Jumat, 16 Oktober 2015

PENDIDIKAN BAGI KAUM WANITA



URGENSI PENDIDIKAN BAGI KAUM WANITA
Oleh: Khoirudin Azis






I. Pendahuluan
Pada saat ini, zaman mengalami perkembangan yang begitu pesat. Mulai dari teknologi maupun yang lainya. Dengan adanya perkembangan zaman yang begitu pesat, muncullah desakan dari dalam hati sebagian klompok manusia berusaha mengikuti perkembangan ini. Hal yang menyebabkan drastisnya peningkatan pada suatu perkembangan zaman salah satunya adalah pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan kemampuannya dan memajukan sebuah ilmu pengetahuan. Namun, pada kenyataanya tidak semua manusia dapat menggapai semua apa yang diinginkanya, yaitu menjadi insan yang berpendidikan tinggi. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa faktor yang mengalangi berhasilnya cita-cita semua manusia untuk berpendidikan tinggi, diantaranya yaitu faktor ekonomi dan faktor kurangnya kesadaran dalam menanggapi pentingnya pendidikan untuk menjadi manusia yang berilmu tinggi.
Pendidikan tidak hanya didapat dari sekolah formal saja, namun juga bisa diperoleh dari sekolah non formal bahkan pengalaman yang terjadi pada kehidupan seseorang. Pendidikan tidak hanya seperti ilmu matematika, sejarah, ipa tapi juga pendidikan berupa moral agar memiliki karakter yang baik
Sebenarnya, pendidikan sudah ada sejak dulu, terutama Islam. Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam telah mendidik umatnya dengan baik. Dalam Islam pendidikan diperuntukkan untuk semua manusia,  baik itu laki-laki maupun perempuan. Ke duanya memiliki hak dalam menuntut ilmu agar menjadi manusia yang baik. Itu telah terbukti, dengan adanya Islam, mampu merubah yang awalnya manusia tidak baik dan sekarang menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian wanita, hadis tentang hak dan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita, makna mufrodat dan makna umum pada hadis, penjelasan pada hadis tersebut dan perbedaan pendapat tentang hak pendidikan bagi kaum wanita.


II. Pengertian Wanita dan Pendidikan
A.    Pengertian Wanita
Wanita dalam bahasa Inggris adalah Woman merupakan lawan kata dari Man/Male yang artinya adalah laki-laki.[1] Wanita adalah insan yang dianugerahi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā sifat-sifat halus antara lain ialah sabar, penyayang dan cinta kasih.
B. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha atau kegiatan membimbing atau tuntunan yang dilakukan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik untuk mencapai tujuan atau cita-cita.
Pendidikan Islam adalah usaha orang muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.[2]
Pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.[3] Pada intinya pendidikan adalah suatu usaha untuk mencapai sesuatu yang baik pada diri seseorang.
III. Dalil Tentang Pendidikan Wanita
A. Hadis tentang Pendidikan Wanita
1. حَدّثَنَا أحْمَدْ بن محمّد أخبرنا عبدُ الله بن المبارك أخبرنا معمّر عن ابن شهاب حدثنا عبد الله بن أبي بكر بن حزم عن عروة عن عَائشة قالت دَخلت اِمرأة معها ابنتان لها فسألت فلم تجد عندي شيئا غير تمرة فأعطيتها إياها فقسمتها بين ابنتيها ولم تأكل منها ثم قامت فخرجت فدخل النبي صلى الله عليه وسلم فأخبرته فقال النبي صلى الله عليه وسلم من ابتلي بشيء من هذه البنات كن له سترا من النار .أخرجه الترمذي.
 قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح[4].
Aisyah berkata: Telah datang seorang perempuan beserta kedua anak perempuanya meminta-minta, namun saya tidak memiliki sesuatu apapun kecuali satu kurma, kemudian saya memberikan kurma tersebut kepadanya, kemudian perempuan itu membagi kurma tersebut di antara anak-anak perempuanya dan perempuan tersebut tidak makan kurma tersebut, kemudian dia berdiri dan keluar. Kemudian nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam datang kepada kita, kemudian saya menceritakan kejadian tersebut kepada nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. kemudian nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda: Barang siapa diuji dari anak-anak perempuan ini dengan sesuatu, baginya akan menjadi perisai/penghalang dari api neraka.
B. Makna Mufrodat

Pada lafadz ابتلي bermakna di uji atau di coba, di uji dengan rizki Allah Subḥānahu wa Ta’ālā pada anank-anak perempuan. Dinamakan di uji/dicoba, karena biasanya manusia tidak menyukai anak perempuan (lebih suka anak laki-laki) karena anak-anak perempuan cenderung tidak memiliki sumber nafkah dan penghasilan.[5]
Pada lafadz سترا bermakna tutup/prisai/tameng, yang dimaksud di sini adalah perisai atau penghalang dari panas api Neraka berkat mengutamakan  pendidikannya dan beramal baik kepadanya.[6]
C. Makna Umum

Hadis di atas adalah salah satu hadis yang dapat diambil sebuah pelajaran yang sangat berharga. Pada hadis tersebut mengisahkan orang tua yang di uji dengan diberi anak-anak perempuan. Dikatakan di uji karena pada zaman dahulu anak perempuan di pandang sebelah mata, kaum wanita mendapatkan kedudukan yang sangat rendah dan hina, hingga kelahiran seorang anak perempuan dalam keluarga dianggap suatu yang aib dan harus membunuh anak itu semasa bayi. Namun, meskipun orang tersebut diberi ujian atau di coba berupa anak-anak perempuan, seorang perempuan tersebut (ibu) tetap sabar dan tabah. Bahkan tidak menghiraukan apa kata orang lain yang mengejeknya, sebab memiliki anak-anak perempuan, tapi sebaliknya, mencintai dan menyayangi bahkan rela meminta-minta demi anak-anaknya, dan ketika mendapatkan rizqi berupa makanan dia rela tidak makan, hasilnya diberikan kepada anak-anak perempuannya dan dia rela kelaparan asalkan anaknya tidak. Pada kisah yang ada pada hadis ini, yang di nilai baik tidaknya bukan pada karena orang miskin atau kaya hartanya, namun usahanya dalam menjaga dan menafkahi anak-anaknya.
Pada hadis di atas juga menjelaskan betapa pentingnya pendidikan. Tidak hanya pada laki-laki saja, tapi juga kepada kaum perempuan. Pada hadis tersebut nabi mengajarkan kepada perempuan supaya mencintai, menyayangi, menjaga, memberikan pendidikan, berbuat baik kepada anak-anak perempuanya, dan hal yang demikian akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.
Pendidikan, bisa di dapat tidak hanya dari sekolah formal saja, tapi juga bisa di dapat dari pendidikan non formal bahkan seseorang bisa mendapatkan pendidikan dari kejadian yang dialami pada kehidupan sehari-harinya. Pendidikan tidak hanya berupa belajar matematika, fisika, bahasa dan lain sebagainya seperti yang telah diajarkan dalam sekolah-sekolah formal. Namun, pendidikan juga bisa berupa pendidikan moral, latihan bertanggung jawab, melatih kesadaran diri, rela berkorban, berbuat baik pada orang lain dan sopan santun agar menjadi manusia yang memiliki karakter baik, tapi alangkah baiknya apabila manusia memiliki pendidikan yang lengkap agar menjadi manusia yang intelek dan berkarakter baik.
D. Rawi A’la
1. Sayidah ‘Aisyah
Beliau adalah ‘Aisyah binti Abī Bakar. Memiliki gelar al-Ṣidīq al-Taymiyah. Beliau sering dipanggil Ummu al-Mukminīn, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullāh, Ibunda beliau bernama Ummu Rūman binti ‘mir. Diantara guru-gurunya adalah nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam (suaminya), Amr al-Aslami, Sa’īd bin Abī Waqās, Abī Bakar al-idīq (ayahnya), Fatimah al-Zahra` binti Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam dan lain sebagainya. Sedangkan murid-muridnya adalah Ibrahīm bin Yazīd al-Taymi, Zaid bin Aslam, Khālid bin Sa’īd dan lain-lain.[7] Beliau adalah satu-satunya istri nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam yang dinikahi masih dalam keadaan gadis dan semua istri nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam selain beliau adalah janda. Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam menikahinya setelah wafatnya Sayidah Khādijah.
IV. Hak Belajar Pada Wanita

Pada masa awal Islam, ilmu belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Perkembangan zaman yang begitu cepat mendorong kepada semua manusia agar lebih meningkatkan bidang pendidikan. Islam menganjurkan kepada semua manusia agar selalu tidak puas dalam mencari ilmu.
 Dalam Islam, laki-laki dan perempuan adalah sosok manusia yang sama, sebab pada dasarnya perempuan terlahir dari laki-laki begitu pula dengan laki-laki terlahir dari perempuan.[8] Sehingga keduanya memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu.
Dalam pendidikan, sebagaimana yang di jelaskan dalam buku Membumikan al-Qur’an Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla tidak hanya membatasi kewajiban belajar hanya kepada perempuan-perempuan merdeka saja (yang memiliki status sosial tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.[9] Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam juga tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal keleluasan belajar. Hal tersebut sesuai dengan hadis beliau:
حدثنا مسدد حدثنا أبو عوانة عن عبد الرحمن بن الأصبهاني عن أبي صالح ذكوان عن أبي سعيد:جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالت يا رسول الله ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من نفسك يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله فقال (اجتمعن في يوم كذا وكذا في مكان كذا وكذا). فاجتمعن فأتاهن رسول الله صلى الله عليه و سلم فعلمهن مما علمه الله ثم قال( ما منكن امرأة تقدم بين يديها من ولدها ثلاثة إلا كان لها حجابا من النار ). فقالت امرأة منهن يا رسول الله ؟ اثنين ؟ قال فأعادتها مرتين ثم قال ( واثنين واثنين واثنين).[10]
Dari Abī Sa’īd: Telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla, lalu ia berkata: Ya Rasulallah kaum laki–laki telah pergi dengan memperoleh hadis darimu, maka perkenankanlah bagi kami darimu suatu hari yang kami datang  dan engkau mengajarkan kami di dalamnya dari apa yang telah diajarkan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā padamu. Maka Rasulullah bersabda: ”Berkumpulah kalian dihari ini dan di tempat ini”, maka Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla mendatangi mereka dan mengajarkan pada mereka dari apa yang telah diajarkan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā padanya. Kemudian ia bersabda” Tidaklah seorang perempuan dari kalian yang telah wafat darinya tiga orang anak kecuali mereka akan menjadi hijab di Neraka. Seorang perempuan bertanya Ya Rasulallah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla jika dua? Maka dia mengulangi pertanyaan itu dua kali , maka Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla bersabda: dan dua, dan dua, dan dua.
Pada hadis di atas menjelaskan bahwa perempuan juga memiliki hak dalam pendidikan. Ada seorang perempuan yang mendatangi Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla minta untuk diajari ilmu seperti Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla dalam memberikan pengajaran kepada seorang laki-laki.
Di dalam buku yang berjudul “Membaca Perkembangan Wacana Hak Asasi Manusia” dijelakan berbagai macam hak yang harus didapat bagi semua manusia, salah satunya yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.[11] Maksudnya adalah semua manusia berhak mendapatkan pendidikan baik itu laki-laki maupun perempuan.
V. Beberapa Pendapat Tentang Pendidikan Wanita
Wanita memiliki hak untuk memperoleh pendidikan ilmu baik ilmu umum maupun ilmu agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, sebagaimana kewajiban untuk berdagang dan bertransaksi. Jika suaminya tidak mampu untuk memberikan padanya ilmu tersebut, maka wanita tersebut menurut Islam wajib untuk mencarinya.
Studi tentang pendidikan bagi wanita dalam umat Islam memperlihatkan dua pendapat yang berbeda:[12]
A.    Pendapat  yang menolak pendidikan wanita
Para ulama yang menolak pendidikan wanita, yaitu tidak boleh mengajar wanita selain agama dan al-Quran, dan dilarang mengajarkan menulis. Wanita yang diberi pelajaran menulis diserupakan dengan ular yang menghirup racun. Pendukung pendapat ini mengambil dasar dari Ali bin Abi Thalib yang menjumpai seorang pria yang sedang mengajarkan menulis kepada seorang wanita, lalu beliau menegur, “jangan kamu menambah kejahatan dengan kejahatan.” Selanjutnya pendukung pendapat ini meriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khatab melarang wanita belajar menulis. Disamping itu mereka menisbahkan para wanita dengan kekurangan dari segi akal dan agama, dan kekurangan ini merupakan faktor yang menyebabkan  tidak boleh mengajarkan pengetahuan kepada para wanita.
B.     Pendapat yang memperbolehkan pendidikan wanita
Para pendukung yang memberi pengajaran kepada wanita dengan menggunakan dalil-dalil dari hadis nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Salla yang menganjurkan untuk memberi pengajaran kepada wanita, sebagian dari hadis tersebut ialah:
حدثنا هشام بن عمار  حدثنا حفص بن سليمان حدثنا كثير بن شنظير عن محمد بن سيرين عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (طلب العلم فريضة على كل مسلم.[13]
Menuntut ilmu wajib bagi orang Muslim (dan Muslimah)
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih cenderung memilih pendapat yang kedua, karena dasar atau dalil yang digunakan lebih jelas, dan masih ada banyak dalil yang lainya yang menganjurkan pendidikan perempuan. Meskipun dalam redaksi matan hadis di atas hanya menyebutkan lafadz Muslimin saja tanpa ada lafadz Muslimat, namun hadis tersebut di tujukan untuk kaum Muslimat juga. Suatu dalil baik itu al-Qur’an ataupun hadis apabila secara dzahir terlihat hanya ditujukan pada seorang laki-laki, itu berarti juga ditujukan atau berlaku pada kaum wanita juga, selama tidak ada hal-hal yang menandakan penghususan (takhṣīs) pada dalil tersebut di tujukan untuk laki-laki saja atau perempuas saja.
VI. Kesimpulan
Wanita adalah insan yang dianugerahi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā sifat-sifat halus antara lain ialah sabar, penyayang dan cinta kasih. Yang di maksud Pendidikan adalah usaha atau kegiatan membimbing atau tuntunan yang dilakukan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik untuk mencapai tujuan atau cita-cita.
Pendidikan tidak hanya diperuntukkan kaum laki-laki saja, namun juga perempuan. Ulama berbeda pendapat dalam menanggapi pendidikan terhadap wanita, sebagian dari mereka ada yang memperbolehkanya dan sebagian lagi ada yang tidak setuju.
VII. Kritik dan Saran
Penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini. Dan senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat dan lebih baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.














Daftar Pustaka
Abu ‘Abdullah, Muhammad Ibn Yazīd . Sunan Ibn Mājah. Bairūt: Dār al-Fikr, t.th..
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara. 2000.
Bukhāri (al), Muhammad Ibn ‘Ismā’īl Abu Abdillāh. al-Jāmi’ al-Ṣahih al-Mukhtaar. Bairūt: Dar Ibn Kathīr. 1987.
Daradjat, Zakiah. Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1996.
Forum Kajian Ilmiyah (FKI) Ahla Shuffah 103, Tafsir Maqashidi: Kajian Tematik Maqashi al-Syari’ah. Kediri: Lirboyo Press. 2013.
Hasan (al), Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Husain. Al-Hidāyah Wa al-Irshād Fī Ma’rifati Ahli al-Thiqāh al-Sadād. Bairūt: Dār al-Ma’rifah. 1407.
Shadily, Hassan. Kamus Indonesia Inggris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2006.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan al-Qur’an. Bandung; PT Mizan Pustaka. 2013.
Sumardi, Syarif Nur Hidayah. Membaca Perkembangan Wacana Hak Asasi Manusia.Yogyakarta: PUSHAM UII. 2012.
Tirmidzī (al), Muhammad Ibn ‘Isa Bin Saurah Ibn Mūsa Ibn al-Ḍuhāk. Sunan al-Tirmidzī. t.t.: Mauqu’ al-Islam. t.th.


[1] Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), 326.
[2] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 32.
[3] Zakiah Daradjat, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1996), 28.
[4] Muhammad Ibn ‘Isa Bin Saurah Ibn Mūsa Ibn al-Ḍuhāk al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, (t.t.: Mauqu’ al-Islam, t.th.), 7: 149.
[5] Muhammad Ibn ‘Ismā’īl Abu Abdillāh al-Bukhāri, al-Jāmi’ al-Ṣahih al-Mukhtaar, (Bairūt: Dar Ibn Kathīr, 1987), 9: 154.
[6] Ibid., 154.
[7] Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Husain Ibn al-Hasan,  al-Hidāyah Wa al-Irshād Fī Ma’rifati Ahli al-Thiqāh al-Sadād, (Bairūt: Dār al-Ma’rifah, 1407), 847.
[8]  Forum Kajian Ilmiyah (FKI) Ahla Shuffah 103, Tafsir Maqashidi: Kajian Tematik Maqashid al-Syari’ah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 183.
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung; PT Mizan Pustaka, 2013), 408.
[10] Muhammad Ibn ‘Ismā’īl  Abu Abdillāh al-Bukhāri, al-Jāmi’ al-Ṣahih al-Mukhtasar, 6: 2666.
[11] Syarif Nur Hidayah, Sumiardi, Membaca Perkembangan Wacana Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta, PUSHAM UII, 2012), 45.
[13] Muhammad Ibn Yazīd Abu ‘Abdullah, Sunan Ibn Mājah, (Bairūt: Dār al-Fikr, t.th.), 2: 81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar