Minggu, 02 Desember 2018

“Bulan Asyura; Bulan Keberkahan Umat”



“Bulan Asyura; Bulan Keberkahan Umat”
Umat islam yang berbahagia, sudah tahukah anda ada apa dibulan Asyura?
Bulan Asyura merupakan salah satu bulan umat islam yang mengandung banyak sejarah, tentu tidak hanya itu, pada bulan ini kita juga dapat mendapatkan ampunan Allah SWT atas dosa-dosa kita yang telah lalu. Yaitu dengan cara berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Maka Allah akan mengampuni dosa satu tahun yang telah lalu.
_____
Pertama, pada bulan Asyura ini Allah “menciptakan Nur (cahaya) Muhammad”
Kedua, Pada bulan ini, Allah telah menyelamatkan nabi MUSA AS dari kejaran raja Fir’aun, dan menenggelamkan Fir’aun di dasar laut merah.
Ketiga,  Allah mengeluarkan nabi Yunus AS dari perangkap perut ikan Nun
Keempat, Allah mengampuni nabi Dawud As dan menerima taubatnya
Kelima, Allah mempertemukan Nabi Ya’qub dengan putranya (nabi Yusuf)
Keenam, Allah mendengarkan/mengabulkan doa nabi Musa As dan Nabi Harun pada hari Asyura
Ketujuh, Allah menyelamatkan nabi Ibrahim As dari Apinya raja Namrud terjadi pada hari Asyura
______ dan lain sebagainya

Profil K. Abdul Muntaha Jepangrejo Blora





Foto bersama: K. Abdul Muntaha dan KH. Abdullah Ubab Maimoen, Sarang.

Abdul Muntaha, begitulah nama lengkapnya. Beliau lahir di dusun Jasem, Jepangrejo, Blora. Salah satu sosok teladan yang kini menjadi sesepuh di daerahnya. Abdul Muntaha lahir di tengah-tengah keluarga sederhana layaknya petani lainnya. Sejak kecil telah tampak ketegasannya dalam menegakkan kebenaran di jalan Allah. Semua orang disekitarnya terlihat begitu sangat menyayanginya.
Awalnya, masyarakat dusun Jasem terkenal sebagai daerah abangan. Suasana sangat sepi dari kegiatan-kegiatan islami. Jangankan bangunan beribadah, kesadaran untuk mempelajari ilmu agama islam saja belum ada. Sehingga dalam hatinya tergugah untuk mengaji. Sejak kecil ia rajin mengaji, meskipun lahir dari keluarga yang sangat sederhana sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk memahami ilmu agama islam meski jalan kaki. Diantara guru-guru beliau adalah KH. Habib, KH. Hadis, KH. Muslih, dll.

 

Foto bersama: K. Abdul Muntaha dan Dr. KH. Abdul Ghofur MZ, Sarang.

Ia terkenal sangat patuh terhadap gurunya, sehingga semua gurunya begitu mengasihinya. Bahkan, ia diberi kesempatan untuk menjadi muadzin di Masjid tempat ia mengaji. Banyak sekali ilmu agama yang ia dapatkan di antaranya mempelajari al-Qur`an, tajwid, nahwu, sharaf, fikih, tauhid, dan lain sebagainya. Setelah beranjak dewasa, dan dirasa ilmu yang didapatkan cukup, ia menikahi gadis yang bernama Martini. Kemudian, KH. Habib memerintahkan kepada beliau untuk menegakkan agama islam di daerahnya yakni Jasem. Perintah pertama kali dari gurunya itu adalah mendirikan tempat ibadah. Hal ini mengingatkan kepada kita pada siroh atau sejarah Nabi Muhammad SAW ketika hijrah di Madinah, hal pertama kali yang dilakukan adalah mendirikan masjid.
Setelah selesai pengembaraan ilmu dan pulang di kampung halamannya, ia mendirikan musholla yang diberi nama “Musholla al-Ibtidaiyyah”, hal ini mengingat karena musholla ini merupakan musholla pertama kali di dusun Jasem. Dengan berdirinya musholla ini, masyarakat sangat antusias berbondong-bondong mendatanginya ingin mengaji kepadanya lebih-lebih dalam urusan shalat dan membaca al-Qur`an. Santri pertama beliau adalah bapak sukir.
Pada awalnya, K. Abdul Muntaha sedang mengaji melantunkan membaca al-Qur`an dengan khidzmat. Apa yang dilakukannya tersebut diketahui oleh Sukir. Karena rasa penasarannya terhadap K. Abdul Muntaha ia mendatanginya karena begitu terharu dengan bacaan-bacaan ayat al-Qur`an yang selama ini begitu asing di jasem. Sukir meminta diajari membaca al-Qur`an oleh K. Abdul Muntaha. Beliau bersedia mengajarinya dengan satu persyaratan, yaitu harus mencari teman agar tidak sendirian. Sore hari, tidak disangka, dengan waktu yang tidak begitu lama sukir berhasil mengajak teman-temannya dengan jumlah tidak sedikit sekitar 50 anak. Sejak itulah musholla al-Ibtidaiyyah ramai didatangi para santri untuk mengaji dan beribadah.
Suasana jasem yang semula sunyi dari kegiatan islami, sejak itu menjadi ramai. Santri-santri mengaji kepada K. Abdul Muntaha dan shalat jamaah 5 waktu bersamanya. Bahkan, beberapa santri ada yang menginap setiap malamnya di Musholla tersebut. Dikarenakan masyarakat menyambut perkembangan islam di jasem dan mulai peduli dengan beribadah, kemudian K. Abdul Muntaha mengajak para masyarakat untuk melakukan shalat jum’at di Musholla tersebut, dikarenakan saat itu belum ada masjid. Seringkali K. Abdul Muntaha mengundang guru-guru dan temannya dari daerah lain untuk bersedia menjadi khotib dan imam shalat jum’at. Jadi, Musholla ibtidaiyyah ini menjadi saksi awal perkembangan islam di jasem. Dalam pembangunannya, K. Abdul Muntaha menguras pikiran, tenaga, dan dana. Bahkan beliau rela menjual sebidang tanah terbaiknya tahunan demi terwujudnya cita-citanya adanya tempat ibadah ini.
Setelah berjalan beberapa tahun dan masyarakat mulai menyadari pentingnya ibadah kepada Allah, bersama masyarakat bersama-sama memikirkan pentinya sebuah masjid. Dan pada akhirnya dibangunlah masjid Jami’ Nurul Mustofa di atas tanah wakaf bapak H. Nursarojo tempatnya tepat dibelakang Musholla al-Ibtidaiyyah. Dalam pembangunan masjid ini, sesuai musyawarah bersama yang membuka pembangunan sebagai peletakkan batu pertama adalah Habib Hamid Solo, KH. Muharor Ali al-Hafidz (pengasuh Ponpes Khozinatul ‘Ulum), K. Mudzorek Blora. Bersama-sama gotong royong membangun masjid jami’ Nurul Mustofa. Dan sampai saat ini, K. Abdul Muntaha menjadi imam besar masjid tersebut.
Dengan dibangunnya masjid ini, masyarakat semakin peduli dan merasa memiliki kewajiban beribadah kepada Allah. Peduli kepada pentingnya belajar ilmu agama islam, yang semula ketika ada penduduk jasem meninggal dunia mengundang dari daerah lain karena kurang mampunya penduduk jasem mengaji, saat itu sudah tidak lagi mengundang orang dari daerah lain, karena sudah mampu membaca tahlil dan al-Qur`an.


Rabu, 28 Maret 2018

BAHASA; SEBAGAI BENTUK METODE PENAFSIRAN AL-QUR`AN PADA MASA TABI’IN



BAHASA;
 SEBAGAI  BENTUK METODE PENAFSIRAN AL-QUR`AN
PADA MASA TABI’IN



Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metodologi Penafsiran Ahli Hadis

Dosen Pengampu:
KH. ZAKI MUBAROK, Lc., MA










Oleh:
Khoirudin Azis
NIM: 2013. 01. 01. 184











PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
 SARANG REMBANG
2016
BAHASA;
SEBAGAI  BENTUK METODE PENAFSIRAN AL-QUR`AN
PADA MASA TABI’IN
Oleh: Khoirudin Azis


I. Pendahuluan
Al-Qur`an adalah kalam Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang di turunkan kepada nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam melalui malaikat Jibril Alayhi wa Sallam sebagai petunjuk umat Islam sampai ahir zaman. Sebagai kalam Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, al-Qur`an tentunya berbeda dengan kalam manusia. Susunan bahasa yang ada di dalamnya merupakan bentuk susunan terindah dan tidak ada yang mampu menandinginya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Meskipun dengan menggunakan bahasa Arab dan diturunkan di Arab, al-Qur`an tidak hanya diperuntukkan untuk orang Arab saja, namun juga untuk semua umat Islam sedunia.
Karena al-Qur`an diturunkan menggunakan bahasa Arab dan sebagai kalam Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, al-Qur`an tidak dapat dipahami oleh semua manusia dengan mudah. Oleh sebab itu, untuk memahaminya diperlukan sebuah penafsiran. Adapun yang mampu menafsirkan al-Qur`an adalah orang tertentu yang diberi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā suatu pemahaman terhadap al-Qur`an.
Penafsiran terhadap al-Qur`an sebenarnya telah ada sejak nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam dan nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallamlah sejatinya yang paling berhak menafsirkannya, tapi nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam hanya menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an yang pada saat itu dianggap tidak jelas saja tidak mencakup semua ayat.
Tafsir memiliki peran yang sangat penting dalam pemahaman terhadap isi kandungan al-Qur`an. Pada periode penurunannya, nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam memiliki peran sebagai penjelas terhadap al-Qur`an.[1] Setelah nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam wafat penafsiran al-Qur`an diteruskan oleh sahabat-sahabatnya, dan setelah itu diteruskan generasi setelahnya yaitu tabi’in.
Usaha penafsiran al-Qur`an semakin lama semakin berkembang. Terutama pada masa tabi’in. Berbagai disiplin ilmu terkait penafsiran mulai muncul, baik itu dari tabi’in sendiri atau juga meneruskan dan mengembangkan ilmu atau metode penafsiran yang sudah ada pada masa sebelumnya. Salah satu dari hal tersebut yaitu berkembangnya metode bahasa. Metode bahasa, ini merupakan pejelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiad orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Dengan metode bahasa ini dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat tertentu yang terdapat di dalam al-Qur`an.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai metode bahasa dalam penafsiran al-Qur`an pada masa tabi’in, otoritasnya, tokoh-tokohnya dan lain sebagainya.
II. Penafsiran Tabi’in Dengan Metode Bahasa
Berbagai macam metode tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar al-Qur`an. Jika diamati metode penafsiran al-Qur`an yang digunakan sahabat-sahabat nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam ditemukan pada dasarnya setelah tidak ditemukannya penjelasan dari nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam terhadap makna suatu ayat al-Qur’an, kemudian mereka merujuk kepada penggunaan bahasa.
Setelah berahirnya masa sahabat, para tabi'in masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.[2] Dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung pada penekanan arti lafaf yang sesuai serta menambahkan qawl (perkataan atau pendapat) supaya ayat al-Qur’an mudah dipahami. Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'yi.
Penafsiran ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan ijtihad atau bi al-ra'yi masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.[3] Tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan al-Qur`an. Meskipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, tetapi mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat.
Adapun contoh penafsiran yang dilakukan tabi’in dengan kaidah bahasa di antaranya adalah
1.      Pada Qira’at, pada surat al-Hajr ayat 15:
لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ [4].
tentulah mereka berkata: "Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir".
Pada lafal سُكِّرَتْ diartikan oleh Ibn Abbas dengan maknaاخذت وسحرت , sedangkan Qatadah  mengartikan lafal tersebut dengan dibaca fathah pada huruf kafnya dengan makna سدّت yaitu dengan hurur kafnya di baca fathah, dan jika dibaca kasrah huruf kafnya maka maknanya sama dengan Ibn Abbas.
2. Dari segi i’rab, dari surah Ali Imran ayat 7:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ [5]
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Pada lafal وَالرَّاسِخُونَ jika huruf wawunya dikatakan sebagai wawu aaf, maka kembalinya pada lafal اللَّهُ, dan jika wawunya dibuang menjadi wawu ibtida`, maka menjadi mubtada` dan khabarnya adalah lafal يَقُولُونَ آمَنَّا.
3. Keberagaman makna dalam satu lafal, contohnya terdapat pada lafal  النكاح yang terdapat dalam al-Qur`an. Yang dimaksud pada lafadz itu adalah   العقد dan  الوطي.
Mujāhid tentang firman Allah al-manna wa al-salwā berkata al-manna adalah ṣamghah[6] dan al-salwā adalah ṭā`ir.[7] Begitu juga Qatādah menafsirkan al-salwā dengan ṭā`ir.[8]
4. Pada Mulṭaq dan Muqayyadnya pada ayat al-Qur`an. Mulṭaq adalah lafal yang menunjukkan suatu hakikat tanpa adanya qayyid dan biasanya lafal Mulṭaq berbentuk nakirah[9]. Contoh pada lafal رقبة dalam ayat فتحر ير رقبة  . pernyataan ini meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak.
Muqayyad adalah  kebalikan dari Mulṭaq yaitu lafal yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayyid.[10] Contohnya adalah pada lafal رقبة dalam ayat ini
فتحر ير رقبة مؤمنة budak yang dimaksud pada ayat ini dibatasi dengan budak yang beriman saja.
5. Pada hakikat dan majas suatu ayat, dalam surat al-Najm:
وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى[11]
dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,
Dalam ayat diatas ada yang mengartikan secara hakikat yang berarti maknanya adalah tertawa dan menangis secara hakikat atau memang benar-benar tertawa dan menangis, sedangkan yang mengartikan ayat di atas dengan sebuah majas adalah tertawa diartikan sebagai ahli Surga dan menangis diartikan sebagai ahli Neraka.
II. Otoritas Tafsir Tabi’in
Ulama berbeda pendapat dalam menanggapi kualitas penafsiran pada masa tabi’in. Sebagian ulama` berpendapat, bahwa penafsiran yang dihasilkan oleh para ahli tafsir tabi’in tidak harus dijadikan pegangan. Sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat al-Qur`an, sehingga para tabi’in bisa saja berbuat salah dalam memahami apa yang terkandung dalam sebuah ayat tertentu. Ditambah lagi para tabi’in banyak menukil cerita-cerita israilliyyat yang kemudian dimasukan ke dalam tafsirnya. Begitupun dengan metode bahasa, dalam melakukan penafsiran bisa benar dan juga bisa salah, tergantung kemampuan dan tingkat pengetahuan dari mufassir. Ini semakin menambah perbedaan pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan mereka.
Sebaliknya, banyak pula ahli tafsir yang berpendapat bahwa tafsir mereka dapat dijadikan pegangan, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Tetapi pendapat yang paling tepat adalah jika para tabi’in telah sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya.
III. Tokoh-tokoh Tafsir  pada Masa Tabi’in
Pada masa sahabat, kebanyakan ahli tafsir berdiam diri di Madinah. Ini berbeda dengan masa tabi’in. Tokoh-tokoh tafsir pada masa ini tersebar luas di berbagai kota Islam. Pada masing-masing kota Islam terkemuka, seperti Makkah, Madinah dan Irak terdapat sejumlah ahli tafsir.
A.    Ahli Tafsir dari Makkah
Kebanyakan ahli tafsir yang ada di Makkah, pada umumnya berguru kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās. Mereka menafsirkan al-Qur`an darinya. al-Suyūṭī dari Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh al-Zurqānī dan lainnya mengatakan “Orang yang paling mengetahui di bidang tafsir adalah penduduk Makkah.”[12] Di antaranya adalah:
1.      Mujāhid bin Jabr (21-103 H/641-721 M)
Dia adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh al-Sā`ib bin Abī al-Sā`ib. Dia adalah yang paling sedikit meriwayatkan tafsir dari Ibnu ‘Abbās. Meskipun begitu dia merupakan yang paling thiqqah di antara sahabat Ibnu ‘Abbās yang lainnya. al-Faḍal bin Maymūn, sebagaimana dikutip oleh al-Zurqānī dan lainnya mendengar Mujāhid berkata “Aku meneliti al-Qur`an dari Ibnu ‘Abbās sebanyak tiga puluh kali.”[13]
2.      ‘Ikrimah mawlā Ibnu ‘Abbās (w. 105 H/ 723 M)
Dia pada mulanya adalah seorang budak dari bangsa Barbar yang kemudian dimerdekakan oleh Ibnu ‘Abbās. Dia meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ‘Alī bin Abī Ṭālib, Abū Hurayrah dan yang lainnya. al-Shāfi’ī, sebagaimana dikutip oleh al-Zurqānī mengatakan “Tidak ada yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an daripada ‘Ikrimah.”[14] Tetapi meskipun demikian, ulama` berbeda pendapat mengenai ke-thiqqah-annya. Sebagian mereka berpendapat bahwa dia tidak thiqqah, sehingga mereka tidak mengambil riwayat darinya. Sebagian yang lain mengakui ke-thiqqah-annya dan mengambil riwayat darinya.
3.       ‘Aṭā` bin Abī Rabāḥ (w. 114 H/732 M)
‘Aṭā` meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amr bin al-‘Āṣ dan lainnya. Dia adalah orang yang thiqqah lagi paham terhadap ilmu agama, sehingga penduduk Makkah sering meminta fatwa kepadanya. Abū Ḥanīfah, sebagaimana dikutip oleh oleh al-Dhahabī mengatakan “Aku tidak melihat orang yang aku temui yang lebih utama daripada ‘Aṭā`.”[15]
B.     Ahli Tafsir dari Madinah
Banyak penduduk Madinah yang berasal dari kalangan sahabat. Mereka mendirikan majlis untuk mengajarkan al-Qur`an dan sunah Nabi kepada generasi setelahnya, yakni tabi’in. Sehingga dari sini muncul tokoh-tokoh ahli tafsir yang kebanyakan mereka belajar dari ‘Ubay bin Ka’ab. Mereka adalah:
1.      Abū al-‘Āliyyah (w. 90 H)
Dia adalah Abū al-‘Āliyyah Rafī’ bin Mahrān al-Riyaḥī. Dia masuk Islam dua tahun setelah Nabi Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam wafat. Dia meriwayatkan dari Ibnu Mas’ūd, Ibnu ‘Abbās, Ibnu ‘Umar, Ubay bin Ka’ab dan lainnya. Dia termasuk satu dari para tabi’in yang thiqqah yang terkenal dalam bidang tafsir. Ibnu Abī Dāwud, sebagaimana dikutip oleh al-Dhahabī mengatakan “Tidak ada seorang pun setelah sahabat yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an daripada Abū al-‘Āliyyah.”[16]
2.      Muḥammad bin Ka’ab (w. 118 H)
Dia adalah Muḥammad bin Ka’ab bin Salīm bin Asad al-Qurẓī. Dia meriwayatkan dari ‘Alī, Ibnu Mas’ūd, Ibnu ‘Abbās, Ubay bin Ka’ab dan lainnya. Dia terkenal sebagai tokoh yang thiqqah, adil, wara’ dan banyak hadisnya. Ibnu ‘Awn, sebagaimana dikutip oleh al-Dhahabī mengatakan “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih tahu tentang ta`wīl al-Qur`an daripada al-Qurẓī.”[17]
3.      Zayd bin Aslam (w. 136 H)
Dia pada awalnya adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb Raḍiya Allāhu ‘Anhu. Dia termasuk golongan tabi’in besar. Dalam menafsirkan al-Qur’an kebanyakan dia menggunakan pendapatnya.
C.    Ahli Tafsir dari Irak
Kebanyakan ahli tafsir di sini meriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd. Penafsiran yang mereka lakukan kebanyakan berdasarkan pada pendapat dan ijtihad mereka sendiri. Adapun mereka di antaranya adalah:
1.      ‘Alqamah bin Qays (w. 61 H)
Dia adalah ‘Alqamah bin Qays bin ‘Abdullāh bin Mālik. Dia meriwayatkan dari ‘Umar, ‘Uthmān, ‘Alī, Ibnu Mas’ūd dan lainnya. Tetapi dia lebih terenal sebagai periwayat dari Ibnu Mas’ūd. Diriwayatkan dari ‘Abdurraḥman bin Yazīd sebagaimana dikutip oleh al-Dhahabī, dia berkata “Abdullāh berkata ‘Aku tidak membaca sesuatu dan tidak mengetahuinya kecuali ‘Alqamah juga membaca dan mengetahuinya.’”[18]
2.      Masrūq (w. 63 H)
Dia adalah Masrūq bin al-Ajza’ bin Malik. Diceritakan dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirūn karya Muḥammad Husayn al-Dhahabī, bahwa suatu hari dia ditanya oleh ‘Umar tentang namanya. Kemudian dia menjawab “Namaku Masrūq bin al-Ajda’.” ‘Umar berkata “al-Ajda’ adalah shayṭān. Kamu Masrūq bin ‘Abdurraḥman.”[19] Dia meriwayatkan dari khulafā` al-rāshidīn, Ibnu Mas’ūd, ‘Ubay bin Ka’ab dan lainnya.
3.      Qatādah (w. 117 H)
Dia adalah Abū al-Khaṭṭāb Qatādah bin Da’āmah. Dia meriwayatkan dari Anas, Abī al-Ṭufayl, Ibnu Sīrīn, ‘Ikrimah, ‘Aṭā` bin Abī Rabāḥ dan lainnya. Dia memiliki hafalan yanh kuat. Sa’īd bin al-Musayyab, sebagaimana dikutip oleh al-Dhahabī, dia berkata “Tidak ada orang Irak yang datang kepadaku yang lebih baik daripada Qatādah.”[20]
Selain empat tokoh di atas, masih ada tokoh ahli tafsir lain di Irak. Di antara mereka adalah Murrah al-Hamdānī (w. 76 H), ‘Āmir al-Sha’bī (w. 109), al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H) dan lainnya.
4.      al-Aswād bin Yazīd (w. 74 H)
Dia adalah al-Aswād bin Yazīd bin Qays. Dia meriwayatkan dari Abū Bakar, ‘Alī, Ḥudhayfah, Bilāl, Ibnu Mas’ūd dan lainnya. Alla merahmatinya dengan sifat thiqqah dan memiliki pemahaman mendalam tentang al-Qur`an.
III. Kelebihan dan Kekurangan
Dalam menafsirkan al-Qur’an dibutuhkan sebuah metode-metode khusus. Sehingga dengan digunakannya metode tersebut diharapkan dalam menafsirkan al-Qur`an dapat membuahkan hasil yang baik, namun dari metode-metode tersebut tentunya ada kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan dan kekurangan dalam metode bahasa ini diantaranya yaitu:
A.    Kelebihan Metode Bahasa:
1.      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur`an.
2.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3.      Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
B.     Kelemahan Metode Bahasa:
1.      Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
2.      Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
IV. Kesimpulan

Dari berbahai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, ilmu al-Qur`an sangat luas salah satunya yaitu dalam bidang tafsir. Pada tafsir sendiri itu juga memiliki berbagai ilmu yang sangat luas. Tafsir dari waktu ke waktu mengalami sebuah perkembangan yang begitu pesat. Munculnya ilmu tafsir sejak masa nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat, dan selanjutnya di teruskan oleh para tabi’in dan seterusnya.
Metode bahasa dalam menafsirkan al-Qur`an sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat. Karena tidak semua ayat al-Qur`an ditafsirkan nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Sehingga setelah meninggalnya, dan permasalahan semakin bertambah maka al-Qur`an butuh ditafsirkan, supaya tidak menimbulkan tidak adanya dalil hukum pada sebuah permasalahan tersebut. Metode ini selanjutnya di kembangkan oleh masa setelahnya yaitu masa tabi’in. Pada masa tabi’in usaha penafsiran al-Qur`an semakin bertambah, karena mereka sudah jauh dengan masa nabi nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, maka mereka berguru kepada para sahabat dan mendapat pengajaran ilmu al-Qur`an dari sahabat. Diantaranya yaitu  Mujāhid bin Jabr, al-Aswād bin Yazīd dan masih banyak lainya.
Metode bahasa yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihanya yaitu Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur`an, memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya, mengikat mufasir dalam teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan. Adapun di antara kekurangannya yaitu terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok al-Qur`an menjadi kabur dicelah uraian itu, Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasĪkh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.

Daftar Pustaka

Al-Qur`an
Darraz, Abdullah.  al-Naba' al-AḍĪm,. Mesir: Dar al-'Urubah. 1960.
Al-ShaṭibĪ (al). Al-Muwafaqat. Bairut: Dar al-Ma’rifah. Beirut, t.th.
Dhahabī (al), Muḥammad Husayn. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Dār al-Hadīth. 2005.
Qaṭṭān (al), Mannā’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an. terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013.
Qaṭṭān (al), Mannā’ al- Mabāhith fĪ Ulum al-Qur`an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 245.
Ṭabarī (al), Muḥammad bin Jarīr. Jāmi’ al-Bayān. Beirut: Dār al-Fikr. 2009
Zurqānī (al), Muḥammad ‘Abdu al-‘Aẓīm. Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur`ān. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2010.


[1] Mannā’ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), 423.
[2] Al-ShaṭibĪ, al-Muwafaqat, (Bairut: Dar al-Ma’rifah,  t.th.), 2: 18.
[3] Abdullah Darraz, al-Naba' al-AḍĪm, (Mesir: Dar al-'Urubah, 1960),  111.
[4] Al-Qur`an, 2: 57.
[5] Ibid., 3: 7.
[6] Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), 1:382.
[7] Ibid., 1: 385.
[8] Ibid., 1: 585.
[9] Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāhith fĪ Ulum al-Qur`an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 245.
[10] Ibid., 246.          
[11] Al-Qur`an, 53: 43.
[12] Muḥammad ‘Abdu al-‘Aẓīm al-Zurqānī, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), 275.
[13] Muḥammad Husayn al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kairo: Dār al-Hadīth, 2005), 1:96.
[14] al-Zurqānī, Manāhil al-‘Irfān, 275.
[15] al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 1:103.
[16] al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 1:105.
[17] Ibid., 1:106.
[18] al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 1:108.
[19] Ibid., 1:109.
[20] Ibid., 1:114.