Rabu, 07 Oktober 2015

Oksidentalisme


OKSIDENTALISME
(UPAYA PENSETARAAN NEGARA TIMUR ATAS BARAT)

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Oksidentalisme


Dosen Pengampu:
Najib Bukhari, Lc, M.Th.I








Oleh:
Khoirudin Azis
NIM: 2013.01.01.184












PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
 SARANG REMBANG
2015



OKSIDENTALISME
(UPAYA PENSETARAAN NEGARA TIMUR ATAS BARAT)
Oleh: Khoirudin Azis



I. Pendahuluan

                                                               Nama: Khoirudin Aziz, Blora

Perkembangan zaman begitu pesat. Hal tersebut dikarenakan mulai sadarnya tingkat pendidikan dari masing-masing individu diberbagai daerah. Tidak hanya pada imu Sains saja, namun juga dalam bidang bisnis, gaya hidup, moral, bahasa dan lain sebagainya. Saat ini, negara Barat dinilai yang paling modern dalam membidangi segala hal dibanding dengan negara Timur. Sehingga tidak sedikit dari negara Timur berusaha meniru metode-metode yang telah dicetuskan oleh Barat. Padahal awalnya tidak demikian, Barat lah yang telah terkagum-kagum oleh Timur. Terutama pada ilmuwan Islam. Oleh sebab itu, mereka dengan semangat melakukan penelitian terhadap negara Timur.
Barat yang telah hadir di tengah-tengah kehidupan modern dengan berbagai produknya, tentu saja sangat berpengaruh pada dunia. Diakui atau tidak, saat ini dunia ketimuran telah banyak meniru dunia Barat. Hal tersebut dilaksanakan karena mereka menganggap Barat lah yang paling layak untuk diikuti dalam mensukseskan berbagai usaha. Dan menganggap dirinya berkapasitas lebih rendah jika dibanding dengan Barat.
Dengan keadaan seperti itu, kemudian muncul lah Oksidentalisme, sebuah klompok maupun individu yang berusaha melakukan sebuah penelitian dan pengkajian terhadap Barat dengan tujuan untuk membangkitkan dunia ketimuran dari ketertinggalan dan berusaha melawan kolonialisme modern yang di lakukan oleh dunia Barat. Dengan harapan dapat meningkatkan intelektualitas dalam berbagai macam keilmuan dan mensetarakan antara dunia ketimuran dengan dunia Barat.
Oksidentalisme, pada dasarnya, diciptakan untuk menghadapi Westernisasi yang memiliki pengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi kita tentang alam tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban kita, bahkan juga merabah pada gaya kehidupan sehari-hari: bahasa, manifestasi kehidupan umum dan seni bangunan.[1]
Oleh sebab itu, di dalam makalah ini penulis akan berusaha menjelaskan mengenai kajian oksidentalisme yang meliputi, pengertian oksidentalisme, tujuan ksidentalisme, sejarah ksidentalisme, dan tokoh-tokoh oksidentalisme. Agar dapat digunakan pembaca sebagai media untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai oksidentalisme.
II. Pengertian Oksidentalisme
       Di dalam Kamus Ilmiyah dijelaskan, Oksidentalisme secara etimologi adalah berasal dari kata dasar oksiden yang berarti negri Barat. Sedangkan objeknya dinamakan oksidental yang berarti dunia barat, orang barat, atau kebaratan. Orang yang melakukan kajian atau penelitian terhadap Barat dinamakan oksidentalis. Oksidentalisme adalah watak budaya Barat atau penyerapan budaya atau adat istiadat Barat oleh orang-orang Timur.[2]
       Sedangkan Oksidentalisme secara istilah adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang dunia Barat.[3] Sedangkan menurut A. Mukti Ali dalam karya bukunya menyebutkan yang dimaksud dengan Oksidentalisme adalah teori-teori dan ilmu tentang agama, kebudayaan dan peradaban  Barat.[4] 
       Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah Orientalisme, dalam pengertian umum, Orientalisme adalah suatu kajian konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur. Sehingga dapat diketahui bahwa Oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat dengan cara sudut pandang Timur[5]. Dalam Oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik, Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian.[6]
Oksidentalisme menurut Hassan Hanafi adalah sebuah studi tentang Barat dengan cara pandang Timur (Islam).[7] Jadi, dari beberapa uraian pengertian yang telah disebutkan di atas, secara garis besar, yang dimaksud dengan Oksidentalisme adalah suatu usaha individu atau klompok yang berasal dari negara ketimuran yang bermaksud untuk mensetarakan dengan negara Barat.
IV. Sejarah Oksidentalisme
       Pada abad 17 hingga abad 18 M adalah masa disintegrasi (penyatuan) kekuasaan Islam, hilangnya rasionalisme dan mengentalnya sufisme dalam kehidupan masyarakat Islam merupakan fenomena yang menganjal dan sekaligus sebagai pertanda bagi degradasi (kemunduran) Islam. Sebaliknya, pada waktu itu pula dunia Barat sedang mencapai prestasi di bidang Sains dan Teknologi. Sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan dan melepaskan diri dari cengkraman kolonial Barat, dunia Islam, terutama Mesir dan Turki melakukan studi tentang kemajuan-kemajuan Barat baik dibidang Sains dan Teknologi. Oleh karena itu, beberapa delegasi pelajar dikirim ke Barat untuk mendalami ilmu di sana. Sekitar dua abad, mereka berguru terhadap orang Barat dalam berbagai hal, namun hal tersebut belum bisa mengantarkan dunia Islam kepada kemajuan yang diharapkan. Sementara studi tentang pemikiran atau filsafat Barat masih terlalu prematur (gegabah), sehingga studi tersebut belum memuaskan dan memberi konstribusi bagi Intelektual Islam.
Kemudian dalam perkembanganya, munculah Hassan Hanafi seorang revolusioner (penggerak) yang menguasai tradisi keilmuan Islam klasik dan tradisi keilmuan Barat. Penguasanya tersebut mampu membuat pembaharuan yang komprehensif. Baginya pembaharuan dalam Islam, tidak bisa lepas dari keberlaluan masa lampau Islam. Disamping itu pembaharuan dalam Islam, juga tidak bisa menafikan keberadaan Barat, yang sudah menjadi fenomena perilaku dan pemikiran di dunia Islam.
       Menurut Hassan Hanafi, Oksidentalisme dibangunnya mempunyai akar sejarah dalam khasanah keilmuan Islam, karena  hubungan antara dunia Islam dengan Barat tidak hanya terjadi pada abad modern, melainkan telah dimulai sejak 12 abad yang silam. Hal itu terjadi ketika ulama berhadapan dengan filsafat Yunani.[8]
       Secara historis prototipe Oksidentalisme sebenarnya dapat dilacak sejak terjadinya pertemuan  antara Barat dan Timur, antara masyarakat kristen di Barat  dan masyarakat Muslim di Timur.[9]
III. Tujuan Oksidentalisme
       Setelah melihat penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa bentuk kajian yang dipelajari oksidentalisme merupakan timbal balik apa yang dilakukan oleh Orientalisme. Adapun tujuan oksidentalisme di antaranya yaitu:
1. Menghapus rasa rendah diri pada bangsa non-Barat.
2. Melakukan penulisan ulang sejarah agar semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa.
3. Mengakhiri Orientalisme, menempatkan Timur sebagai subjek.
4. Membentuk peneliti-peneliti muslim yang memelajari peradabannya dari perspektifnya sendiri, dan mengkaji peradaban lain secara netral.
5. Lahirnya generasi yang mampu melepaskan umat Islam dari belenggu penjajahan budaya dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
6. Dengan Oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru dimana tidak ada lagi penyakit realisme (kepatuhan pada fakta) terpendam.[10]
7. Oksidentalisme, sebagai alat untuk menghadapi barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban Timur.[11]
8. Melakukan pembebasan diri dari pengaruh pihak agar terdapat kesetaraan al-āna yakni dunia islam dan Timur pada umumnya, dan ākhbar yakni dunia Eropa dan Barat pada umumnya.[12]
V. Tokoh-Tokoh Oksidentalisme
1. DR. Hassan Hanafi
Nama lengkap adalah Hassan Hanafi ialah Hanafi Hassanein. Ia dilahirkan pada tagal 13 Februari 1935 di Cairo, tepatnya di lokasi sekitar tembok benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan al-Azhar, Mesir. Meskipun Hasan Hanafi sebagai seorang filosof dan teologi (teori studi tentang Tuhan), namun ia tumbuh dikeluarga musisi.
Pada tahun 1948 M, beliau menamatkan pendidikan tingkat dasar dan kemudian melanjutkan studinya di sekolah Menengah “Khalil Agha” Cairo yang diselesaikanya selama empat tahun. Pada tahun 1952 beliau melanjutkan studinya di Departemen Filsafat Universitas Cairo, dan beliau menyelesaikannya selama empat tahun dengan gelar sarjana muda pada tahun 1952 M.
Hasan Hasafi banyak menyerap pengetahuan barat dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra modern. Karena itu, Meskipun ia menolak dan mengkritik barat seperti di sebut Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah mempengaruhinya sehingga Shimogaki mengkategorikan Hassan Hanafi sebagai seorang modernis Liberal.[13] Diantara rekan-rekanya adalah Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abid al-Jabiri.[14]
2. Jamaluddīn al-Afghāni
Nama lengkapnya adalah Jamaluddīn al-Afghāni as-Sayīd Muhammad bin Shafdār al-Husain. Namun ia lebih dikenal dengan Jamaluddīn al-Afgāni. Dilahirkan di desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan pada tahun 1838. Al- al-Afghāni  masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya Sayīd Safdār al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa kecil dan remajanya, ia habiskan di Afganistan. Namun ketika beranjak dewasa, ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan Prancis. Ia merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afghāni terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum muslimin gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afghāni menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20.[15]
3. DR. Muhammad Abduh
Syeikh Muhammad Abduh termasuk keluarga petani, yang memiliki 40 feddan (bahu). Beliau lahir pada tahun 1849 M. Ayahnya bernama Abdul Chairullah, Penduduk kampung Nasr, daerah Subrakhit, dari propinsi Buhairah (Mesir bawah). Ibunya bernama Junainah, berasal dari Gharbiah. Pada tahun 1862, setelah beliau menghafal al-Qur’an, beliau dikirim ke kota Tanta untuk belajar ilmu-ilmu agama islam.Beliau kembali ke tanah kelahiranya pada tahun 1865 M. Dan pada tahun depanya beliau pergi ke Cairo, Mesir berada di masjid al-Azhar untuk menjadi seorang sufi, namun kehidupanya sebagai seorang sufi itu ditinggalkan atas anjuran pamanya.
Pada tahun 1872 beliau bertemu Syeikh Jamaluddīn al-Afghāni, kemudian beliau berguru kepadanya. Beliau termasuk murid yang setia. Pada tahun 1894 , beliau menjadi pimpinan tertingggi di al-Azhar. Beliau wafat pada tahun 1905 M.[16]
4. Sheikh Muhammad Rashīd Ria.
Muhammad Rashīd Ria, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H. Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abu Thalib dan Fatimah putri Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Salah satu gurunya adalah Jamaluddīn al-Afghāni. Beliau terkenal murid yang paling tekun dalam mata kuliah tafsir.
Muhammad Abduh adalah salah satu dosen di Universitas al-Azhar Cairo Mesir. Beliau mendapatkan sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Beliau termasuk ulama yang produkfit, salah satu karyanya yaitu Tafsir al-Qur’an al-Hakim, atau lebih terkenal dengan sebutan Tafsir al-Manār.[17]
5. Nurcholish Madjid. M.A
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore), Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso Jombang, KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor Ponorogo, IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968) dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).[18]
6. Adian Husaini, M.A
       Lahir di Bojonegoro, 17 Desember 1965. Beliau adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah.[19]
VI. Kesimpulan
      

         Di dalam Kamus Ilmiyah dijelaskan, Oksidentalisme secara etimologi adalah berasal dari kata dasar oksiden yang berarti negri Barat. Sedangkan objeknya dinamakan oksidental yang berarti dunia barat, orang barat, atau kebaratan. Orang yang melakukan kajian atau penelitian terhadap Barat dinamakan oksidentalis. Oksidentalisme adalah watak budaya Barat atau penyerapan budaya atau adat istiadat Barat oleh orang-orang Timur
       Sedangkan makna Oksidentalisme secara Istilah adalah kajian kebaratan atau suatu kajian konfrehenshif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat dengan cara sudut pandang Timur dengan maksud untuk mensetarakan dengan negara Barat.
Tujuan dari para tokoh Oksidentalisme secara garis besar adalah menghapus rasa rendah diri pada bangsa non-Barat, melakukan penulisan ulang sejarah agar semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa, mengakhiri Orientalisme, menempatkan Timur sebagai subjek, menciptakan ilmu Oksidentalisme sebagai ilmu pengetahuan yang akurat, membentuk peneliti-peneliti muslim yang memelajari peradabannya dari perspektifnya sendiri, dan mengkaji peradaban lain secara netral, lahirnya generasi yang mampu melepaskan umat Islam dari belenggu penjajahan budaya dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Oksidentalis muncul sejak bertemunya antara Barat dan Timur, antara masyarakat kristen di Barat  dan masyarakat Muslim di Timur. Dan kemudian di kembangkan oleh Hassan Hanafi.
Adapun tokoh-tokoh Oksidentalisme diantaranya adalah Dr. Hasan Hanafi, Jamaluddīn al-Afghāni, Dr. Muhammad Abduh, Sheikh Muhammad Rasyid Ridha, Nurcholish Madjid M.A, dan Adian Husaini, M.A
VII. Kritik dan Saran
Penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini. Dan senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat dan lebih baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
VIII. Daftar Pustaka
Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar Oksidentalisme. Yogyakarta: SUKA Press. 2008.
Hanafi, Hassan. Oksidentalisme, Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. terj. M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina, 2000.
Hanafi, Ahmad. Pengantan Teologi Islam. Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru. 2013.
Kuswaya, Adang. Metode Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: STAIN Salatiga Press. 2011.
Maulana, Achmad, dkk. Kamus Ilmiyah Populer Lengkap. Yogyakarta: 2011.
Mukti Ali, Ahmad. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung: Mizan. 1992.
Qaṭṭā (al), Mannā’ Khalil. Mabāhis Fi ‘Ulūmil Qur’an. Terj. Mudzakir AS. Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa. 2010.
http://henker17.blogspot.co.id/2012/09/makalah-islam-di-timur-oksidentalisme.html, diakses pada 16 September  2015



[1] Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, (Jakarta: Paramadina, 2000 ), 17.
[2] Achmad Maulana, dkk., Kamus Ilmiyah Populer Lengkap, (Yogyakarta: 2011), 358.
[3] Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar Oksidentalisme, (Yogyakarta: SUKA Press, 2008), 81.
[4] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung, Mizan, 1992), 45.
[5] Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar Oksidentalisme, 81.
[6]  Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-Dasar Oksidentalisme , 81.
[7] Hanafi, Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, xvii.
[8] http://Pengantar%20Oksidentalisme/Umum/tokoh-dan-pemikiran-oksidentalis.html, Diakses pada tagal 22 September 2015.
[9] Hanafi, Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, xvii.
[11] Hanafi, Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, xix.
[12] Ibid., xix.
[13] Adang Kuswaya, Metode Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Salatiga Press, 2011), 45-46.
[14] Hanafi, Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Bukhari, xviii.
[16]  A. Hanafi, Pengantan Teologi Islam, (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2013), 203.
[17] Mannā’ Khalil al-Qaṭṭā, Mabāhis Fi ‘Ulūmil Qur’an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2010),  511-512.
[18]  http://henker17.blogspot.co.id/2012/09/makalah-islam-di-timur-oksidentalisme.html, diakses pada 16 September  2015
[19] Ibid.,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar