OKSIDENTALISME
(UPAYA PENSETARAAN
NEGARA TIMUR ATAS BARAT)
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
Pengantar Oksidentalisme
Dosen Pengampu:
Najib Bukhari, Lc, M.Th.I
Oleh:
Khoirudin Azis
NIM:
2013.01.01.184
PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2015
OKSIDENTALISME
(UPAYA
PENSETARAAN NEGARA TIMUR ATAS BARAT)
Oleh: Khoirudin Azis
I. Pendahuluan
Nama: Khoirudin Aziz, Blora
Perkembangan zaman begitu pesat. Hal tersebut dikarenakan mulai sadarnya
tingkat pendidikan dari masing-masing individu diberbagai daerah. Tidak hanya
pada imu Sains saja, namun juga dalam bidang bisnis, gaya hidup, moral, bahasa
dan lain sebagainya. Saat ini, negara Barat dinilai yang paling modern dalam
membidangi segala hal dibanding dengan negara Timur. Sehingga tidak sedikit
dari negara Timur berusaha meniru metode-metode yang telah dicetuskan oleh
Barat. Padahal awalnya tidak demikian, Barat lah yang telah terkagum-kagum oleh
Timur. Terutama pada ilmuwan Islam. Oleh sebab itu, mereka dengan semangat
melakukan penelitian terhadap negara Timur.
Barat yang telah hadir di tengah-tengah kehidupan modern dengan
berbagai produknya, tentu saja sangat berpengaruh pada dunia. Diakui atau
tidak, saat ini dunia ketimuran telah banyak meniru dunia Barat. Hal tersebut
dilaksanakan karena mereka menganggap Barat lah yang paling layak untuk diikuti
dalam mensukseskan berbagai usaha. Dan menganggap dirinya berkapasitas lebih
rendah jika dibanding dengan Barat.
Dengan keadaan seperti itu, kemudian muncul lah Oksidentalisme, sebuah
klompok maupun individu yang berusaha melakukan sebuah penelitian dan
pengkajian terhadap Barat dengan tujuan untuk membangkitkan dunia ketimuran
dari ketertinggalan dan berusaha melawan kolonialisme modern yang di lakukan
oleh dunia Barat. Dengan harapan dapat meningkatkan intelektualitas dalam berbagai
macam keilmuan dan mensetarakan antara dunia ketimuran dengan dunia Barat.
Oksidentalisme, pada dasarnya, diciptakan untuk menghadapi Westernisasi
yang memiliki pengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi kita tentang
alam tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban kita, bahkan juga merabah pada
gaya kehidupan sehari-hari: bahasa, manifestasi kehidupan umum dan seni
bangunan.[1]
Oleh sebab itu, di dalam makalah ini penulis akan berusaha
menjelaskan mengenai kajian oksidentalisme yang meliputi, pengertian oksidentalisme,
tujuan ksidentalisme, sejarah ksidentalisme, dan tokoh-tokoh oksidentalisme.
Agar dapat digunakan pembaca sebagai media untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan mengenai oksidentalisme.
II. Pengertian Oksidentalisme
Di dalam Kamus Ilmiyah dijelaskan, Oksidentalisme secara etimologi adalah berasal dari kata dasar
oksiden yang berarti negri Barat. Sedangkan objeknya dinamakan oksidental
yang berarti dunia barat, orang barat, atau kebaratan. Orang yang melakukan
kajian atau penelitian terhadap Barat dinamakan oksidentalis. Oksidentalisme adalah watak budaya Barat atau
penyerapan budaya atau adat istiadat Barat oleh orang-orang Timur.[2]
Sedangkan Oksidentalisme secara istilah adalah sebuah
disiplin ilmu yang membahas tentang dunia Barat.[3] Sedangkan menurut A. Mukti Ali dalam karya bukunya
menyebutkan yang dimaksud dengan Oksidentalisme adalah teori-teori dan ilmu tentang agama, kebudayaan dan peradaban Barat.[4]
Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah Orientalisme, dalam pengertian umum, Orientalisme adalah suatu kajian konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur. Sehingga dapat diketahui bahwa Oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat dengan cara sudut pandang Timur[5]. Dalam Oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik, Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian.[6]
Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah Orientalisme, dalam pengertian umum, Orientalisme adalah suatu kajian konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur. Sehingga dapat diketahui bahwa Oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat dengan cara sudut pandang Timur[5]. Dalam Oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik, Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian.[6]
Oksidentalisme menurut Hassan Hanafi adalah sebuah studi tentang
Barat dengan cara pandang Timur (Islam).[7] Jadi,
dari beberapa uraian pengertian yang telah disebutkan di atas, secara garis
besar, yang dimaksud dengan Oksidentalisme adalah suatu usaha individu atau
klompok yang berasal dari negara ketimuran yang bermaksud untuk mensetarakan
dengan negara Barat.
IV. Sejarah Oksidentalisme
Pada abad 17 hingga
abad 18 M adalah masa disintegrasi (penyatuan) kekuasaan Islam,
hilangnya rasionalisme dan mengentalnya sufisme dalam kehidupan masyarakat
Islam merupakan fenomena yang menganjal dan sekaligus sebagai pertanda bagi
degradasi (kemunduran) Islam. Sebaliknya, pada waktu itu pula dunia Barat
sedang mencapai prestasi di bidang Sains dan Teknologi. Sebagai upaya untuk
mengejar ketertinggalan dan melepaskan diri dari cengkraman kolonial Barat,
dunia Islam, terutama Mesir dan Turki melakukan studi tentang kemajuan-kemajuan
Barat baik dibidang Sains dan Teknologi. Oleh karena itu, beberapa delegasi
pelajar dikirim ke Barat untuk mendalami ilmu di sana. Sekitar dua abad, mereka
berguru terhadap orang Barat dalam berbagai hal, namun hal tersebut belum bisa
mengantarkan dunia Islam kepada kemajuan yang diharapkan. Sementara studi
tentang pemikiran atau filsafat Barat masih terlalu prematur (gegabah),
sehingga studi tersebut belum memuaskan dan memberi konstribusi bagi
Intelektual Islam.
Kemudian dalam
perkembanganya, munculah Hassan Hanafi seorang revolusioner (penggerak)
yang menguasai tradisi keilmuan Islam klasik dan tradisi keilmuan Barat.
Penguasanya tersebut mampu membuat pembaharuan yang komprehensif. Baginya
pembaharuan dalam Islam, tidak bisa lepas dari keberlaluan masa lampau Islam.
Disamping itu pembaharuan dalam Islam, juga tidak bisa menafikan keberadaan
Barat, yang sudah menjadi fenomena perilaku dan pemikiran di dunia Islam.
Menurut Hassan Hanafi,
Oksidentalisme dibangunnya mempunyai akar sejarah dalam khasanah keilmuan
Islam, karena hubungan antara dunia
Islam dengan Barat tidak hanya terjadi pada abad modern, melainkan telah
dimulai sejak 12 abad yang silam. Hal itu terjadi ketika ulama berhadapan
dengan filsafat Yunani.[8]
Secara historis
prototipe Oksidentalisme sebenarnya dapat dilacak sejak terjadinya
pertemuan antara Barat dan Timur, antara
masyarakat kristen di Barat dan
masyarakat Muslim di Timur.[9]
III. Tujuan Oksidentalisme
Setelah melihat penjelasan di atas
maka dapat diketahui bahwa bentuk kajian yang dipelajari oksidentalisme
merupakan timbal balik apa yang dilakukan oleh Orientalisme. Adapun tujuan oksidentalisme
di antaranya yaitu:
1. Menghapus rasa rendah diri pada
bangsa non-Barat.
2. Melakukan penulisan ulang sejarah
agar semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa.
3. Mengakhiri Orientalisme, menempatkan
Timur sebagai subjek.
4. Membentuk peneliti-peneliti muslim
yang memelajari peradabannya dari perspektifnya sendiri, dan mengkaji peradaban
lain secara netral.
5. Lahirnya generasi yang mampu
melepaskan umat Islam dari belenggu penjajahan budaya dan ilmu pengetahuan
serta teknologi.
6. Dengan Oksidentalisme, manusia akan
mengalami era baru dimana tidak ada lagi penyakit realisme (kepatuhan pada
fakta) terpendam.[10]
7. Oksidentalisme, sebagai alat untuk
menghadapi barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban
Timur.[11]
8. Melakukan pembebasan diri dari
pengaruh pihak agar terdapat kesetaraan al-āna yakni
dunia islam dan Timur pada umumnya, dan ākhbar yakni
dunia Eropa dan Barat pada umumnya.[12]
V. Tokoh-Tokoh Oksidentalisme
1. DR. Hassan Hanafi
Nama lengkap adalah Hassan Hanafi ialah Hanafi Hassanein. Ia
dilahirkan pada tagal 13 Februari 1935 di Cairo, tepatnya di lokasi sekitar
tembok benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan al-Azhar,
Mesir. Meskipun Hasan Hanafi sebagai seorang filosof dan teologi (teori studi
tentang Tuhan), namun ia tumbuh dikeluarga musisi.
Pada tahun 1948 M, beliau menamatkan pendidikan tingkat dasar dan
kemudian melanjutkan studinya di sekolah Menengah “Khalil Agha” Cairo yang
diselesaikanya selama empat tahun. Pada tahun 1952 beliau melanjutkan studinya
di Departemen Filsafat Universitas Cairo, dan beliau menyelesaikannya selama
empat tahun dengan gelar sarjana muda pada tahun 1952 M.
Hasan Hasafi banyak menyerap pengetahuan barat dan
mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra modern. Karena itu,
Meskipun ia menolak dan mengkritik barat seperti di sebut Kazuo Shimogaki,
ide-ide liberalisme barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah
mempengaruhinya sehingga Shimogaki mengkategorikan Hassan Hanafi sebagai
seorang modernis Liberal.[13]
Diantara rekan-rekanya adalah Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad
Abid al-Jabiri.[14]
2. Jamaluddīn al-Afghāni
Nama lengkapnya adalah Jamaluddīn al-Afghāni
as-Sayīd Muhammad bin Shafdār al-Husain.
Namun ia lebih dikenal dengan Jamaluddīn al-Afgāni. Dilahirkan di desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan pada
tahun 1838. Al- al-Afghāni masih memiliki ikatan darah dengan cucu
Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya Sayīd Safdār al-Husainiyyah, yang nasabnya
bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur yang
telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin
Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa kecil
dan remajanya, ia habiskan di Afganistan. Namun ketika beranjak dewasa, ia
berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan
Prancis. Ia merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis
terkenal. Kebencian al-Afghāni terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham
serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya
maupun tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum muslimin gejolak
kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afghāni menjadi
seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi
sosial pada abad ke-19 dan ke-20.[15]
3. DR. Muhammad Abduh
Syeikh Muhammad Abduh termasuk keluarga
petani, yang memiliki 40 feddan (bahu). Beliau lahir pada tahun 1849 M. Ayahnya
bernama Abdul Chairullah, Penduduk kampung Nasr, daerah Subrakhit, dari
propinsi Buhairah (Mesir bawah). Ibunya bernama Junainah, berasal dari
Gharbiah. Pada tahun 1862, setelah beliau menghafal al-Qur’an, beliau dikirim
ke kota Tanta untuk belajar ilmu-ilmu agama islam.Beliau kembali ke tanah
kelahiranya pada tahun 1865 M. Dan pada tahun depanya beliau pergi ke Cairo,
Mesir berada di masjid al-Azhar untuk menjadi seorang sufi, namun kehidupanya
sebagai seorang sufi itu ditinggalkan atas anjuran pamanya.
Pada tahun 1872 beliau
bertemu Syeikh Jamaluddīn al-Afghāni, kemudian beliau berguru kepadanya. Beliau termasuk murid yang setia. Pada
tahun 1894 , beliau menjadi pimpinan tertingggi di al-Azhar. Beliau wafat pada
tahun 1905 M.[16]
4. Sheikh Muhammad Rashīd Riḍa.
Muhammad Rashīd Riḍa, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27
Jumadil Awal 1282 H. Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan
langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abu Thalib dan Fatimah putri
Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Salah satu gurunya adalah
Jamaluddīn al-Afghāni. Beliau terkenal murid yang paling tekun dalam mata kuliah tafsir.
Muhammad Abduh adalah
salah satu dosen di Universitas al-Azhar Cairo Mesir. Beliau mendapatkan
sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Beliau termasuk ulama yang
produkfit, salah satu karyanya yaitu Tafsir al-Qur’an al-Hakim, atau lebih
terkenal dengan sebutan Tafsir al-Manār.[17]
5. Nurcholish Madjid. M.A
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram
1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah
Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar
(sore), Pesantren Darul 'Ulum di
Rejoso Jombang, KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren
Darus Salam di Gontor Ponorogo, IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra
Arab, 1968) dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought,
1984).[18]
6. Adian Husaini, M.A
Lahir di Bojonegoro, 17 Desember 1965. Beliau adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sekretaris jenderal Komite
Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk
Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi
Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus
Majlis Tabligh Muhammadiyah.[19]
VI. Kesimpulan
Di dalam Kamus Ilmiyah dijelaskan, Oksidentalisme secara etimologi adalah berasal dari kata dasar oksiden yang berarti negri Barat. Sedangkan objeknya dinamakan oksidental yang berarti dunia barat, orang barat, atau kebaratan. Orang yang melakukan kajian atau penelitian terhadap Barat dinamakan oksidentalis. Oksidentalisme adalah watak budaya Barat atau penyerapan budaya atau adat istiadat Barat oleh orang-orang Timur
Sedangkan
makna Oksidentalisme secara Istilah adalah kajian kebaratan atau suatu kajian
konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat
Barat dengan cara sudut pandang Timur dengan maksud untuk mensetarakan dengan
negara Barat.
Tujuan
dari para tokoh Oksidentalisme secara garis besar adalah menghapus
rasa rendah diri pada bangsa non-Barat, melakukan penulisan ulang sejarah agar
semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa, mengakhiri
Orientalisme, menempatkan Timur sebagai subjek, menciptakan ilmu Oksidentalisme
sebagai ilmu pengetahuan yang akurat, membentuk peneliti-peneliti muslim yang
memelajari peradabannya dari perspektifnya sendiri, dan mengkaji peradaban lain
secara netral, lahirnya generasi yang mampu melepaskan umat Islam dari belenggu
penjajahan budaya dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Oksidentalis muncul
sejak bertemunya antara Barat dan Timur,
antara masyarakat kristen di Barat dan
masyarakat Muslim di Timur. Dan kemudian di kembangkan oleh Hassan Hanafi.
Adapun tokoh-tokoh Oksidentalisme diantaranya adalah Dr. Hasan
Hanafi, Jamaluddīn al-Afghāni, Dr. Muhammad Abduh, Sheikh Muhammad Rasyid Ridha, Nurcholish Madjid M.A, dan Adian Husaini, M.A
VII. Kritik dan Saran
Penulis memohon maaf
atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini. Dan senantiasa mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat dan lebih
baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
VIII. Daftar Pustaka
Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar
Oksidentalisme. Yogyakarta: SUKA Press. 2008.
Hanafi,
Hassan. Oksidentalisme, Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. terj.
M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina, 2000.
Hanafi,
Ahmad. Pengantan Teologi Islam. Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru. 2013.
Kuswaya,
Adang. Metode Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: STAIN Salatiga Press. 2011.
Maulana, Achmad, dkk. Kamus Ilmiyah Populer Lengkap.
Yogyakarta: 2011.
Mukti
Ali, Ahmad. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung: Mizan. 1992.
Qaṭṭā
(al), Mannā’ Khalil. Mabāhis Fi ‘Ulūmil Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Jakarta:
PT Pustaka Litera Antar Nusa. 2010.
http//Pengantar%20Oksidentalisme/Umum/tokoh-dan-pemikiranoksidentalis.html,diakses pada tagal 22 September 2015.
http://kampung2sawah.blogspot.co.id/2015/06/oksidentalisme.html, diakses
pada tagal 20/09/2015.
http://newjoesafirablog.blogspot.co.id/2012/05/biografi-jamaludin-al-afgani.html, diakses pada tagal 21 september
2015.
http://henker17.blogspot.co.id/2012/09/makalah-islam-di-timur-oksidentalisme.html,
diakses pada 16 September 2015
[1] Hassan Hanafi,
Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib
Bukhari, (Jakarta: Paramadina, 2000 ), 17.
[2] Achmad Maulana, dkk., Kamus Ilmiyah Populer Lengkap,
(Yogyakarta: 2011), 358.
[3] Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar
Oksidentalisme, (Yogyakarta: SUKA Press, 2008), 81.
[4] A. Mukti Ali, Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung, Mizan, 1992), 45.
[5] Burhanuddin Daya,
Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar
Oksidentalisme, 81.
[6] Burhanuddin Daya, Pergumulan
Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar Oksidentalisme , 81.
[7] Hanafi, Oksidentalisme:
Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, xvii.
[8] http://Pengantar%20Oksidentalisme/Umum/tokoh-dan-pemikiran-oksidentalis.html, Diakses pada
tagal 22 September 2015.
[9] Hanafi, Oksidentalisme:
Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, xvii.
[10] http://kampung2sawah.blogspot.co.id/2015/06/oksidentalisme.html, Di akses pada
tagal 20/09/2015.
[11] Hanafi, Oksidentalisme:
Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, xix.
[12] Ibid., xix.
[13] Adang Kuswaya,
Metode Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Salatiga Press, 2011),
45-46.
[14] Hanafi,
Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari,
xviii.
[15] http://newjoesafirablog.blogspot.co.id/2012/05/biografi-jamaludin-al-afgani.html, diakses pada
tagal 21 september 2015.
[16] A. Hanafi, Pengantan Teologi Islam,
(Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2013), 203.
[17] Mannā’ Khalil
al-Qaṭṭā, Mabāhis Fi ‘Ulūmil Qur’an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: PT
Pustaka Litera Antar Nusa, 2010),
511-512.
[18] http://henker17.blogspot.co.id/2012/09/makalah-islam-di-timur-oksidentalisme.html,
diakses pada 16 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar