayat-Nya, yaitu al-Qur’an (wahyu) dan ayat kauniyyah (alam semesta).[5]
6.      Peranan akal (nalar) dalam pemahaman al-Qur’an. Salah satu corak aliran Islam ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-Qur’an sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afalā ta’qilun, afalā tatafakkarun dan sebagainya.
      Karena itu, wahyu dan akal keduanya merupakan tanda kekuasaan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dalam wujud ini. Kedua tanda kekuasaan itu tidak mungkin berlawanan karena:
a.       Keduanya menjadi tanda zat yang mutlak sempurna. Akal manusia memustahilkan adanya perlawanan antara tanda-tanda tersebut karena perlawanan itu berarti suatu kelemaha.
b.      Wahyu dan akal keduanya menjadi sumber hidayah, keduanya menuntun pada jalan yang lurus untuk kehidupan manusia dan menentukan tujuan akhir manusia dalam kehidupannya di atas dunia ini. Kedua hal yang demikian keadaannya tidak akan berbeda di dalam garis besar dalam menentukan arah dan tujuan hidup manusia.
7.      Tidak menjelaskan masalah mubham yang terdapat dalam al-Qur’an. Aliran tafsir ini tidak menjelaskan yang mubha, yaitu persoalan yang samara tau tidak di terangkan  hakikatnya dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh al-Baqarah (sapi betina) dan al-qaryah yang masing-masing di sebut dalam surat al-Baqarah ayat 67 dan ayat 58, juga wafaqihah, wa abba pada ayat 31 surat ’Abasa dan lain-lain.
Sepeninggal Muhammad Abduh, karya tafsir ini dilanjutkan oleh Rashid Riḍa. Dia berusaha mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dengan berbagai disiplin ilmu seperti: fiqh, uṣul fiqh, pengetahuan tentang rijal al-Hadis (hokum-hukum) kemasyarakatan, pendapat-pendapat para mufassir serta ulum Al-Qur’an.
C.     Tokoh-tokoh Tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i
1.      Syaikh Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[6] Muhammad Abduh terkenal sebagai orang yang tajam pemikiranya. Dalam usia enam tahun telah menghafal Al-Qur’an setelah itu ia di kirim ayahnya ke Tanta untuk belajar ilmu-ilmu agama kemudian pergi ke Kairo dan tinggal di Mesjid al-Azhar sebagai sufi.
Pada tahun 1294 H ia telah memperoleh ijazah sarjana dari al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika itu dating ke Mesir. Muahmmad Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan kuliah-kuliahnya, baik di rumahnya, di kafenya, ketika ia sedang berkunjung atau dikunjungi. Kedua tokoh ini merasa ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga mereka akhirnya saling membantu dan sama-sama menaruh rasa suka.[7] Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[8]
2.      Sayyid Muhammad Rashid Riḍa
Sayyid Muhammad Rashid Ria dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW. Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan tersebut.Keluarga Ria dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “syaikh”.[9]
D.    Kelebihan dan Kekurangan
Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir al-adābiwaal-ijtimā’i juga mempunyai kelebihan  dan kekurangan tersendiri. Adapun kelebihan dan kekurangan corak tafsir adabi ijtima’i bisa dirinci bahwa kelebihannya adalah  dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan  sisi kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal  ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal). Sehingga bisa dipastikan bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtimai belum tentu sesuai dengan keadaan yang ada pada masyarakat lain.
III. TAFSIR TAHLILY, NUZŪLI DAN MAŪḌU’I
A.    Pengertian Tafsir Tahlily,
1.      Pengertian Tafsir Tahlily
Secara bahasa tahlily berarti analisa, penguraian, penjelasan bagian-bagian dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, metode tafsir tahlily adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum  dalam mushaf al-Qur’an. Penafsiran ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat.[10]
2.      Ciri-ciri Metode Tafsir Tahlily
Penafsiran metode ini dapat mengambil bentuk ma’thur ataupun ra’y.
Adapun kitab yang menggunakan bentuk ma’thur adalah:
a.       Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān karangan Ibn Jarir al-Thabari.
b.      Ma’ālim al-Tanzīl karangan al-Baghawi.
c.       Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm karangan Ibn Katsir.
d.      Al-Durr al-Mantsūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr karangan al-Suyuthi.
Adapun kitab yang menggunakan bentuk al-ra’y antara lain:
a.       Tafsīr al-khāzin karangan al-Khazin.
b.      Anwār al-Tanzīl Wa Asrār al-Ta’wīl karangan al-Baydhāwī.
c.       Al-Kasysyāf karangan al-Zamakhsyarī.
d.      ‘Arāis al-Bayān fi Haqāiq al-Qur’ān karangan al-Syirazi.
e.       Al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi.
f.       Al-Jawāhir fi Tafsīr al-Qur’ān karangan Thanthawi Jauhari.
Tafsīr al-Manār karangan Muhammad Rasyid Ridha.[11]
3.      Langkah-Langkah Yang Ditempuh Dalam Metode Tahlily
Diantara langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir yang tergolong dalam metode ini adalah:
a.       Menerangkan munasabah al-Qur’an.
b.      Menjelaskan asbāb al-nuzūl.
c.       Menganalisis kosakata ayat dari sudut pandang bahasa arab.
d.      Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
e.       Jika dianggap perlu, menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, i’jaz al-Qur’an, khususnya terhadap ayat-ayat yang mengandung unsur keindahan balaghah.
f.       Menjelaskan hukum-hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat hukum.
g.      Menerangkan makna dan maksud syar’i yang terkandung dalam ayat yang bersangkutan dengan menyandarkan pada dalil dari ayat-ayat lain, hadis Nabi dan atsar sahabat serta tabi’in.
4.      Kelebihan dan kekurangan metode tahlily[12]
Diantara kelebihan metode ini ialah:
a.       Ruang lingkup yang luas.
b.      Memuat berbagai ide.
Kemudian kekurangan dari metode tahlily adalah:
a.       Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial.
b.      Melahirkan penafsiran subjektif.
c.       Masuk pemikiran israiliyat.
B.     Pengertian Tafsir Nuzūli
1.      Pengertian Tafsir Nuzūli
Metode tafsir nuzūli adalah suatu cara menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan turunnya al-Qur’an. Dalam penafsiran ini tidak mengurutkan sesuai dengan urutan dalam mushaf al-Qur’an, tapi sesuai dengan turunnya ayat-ayat tersebut. Seperti halnya metode tafsir yang lain menafsirkan ayat al-Qur’an dari surat al-Fātihah sampai surat an-Nās, akan tetapi metode ini menafsirkan ayat al-Qur’an dari surat yang pertama kali turun yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5 sampai surat yang terakhir kali turun yaitu surat al-Maidah ayat 3.
Diantara kelebihan dari metode tafsir nuzūli adalah dapat mengetahui sabāb nuzūl dari ayat-ayat al-qur’an, mengetahui kronologi surat, mengetahui nasīkh mansūkh dan mengetahui sejarah pensyari’atan.[13]
2.      Contoh Kitab-Kitab Tafsir Nuzūli:
a.      Tafsīr Bayan al-Qur’ān al-Karim bintu Syati’.
b.      Surat ar-Rahman wa Suwarul Qisar karya Syauqi Dloif.
c.       Tafsīr al-Qur’ān al-Karim karya as-Syihab.
C.    Tafsir Mauḍū’i
1.      Pengertian Tafsir Mauḍū’i
Metode mauḍū’i (tematik) ialah membahas ayat-ayat al-qur’an sesuai denagn tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan satu sama lain dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari al-Qur’an, hadis maupun pemikiran rasional.[14]
2.      Langkah-langkah yang Ditempuh dalam Metode Mauḍū’i
Diantara langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir yang tergolong dalam metode ini adalah:
a.       Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji.
b.      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan.
c.       Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa trurunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabāb al-nuzūl.
d.      Mengetahui hubungan (munāsabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya.
e.       Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis.
f.       Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas.[15]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                
3.       Kelebihan dan Kekurangan Metode Mauḍū’i
Diantara kelebihan metode ini ialah sebagai berikut:
a.       Menjawab tantangan zaman karena kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Itulah sebabnya metode ini mengkaji semua ayat al-qur’an yang berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya.
b.      Praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini amat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk al-qur’an mereka harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif dan efisien.
c.       Dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengaranya bahwa al-qur’an senantiasa memang demikian terasa sekali bahwa al-qur’an selalu actual tak pernah ketinggalan zaman. Dengan tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat akan tertarik mengamalkan ajaran-ajaran al-qur’an karena al-Qur’an mereka rasakan betul-betul dapat membimbing mereka ke jalan yang benar.
d.      Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang akan di bahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh.
Sedangkan kekurangan metode tafsir mauḍū’i adalah:
a.       Memenggal ayat al-Qur’an.
b.      Membatasi pemahaman ayat.
     Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, denagn ditetapkannya judul pembahasan, berarti yang akan di kaji hanya satu sudut dari permata tersebut. Dengan demikian, dapat menimbulakn kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu memang merupakan konsekuensi logis dari metode tematik. Namun hal itu tak perlu terlalu dirisaukan karena tidak akan mengurangi pesan-pesan al-Qur’an, kecuali bila dinyatakan bahwa penafsiran ayat itu hanya itu saja, tidak ada yang lain. Ternyata tafsir tematik tidak demikian.[16]
IV. TAFSIR SEKTARIAN
A.    Pengertian Tafsir Sektarian
          Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah dilakukan sejak zaman Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Dan hal ini dianggap sebagai sesuatu yang penting karena al-Qur’an sendiri yang diturunkan dengan berbahasa Arab asli. Meskipun demikian, tidak serta-merta bagi orang-orang Arab bisa langsung memahami makna-makna yang terkandung didalamnya baik itu secara tersirat maupun tersurat. Dan dari sinilah sebuah penafsiran itu dianggap penting sebagai alat untuk memudahkan dan memahami ayat-ayat yang dianggap sulit untuk difahami. Namun, seiring berjalannya waktu, dunia tafsir pun juga ikut berkembang. Sehingga muncullah berbagai karya-karya tafsir oleh para ulama’ pada zaman tersebut. Dan akhirnya para ulama’ mengelompokkan perkembangan tafsir menjadi tiga periode yakni periode klasik, pertengahan, dan periode kontemporer.
            Berbagai corak-corak tafsir mulai muncul pada periode pertengahan ketika masa akhir dari dinasti Umayyah dan awal dinasti ‘Abbasiyyah, pada masa ini terkenal dengan zaman keemasan (the golden age),  yang ditandai dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan disertai dengan dimulainya penerjemahan buku-buku yang berasal dari luar kebudayaan Arab seperti Yunani, Persia, India dan beberapa negara lain kedalam bahasa Arab tepatnya pada masa Dinasti ‘Abasiyyah yaitu ketika Abū Ja’far al-Manshūr menjabat sebagai khalifah.[17]
B.     Kitab-Kitab Tafsir Sektarian
1.      Tafsir Mafātī al-Ghaib
          Kitab tafsir ini adalah hasil karya dari seorang mufassir yang bernama al-Rāzy. Beliau mempunyai nama lengkap Abū Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-usin bin al-Ḥasan bin Ali al-Qurasyi at-Taimi al-Bakri al-Ṭabrastani al-Rāzy, ia mendapat gelar Faruddīn. Al-Rāzy lahir pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 Hijriyah.[18] Beliau adalah seorang ulama’ yang tekun dalam menuntut  ilmu, hampir seluruh disiplin ilmu telah beliau pelajari. Oleh karena itu wajarr saja jika beliau dijuluki sebagai pakar ilmu logika, ahli tafsir dan bahasa, serta ahli fikih dalam mazhab Syafi’i. Imam al-Razī mempunyai karya yang cukup banyak diantaranya adalah karya tafsirnya yang berjudul Mafātī al-Ghaīb. [19]
2.       Tafsir Ahkām al-Qur’an
          Tafsir Aḥkām al-Qur’an ini adalah sebuah kitab tafsir karya seorang mufassīr yang bernama al-Jashshash, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar Ahmad bin Aly al-Rāzy, namun beliau lebih mashūr dengan nama al-Jashshash, nama tersebut dinisbatkan pada profesi beliau sebagai seorang tukang kapur (Jashshash). Beliau lahir pada tahun 305 H di kota Baghdad dan beliau wafat pada tangga 9 Dzulhijjah tahun 370 H. Al-Jashash menghabiskan masa mudanya dengan berkelana ke beberapa tempat untuk mengggali ilmu dari para ulama’-ulama’ pada masa itu seperti pada Abū Sahal al-Zujāj dan Abū al-Ḥasan al-Karakhi. Selama hidupnya al-Jashash dihabiskan untuk aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan ilmu serta mengarang dan menulis kitab.
          Beberapa kitab hasil karya al-Jashash seperti karyanya dalam bidang tafsir yaitu tafsir Aḥkām al-Qur’an, selain mengarang kitab tafsir beliau juga mengarang beberapa kitab seperti  Syaraḥ Mukhtaṣar al-Karakhi, Adab al-Qadḥa, Syaraḥ al-Asma’ al-usna, dan beberapa kitab lainnya. Tafsir Aḥkām al-Qur’an ini merupakan salah satu kitab tafsir terpenting diantara kitab-kitab tafsir yang berhaluan Hanafi. Al-Jashash menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum fikih. Meskipun kitab ini disusun mengikuti alur urutan surat-surat al-Qur’an, kitab ini sistematika penyusunannya berdasarkan bab-bab fikih, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan bab fikih, namun al-Jashash lebih cenderung untuk mengagungkan dan membela mazhab anafi. [20]
          Selain dalam segi mengupas ayat-ayat yang terkait dengan bab fikih tafsir Aḥkām al-Qur’an ini juga mengupas ayat-ayat yang terkait dengan teologi. Namun, dalam menjelaskan ayat-ayat yang terkait dengan teologi lebih cenderung untuk mendukung serta memeperkuat pendapat sekte Mu’tazilah, sebagaimana yang ditulis dalam pengantar kitab tersebut.[21] Hal ini dianggap wajar sebab al-Jashash termasuk orang yang fanatik dengan mazhab teologi Mu’tazilah.
3.      Tafsir al-Qummī.
            Tafsir ini adalah sebuah buah karya dari Abū al-Ḥasan Aly bin Ibrahīm al-Qummī. Taufik Adnan dalam bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an” mengatakan bahwa:” kitab tafsir ini masuk dalam kategori tafsir sektarian, dan tafsir al-Qummī ini termasuk sebuah karya terlengkap pada masanya disamping itu tafsir ini sangat kental dengan nuansa Syi’ahnya. Adapun cara penafsiran yang dilakukan oleh pengarang kitab ini yaitu dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan untuk memperkukuh sejumlah kepercayaan resmi yang dimiliki oleh kelompok Syi’ah, serta membatasi gagasan-gagasan yang berseberangan dengan ortodoksi Islam dan sejumlah kepercayaan resminya”.[22]
          Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh al-Qummī ini dengan tegas dan jelas mengenai keberadaan mushaf Utsmani sebaga hasil dari manipulasi oleh para pengumpul al-Qur’an. Menurut keyakinan kelompoknya, bahwa Utsman dan komisi yang dibentuknya untuk mengumpulkan al-Qur’an telah menggantikan serta tidak mencakupkan kedalam kodifikasinya sebagian besar dari kitab suci, baik berupa surat, maupun ayatnya, serta telah memporak-porandakan susunanya.[23]
4.       Tafsir Aḥkām al-Qur’an
          Kitab tafsir ini ditulis oleh Ibnu ‘Arabi, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’āfiry al-Andalusy al-Ishbily. Beliau lahir pada tahun 368 Hijriyah. Beliau berkelana untuk mencari ilmu ke beberapa daerah diantaranya adalah Mesir, Syam, Baghdād, serta Makkah.[24]
V. Tafsir Kontemporer
A. Pengertian Tafsir Kontemporer
Mengenai tafsir kontemporer, ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni “tafsir” dan “kontemporer”. Secara etimologi, tafsir berasal dari bahasa Arab تفسير , dari asal kata فسر. Kata tafsir mempunyai arti menjelaskan dan menyikapi yang tertutup. Sedangkan terminologi yang dibuat oleh Muhammad Ali aṣ-Ṣabuniy, yaitu ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya[25].
Selanjutnya kata kontemporer, dalam kamus ilmiah populer bermakna termasuk waktu ini; sezaman, semasa, pada masa kini; dewasa ini[26]. Maka dapat didefinisikan bahwa tafsir kontemporer adalah tafsir atau penjelasan ayat al-Qur`an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau sat ini. Maksud kontemporer di sini dikaitkan dengan zaman yang sedang berlangsung sekarang.
B. Sejarah Munculnya Tafsir Kontemporer dan Pembatasan Kontemporer
Semasa Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam masih hidup, seluruh persoalan, terutama tentang pemahaman terhadap al-Qur`an, dipulangkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Karena persoalan apapun yang muncul tempo itu senantiasa mendapatkan jawabannya. Namun setelah Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam wafat, otoritas tunggal penjelas al-Qur`an, tak luput pula tentang kandungan al-Qur`an, tak lagi ditemui. Akhirnya, kondisi ini memaksa para sahabat untuk melakukan ijtihad.
  Proses regenerasi mufasir terus berjalan. Para sahabat yang piawai dalam bidang al-Qur`an lalu mengangkat sejumlah murid di kota masing-masing. Mereka para murid itu kelak tampil sebagai mufasir generasi tabi’in. Dari kolaborasi ketiga sumber yaitu penafsiran Nabi, sahabat dan tabi’in. masa ini menurut Qurash Shihab dalam membumikan al-Qur`an, menjadi patokan periode pertama perkembangan tafsir.
Abad ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.
Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya:
1.         Dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al- Qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.
2.         Adanya pengkritisian beberapa produk tafsir klasik yang tidak memiliki relevansi dengan situasi dan kondisi pada masa sekarang (modern).
3.         Menguatnya kesadaran di kalangan para pemikir muslim untuk mencari metode penafsira yang sesuai dengan situasi, zaman dan tempat, terutama yang mampu menghasilkan penafsiaran yang sesuai dengan nalar masyarakat modern.
C.    Karakteristik Tafsir Kontemporer
Ada beberapa karakteristik yang menonjol dalam paradigm tafsir kontemporer, antara lain[27]:
1.      Memosisikan al-Qur`an sebagai kitab petunjuk
2.      Bernuansa hermeneutis
3.      Kontekstual dan berorientasi pada sepirit al-Qur`an
4.      Ilmiah, kritis dan non-Sektarian
D.    Metode Tafsir Kontemporer
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiaran al-Qur`an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsiran. Persoalan yang muncul itu dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Adapun persoalan kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan, ketidakadilan, hokum, ekonomi, politik, budaya, gender, HAM  dan masalah ketimpangan yang lain.
Untuk mengetahui metode tafsir kontemporer dari persoalan-persoalan yang muncul, dapat dikaji atau dianalisis dengan berbagai pendekatan, diantar pendekatan tersebut adalah:
1.      Struktualisme
Strukturalisme merupakan pendekatan yang lebih banyak memfokuskan kajiannya pada analisis struktur bahasa, struktur sosial-budaya dan lainnya. Oleh karena itu pendekatannya disebut sebagai strukturalisme. sebagian besar, referensi strukturalisme berasal dari teks-teks bahasa dan karya sastra, perlu secara kusus didudukkan posisi studi perkembangan bahasa dan karya sastra dalam konteks lingkungan sosialnya, yang disebut sociolinguisick dan pyscholuingistics[28].
2.      Semantik
a.       Pengertian
Kata semantic berasal dari bahasa Yunani yang akar verbanya adalah semainen yang berarti to sighnify, sedangkan akar kata nominanya adalah sema yang berarti sigh (tanda). Semantik merupakan disiplin yang kajiannya berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata.
Tarigan mendefinisikan semantik sebagai “telaah makna”, lambing-lambang, atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain serta pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat, karena semantik meliputi makna-makna kata, perkembangan dan perubahannya. Sedangkan Abdul Chear menyebutkan bahwa semantik merupakan istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan  atau tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Dengan kata lain, semantic adalah ilmu tentang makna atau tentang arti[29].
b.      Fokus kajian
Focus kajian semantik terkait dengan makna bahasa, baik makna arti dalam tekstual maupun dalam arti kontekstual. Oleh karena itu, kajian makna menjadi bagian dari kajian bahasa. Berdasrkan hal ini, semantic pun sering dianggap sebagai salah satu dari cabang linguistik.
3.      Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneutikos atau hermeneia atau hermeneuin yang berarti speech, translation, dan  interpretation. Istilah hermeneutika pada mulanya merujuk pada nama dewa Yunani kuno, Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia[30]. Jadi kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah ilmu dan seni menginterpretasi sebuah teks ”suci”. Begitu pula hermeneutika bertugas untuk menerangkan kata-kata dan teks yang dirasa asing oleh masyarakat, baik asing secara vertical maupun horizontal dari segi sumber, waktu dan tempat. Sejauh pengertian ini, hermeneutika juga juga dikenal dalam islam, yaitu dalam tradisi tafsir dan ta’wil.
4.      Simiotik
Semiotic berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda. Meskipun telah digunakan sejak masa Yunani, semiotika baru berkenbang sekitar tahun 1900-an sebagai satu cabang keilmuan. Dalam duania Islam, tanda dikenal dengan terma āyah(ayat), ālamah, ashārah atau ibarat, sedangkan di Eropa dan Amerika, tanda dikenal dengan istilah sigh, symbol, index ataupun icon[31].
E.     Kitab-kitab Tafsir Kontemporer
Adapun tokoh mufasir kontemporer muslim sebagai basis tafsir al-Qur`an adalah:
1.      Muhammad Abduh.
            Nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.dalam penafsirannya, Abduh cenderung mengombinasikan antara riwayat shahih dan nalar rasional. Adapu karya Abduh dalam kajian tafsir adalah Tafsir Jus Amma.
2.  Amin Al-Khulli.
            Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Kulli adalah nama lengkap yang menggammbarkan sislsilah keluarga Amin al-Kulli. Dari pengamat tafsir modern sepakat untuk memposisikan Amin al-Kulli sebagai bidang lahirnya tafsir al-Qur`an dengan gaya baru yakni tafsir sartrawi[32]. Adapun karya dalam tafsir yang telah selesai adalah Manāhij Tajdīd fī Al-Nahw wa Al- Balaghah wa Al-Tafsī wa Al-Adāb.
3.Bint Syathi
Nama Dr. ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman banyak dikenal orang, terutama pada tahun 1960 sampai sekarang. Nama Bint Syati’ adalah nama pena yang dia pakai ketika menulis. Bint al-Syti’ dikenal luas karena studinya tentang sastr Arab dan tafsir al-Qur`an. Adapun karya beliau dalam kajian tafsir adalah Al- Tafsīr Al-Bayāni li Al-Qur`ān Al-Karīm.
Perempuan asal mesir ini mencoba mengembangkan tafsir al-Qur`an dengan menggunakan empat metodologi. Pertama, menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an. Kedua, munasabah antara ayat maupun surat. Ketiga, berpegang pada prinsip ibrah itu sesuai dengan bunyi teks, dengan asbabun nuzul. Keempat, prinsip bahwa kata-kata dalam al-Qur`an tidak ada sinonim.
4.      Amina Wadud Muhsin
Dalam mengembangkan tafsir al-Qur`an Amina berpegang pada perspektif feminism dan jender. Dalam metodenya Amina berpegang pada tiga prinsip. Pertama, dalam konteks apa suatu ayat diturunkan. Kedua, bagaimana komposisi bahasa ayat tersebut, bagaimana pengungkapannya dan apa yang dikatakannya. Ketiga, bagaimana konteks ayat itu digunakan. Adapun karya yang telah ia hasilkan adalah ‘Qur`an and Woman’.


VI. Kesimpulan
Al-adābi wa al-ijtimā’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adābi dan al-ijtimā’i. Kata al-adābi dilihat dari bentuknya termasuk maṣdar  dari fi`il maḍi “aduba”, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtimā’i bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adābiwaal-Ijtimā’i adalah tafsir yang berorientasi pada perilaku dan kemasyarakatan.
Secara bahasa tahlily berarti analisa, penguraian, penjelasan bagian-bagian dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, metode tafsir tahlily adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum  dalam mushaf al-Qur’an. Penafsiran ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat.
Metode tafsir nuzūli adalah suatu cara menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan turunnya al-Qur’an. Dalam penafsiran ini tidak mengurutkan sesuai dengan urutan dalam mushaf al-Qur’an, tapi sesuai dengan turunnya ayat-ayat tersebut. Seperti halnya metode tafsir yang lain menafsirkan ayat al-Qur’an dari surat al-Fātihah sampai surat an-Nās, akan tetapi metode ini menafsirkan ayat al-Qur’an dari surat yang pertama kali turun yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5 sampai surat yang terakhir kali turun yaitu surat al-Maidah ayat 3.
Metode mauḍū’i (tematik) ialah membahas ayat-ayat al-qur’an sesuai denagn tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan satu sama lain dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari al-Qur’an, hadis maupun pemikiran rasional.
Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah dilakukan sejak zaman Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Dan hal ini dianggap sebagai sesuatu yang penting karena al-Qur’an sendiri yang diturunkan dengan berbahasa Arab asli.
Mengenai tafsir kontemporer, ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni “tafsir” dan “kontemporer”. Secara etimologi, tafsir berasal dari bahasa Arab تفسير , dari asal kata فسر. Kata tafsir mempunyai arti menjelaskan dan menyikapi yang tertutup. Sedangkan terminologi yang dibuat oleh Muhammad Ali aṣ-Ṣabuniy, yaitu ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.













VII. Daftar Pustaka
Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika. 2002.
Syihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan                                          Pustaka, 2007.
Syihab, Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Bandung: PUSTAKA                                   HIDAYAH. 1994.
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006.    Abduh, Muhammad. terj. Tafsit Juz Amma. Kairo: Dar al-Hilal. 1986.
Abduh, Muhammad. Risalah al-Tauhid. Kairo: Matba’ah al-Mannar. 1368              H.
Majid Abdus Salam Muhatsib, Abdul (al), Visi dan Paradigma Tafsir al-                            Qur’an Kontemporer. Bangil: AL IZZAH, 1997.
Gufron, Mohammad. Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah. Depok Sleman                            Yogyakarta: Teras Perum Polri Gowok, tth.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. (ttp.: Pustaka                                 Pelajar,tth.
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. al-Madkhal. Dar al-Lawa’.                               1407 H.
Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Sleman Yogyakarta: Teras                                 Perum POLRI Gowok, tth.
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah dan              Tafsir Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press, 2011.
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga                                    Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba. 2013.
Qaṭṭan, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an. terj. M. Mudzakir.                                 Jakarta: Pustaka Litera antar Nusa. 2004.
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Tangerang:                                      Pustaka Alvabet. 2013.
Ḥusain Dhahaby, Muhammad (al). Al-Tafsīr  wa al-Mufassirūn. Kairo:                                Maktabah Wahbah, tth.
Ali Ṣabuni, Muhammad (al). at-Tibyan fi Ulumul Qur`an. Jakarta: Dar al-                           Kitab al-Islamiyah, 2003.
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. ttp: Gita Media Press, 2006.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yokyakarta: Pustaka                             Pelajar, 2008.
Rahtikawati, Yayan, dkk. Metodologi Tafsiral-Qur`an; struktualisme,                                 semantic, semiotic dan hermeneutic. Bandung: Pustaka Setia.                            2013.
Yusron, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yokyakarta: Teras.                           2006.



[1] Supiana, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002),  316-317.
[2] Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), 108.
[3] H. Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006),  255.
[4] Muhammad Abduh,  TrejTafsit Juz Amma, (Kairo: Dar al-Hilal, 1986) , 77.
[5] Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Kairo: Matba’ah al-Mannar, 1368 H), 23.
[6] Quraish Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994), 11.
[7] Abdul Majid Abdus Salam Al Muhatsib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Bangil: AL IZZAH, 1997), 106.
[8] Quraih Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994), 14.
[9] Ibid,.  59.
[10] Mohammad Gufron, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah,  (Depok Sleman Yogyakarta: Teras Perum Polri Gowok, tth. ), 183.
[11] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (ttp.: Pustaka Pelajar,tth.), 32.
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (ttp.: Pustaka Pelajar,tth.), 53-60.
[13] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal, (Dar al-Lawa’, 1407 H), 109.
[14] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (ttp.: Pustaka Pelajar,tth.), 151.
[15] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman Yogyakarta: Teras Perum POLRI Gowok, tth.), 47.
[16] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (ttp.: Pustaka Pelajar, tth.),165-169.
[17] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah dan Tafsir Kalamullah”, (Lirboyo, Lirboyo press,2011), 247.
[18] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013), 73.
[19] Mannā’ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. M. Mudzakir, (Jakarta: Pustaka Litera antar Nusa, 2004), 506.
[20] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013) , 64.
[21] Ibid., 65.
[22] Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Tangerang, Pustaka Alvabet, 2013), 403.
[23] Ibid., 403.
[24] Muhammad Ḥusain al-Dhahaby, “Al-Tafsīr  wa al-Mufassirūn”, (Kairo: Maktabah Wahbah, tth), 330.
[25]  M. Ali aṣ-Ṣabuni, at-Tibyan fi Ulumul Qur`an, (Jakarta: Dar al-Kitab al-Islamiyah, 2003), 65.
[26] Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (ttp: Gita Media Press, 2006),  263.
[27] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 82.
[28]  Yayan Rahtikawati, dkk, Metodologi Tafsiral-Qur`an; struktualisme, semantic, semiotic dan hermeneutic, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 94.
[29] Ibid.,  212.
[30] Yayan Rahtikawati, dkk, Metodologi Tafsiral-Qur`an; struktualisme, semantic, semiotic dan hermeneutic, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 446.
[31] Ibid., 329.
[32] Muhammad Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, (Yokyakarta: Teras, 2006), 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar