Tafsir
al-Adābiwaal-Ijtimā’i, Tahlily,
Nuzūli Dan MaūḌu’i, Sektarian dan Kontemporer
I. Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam sebagai
penyempurna atas kitab-kitab umat terdahulu. Seluruh ayat al-Qur’an diturunkan
dengan menggunakan bahasa Arab. Meskipun al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa
Arab, namun tidak serta-merta ayat-ayat al-Qur’an bisa difahami secara langsung
oleh semua lapisan umat. Oleh karena itu diperlukan sebuah penafsiran agar
ayat-ayat yang sukar untuk difahami dan dimengerti maknanya menjadi mudah untuk
difahami.
Usaha untuk
mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an dari masa ke
masa tak kunjung surut. Semakin hari semakin berkembang usaha untuk memahami al-Qur’an
seiring dengan berjalannya waktu, hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena
al-Qur’an merupakan wahyu yang berlaku secara universal bagi seluruh umat.
Meskipun al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab namun dalam hal ini tidak
serta-merta lafaẓ-lafaẓ yang tertulis dalam mushaf bisa difahami oleh
semua lapisan umat terutama oleh orang-orang Arab sendiri yang menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penafsiran
untuk memudahkan umat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam dalam memahami
al-Qur’an. Sebab, tidak semua ayat al-Qur’an khususnya yang membicarakan
tentang hukum dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, diperlukan
lah sebuah penafsiran untuk memudahkan umat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam serta untuk memahami pesan-pesan yang
terkandung dalam al-Qur’an.
Berangkat dari
latar belakang diatas, dalam makalah ini akan dijelaskan penjelasan mengenai al-Adābiwaal-Ijtimā’i,
Tahlily, Nuzūli Dan MaūḌu’i, Sektarian dan Kontemporer yang
meliputi pengertian, bagaimana perkembangannya, serta kitab-kitab apa saja yang
termasuk dalam karakteristik tafsir tersebut.
II. Corak Tafsir Sosial
Kemasyarakatan (Al-Adābi Waal-Ijtimā’i).
A.
Pengertian Tafsir al-Adābiwaal-Ijtimā’i
Al-adābi wa
al-ijtimā’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adābi dan
al-ijtimā’i. Kata al-adābi dilihat dari
bentuknya termasuk maṣdar dari fi`il
maḍi “aduba”, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata
tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam
bertingkah laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtimā’i bermakna
banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi
secara etimologis tafsir al-adābiwaal-Ijtimā’i adalah
tafsir yang berorientasi pada perilaku dan kemasyarakatan.[1]
Syaīkh Manna’ Qathan memberikan definisi tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i sebagai: “Tafsir yang
diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan dengan uraian tentang
sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan gaya al-Qur’an dengan
menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha
menerangkan masalah-masalah yang mushkīl dengan maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta
mengobati penyakit masyarakat dengan petunjuk al-Qur’an. ”Jadi dapat kita
simpulkan bahwa tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i adalah tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.[2]
Dari definisi
di atas, dapat diketahui beberapa hal yang dianggap sebagai unsur atau ciri
dari tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i, yaitu:
1. Tafsir ini menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa al-Qur’an
serta ketelitian redaksinya, yang di dalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat
memberikan sentuhan Iman dan rangsangan intelektual.
2. Dalam tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat al-Qur’an dikaitkan dengan
sunatullah serta peran dan kedudukan akal sangat penting.
3. Tafsir ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang
dipandang penting untuk mendorong pembangunan demi kemakmuran masyarakat.
Pemahaman dan pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang
bersumber dari al-Qur’an.
4. Disamping mempergunakan daya intelektual, tafsir ini juga menggunakan
riwayat-riwayat (athār) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan
antara pendekatan akal, athār dan sejarah.[3]
B. Corak
Tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i
Corak
penafsiran pada tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu:
1. Memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya
mempunyai hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini
adalah berusah membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam al-Qur’an merupakan
satu kesatuan yang utuh, sebab mustahil al-Qur’an sebagai kalamullah tidak
memeiliki relevansi dalam ayat-ayat dan surahnya.
2. Keumuman kandungan al-Qur’an. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Qur’an
bersifat universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat
pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran
tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa,
bukan umat tertentu saja.[4]
3. Al-Qur’an sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk
menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu
Al-Qur’an. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam
sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat Al-Qur’an musykil hanya
tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
4. Menerangi taklid buta. Salah satu aliran tafsir ini adalah berusaha
menghilangkan taklid buta dalam masyrakat Islam, karena dianggap
menyebabkan umat Islam beku, tidak dinamis dan tidak mencerdaskan
masyarakat. Pendapat tengtang perlunya membuka pintu ijtihad dan usaha
memerangi taklid didasarkan atas kepercayaan al-Qur’an pada kekuatan akal.
5. Penggunaan daya pikir serta nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Qur’an
terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan)
terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā di alam semesta ini
dan keajaiban pencipta-Nya. Karena itu lah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberikan anugerah
kepada manusia berupa dua macam ayat-Nya, yaitu al-Qur’an (wahyu) dan ayat kauniyyah
(alam semesta).[5]
6. Peranan akal (nalar) dalam pemahaman al-Qur’an. Salah satu corak aliran
Islam ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat
bahwa al-Qur’an sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang
terhormat. Karena itu, dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyuruh menggunakan
akal pikiran seperti; afalā ta’qilun, afalā tatafakkarun dan sebagainya.
Karena itu, wahyu dan akal
keduanya merupakan tanda kekuasaan Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā dalam wujud ini. Kedua tanda kekuasaan itu tidak
mungkin berlawanan karena:
a. Keduanya menjadi tanda zat yang mutlak sempurna. Akal manusia memustahilkan
adanya perlawanan antara tanda-tanda tersebut karena
perlawanan itu berarti suatu kelemaha.
b. Wahyu dan akal keduanya menjadi sumber hidayah, keduanya menuntun pada
jalan yang lurus untuk kehidupan manusia dan menentukan tujuan akhir manusia
dalam kehidupannya di atas dunia ini. Kedua hal yang demikian keadaannya tidak
akan berbeda di dalam garis besar dalam menentukan arah dan tujuan hidup
manusia.
7. Tidak menjelaskan masalah mubham yang terdapat dalam al-Qur’an. Aliran
tafsir ini tidak menjelaskan yang mubha, yaitu persoalan yang samara tau tidak
di terangkan hakikatnya dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh al-Baqarah (sapi
betina) dan al-qaryah yang masing-masing di sebut dalam surat al-Baqarah ayat
67 dan ayat 58, juga wafaqihah, wa abba pada ayat 31 surat ’Abasa
dan lain-lain.
Sepeninggal Muhammad Abduh, karya tafsir ini dilanjutkan oleh Rashid Riḍa. Dia
berusaha mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dengan berbagai disiplin ilmu seperti:
fiqh, uṣul fiqh,
pengetahuan tentang rijal al-Hadis (hokum-hukum) kemasyarakatan,
pendapat-pendapat para mufassir serta ulum Al-Qur’an.
C.
Tokoh-tokoh Tafsir al-Adābi wa al-Ijtimā’i
1. Syaikh Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah,
Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya,
tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan.[6] Muhammad Abduh terkenal sebagai orang yang tajam pemikiranya. Dalam usia
enam tahun telah menghafal Al-Qur’an setelah itu ia di kirim ayahnya ke Tanta
untuk belajar ilmu-ilmu agama kemudian pergi ke Kairo dan tinggal di Mesjid
al-Azhar sebagai sufi.
Pada tahun 1294 H ia telah memperoleh ijazah sarjana dari al-Azhar.
Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika itu dating ke Mesir. Muahmmad Abduh
bertemu dengan dia dan mendengarkan kuliah-kuliahnya, baik di rumahnya, di
kafenya, ketika ia sedang berkunjung atau dikunjungi. Kedua tokoh ini merasa
ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga mereka akhirnya saling membantu dan
sama-sama menaruh rasa suka.[7] Setelah
dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan
yang sangat berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis
kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-‘Aridat (1873), disusul
kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id
al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru
berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat,
ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang
dianggapnya salah.[8]
2. Sayyid Muhammad Rashid Riḍa
Sayyid Muhammad
Rashid Riḍa dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4
km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang
keturunan bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina
husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW. Gelar
“sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua
garis keturunan tersebut.Keluarga Riḍa dikenal oleh
lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai
ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “syaikh”.[9]
D.
Kelebihan dan
Kekurangan
Sebagaimana
corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir al-adābiwaal-ijtimā’i
juga mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Adapun kelebihan dan
kekurangan corak tafsir adabi ijtima’i bisa dirinci bahwa kelebihannya
adalah dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada
aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan
keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi
perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk
dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak
tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya
seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya
dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan sisi
kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi
mufassir tinggal ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal). Sehingga
bisa dipastikan bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtimai belum tentu sesuai
dengan keadaan yang ada pada masyarakat lain.
III. TAFSIR TAHLILY, NUZŪLI DAN MAŪḌU’I
A.
Pengertian Tafsir Tahlily,
1.
Pengertian Tafsir Tahlily
Secara bahasa tahlily berarti analisa, penguraian,
penjelasan bagian-bagian dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, metode tafsir tahlily
adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an
dengan menguraikan berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat
al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam
mushaf al-Qur’an. Penafsiran ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat,
kemudian surat demi surat.[10]
2.
Ciri-ciri Metode Tafsir Tahlily
Penafsiran metode ini dapat mengambil bentuk ma’thur ataupun
ra’y.
Adapun kitab yang menggunakan bentuk ma’thur adalah:
a.
Jāmi’
al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān karangan
Ibn Jarir al-Thabari.
b.
Ma’ālim
al-Tanzīl karangan al-Baghawi.
c.
Tafsīr
al-Qur’ān al-‘Azhīm karangan Ibn
Katsir.
d.
Al-Durr
al-Mantsūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr karangan
al-Suyuthi.
Adapun kitab yang menggunakan bentuk
al-ra’y antara lain:
a.
Tafsīr
al-khāzin karangan al-Khazin.
b.
Anwār
al-Tanzīl Wa Asrār al-Ta’wīl karangan
al-Baydhāwī.
c.
Al-Kasysyāf
karangan al-Zamakhsyarī.
d.
‘Arāis
al-Bayān fi Haqāiq al-Qur’ān karangan
al-Syirazi.
e.
Al-Tafsīr
al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib karangan
al-Fakhr al-Razi.
f.
Al-Jawāhir
fi Tafsīr al-Qur’ān karangan
Thanthawi Jauhari.
Tafsīr al-Manār karangan
Muhammad Rasyid Ridha.[11]
3.
Langkah-Langkah Yang Ditempuh Dalam Metode Tahlily
Diantara langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir yang
tergolong dalam metode ini adalah:
a.
Menerangkan
munasabah al-Qur’an.
b.
Menjelaskan
asbāb al-nuzūl.
c.
Menganalisis
kosakata ayat dari sudut pandang bahasa arab.
d.
Memaparkan
kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
e.
Jika
dianggap perlu, menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, i’jaz al-Qur’an,
khususnya terhadap ayat-ayat yang mengandung unsur keindahan balaghah.
f.
Menjelaskan
hukum-hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat
yang ditafsirkan adalah ayat-ayat hukum.
g.
Menerangkan
makna dan maksud syar’i yang terkandung dalam ayat yang bersangkutan
dengan menyandarkan pada dalil dari ayat-ayat lain, hadis Nabi dan atsar
sahabat serta tabi’in.
4.
Kelebihan dan kekurangan metode tahlily[12]
Diantara kelebihan metode ini ialah:
a.
Ruang
lingkup yang luas.
b.
Memuat
berbagai ide.
Kemudian kekurangan dari metode tahlily adalah:
a.
Menjadikan
petunjuk al-Qur’an parsial.
b.
Melahirkan
penafsiran subjektif.
c.
Masuk
pemikiran israiliyat.
B.
Pengertian Tafsir Nuzūli
1.
Pengertian Tafsir Nuzūli
Metode tafsir nuzūli adalah suatu cara menafsirkan ayat
al-Qur’an sesuai dengan urutan turunnya al-Qur’an. Dalam penafsiran ini tidak
mengurutkan sesuai dengan urutan dalam mushaf al-Qur’an, tapi sesuai dengan
turunnya ayat-ayat tersebut. Seperti halnya metode tafsir yang lain menafsirkan
ayat al-Qur’an dari surat al-Fātihah sampai surat an-Nās, akan
tetapi metode ini menafsirkan ayat al-Qur’an dari surat yang pertama kali turun
yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5 sampai surat yang terakhir kali turun
yaitu surat al-Maidah ayat 3.
Diantara kelebihan dari metode tafsir nuzūli adalah dapat
mengetahui sabāb nuzūl dari ayat-ayat al-qur’an, mengetahui kronologi
surat, mengetahui nasīkh mansūkh dan mengetahui sejarah pensyari’atan.[13]
2.
Contoh Kitab-Kitab Tafsir Nuzūli:
a.
Tafsīr Bayan al-Qur’ān al-Karim bintu Syati’.
b.
Surat
ar-Rahman wa Suwarul Qisar karya Syauqi
Dloif.
c.
Tafsīr
al-Qur’ān al-Karim karya
as-Syihab.
C.
Tafsir Mauḍū’i
1.
Pengertian Tafsir Mauḍū’i
Metode mauḍū’i (tematik) ialah membahas ayat-ayat al-qur’an
sesuai denagn tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
satu sama lain dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata
dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
baik argument itu berasal dari al-Qur’an, hadis maupun pemikiran rasional.[14]
2.
Langkah-langkah yang Ditempuh dalam Metode Mauḍū’i
Diantara langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir yang
tergolong dalam metode ini adalah:
a.
Memilih
atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan dikaji.
b.
Melacak
dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan.
c.
Menyusun
ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa trurunnya, disertai
pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabāb al-nuzūl.
d.
Mengetahui
hubungan (munāsabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya.
e.
Menyusun
tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis.
f.
Melengkapi
uraian dan pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga pembahasan
semakin sempurna dan jelas.[15]
3. Kelebihan dan Kekurangan
Metode Mauḍū’i
Diantara kelebihan metode ini ialah sebagai berikut:
a.
Menjawab
tantangan zaman karena kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan
permasalahan. Itulah sebabnya metode ini mengkaji semua ayat al-qur’an yang
berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya.
b.
Praktis
dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini
amat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang
tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab
tafsir yang besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk al-qur’an mereka harus
membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk
al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu,
efektif dan efisien.
c.
Dinamis
sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam benak
pembaca dan pendengaranya bahwa al-qur’an senantiasa memang demikian terasa
sekali bahwa al-qur’an selalu actual tak pernah ketinggalan zaman. Dengan
tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat akan tertarik mengamalkan ajaran-ajaran
al-qur’an karena al-Qur’an mereka rasakan betul-betul dapat membimbing mereka
ke jalan yang benar.
d.
Membuat
pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang akan di bahas, maka
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh.
Sedangkan kekurangan metode tafsir mauḍū’i adalah:
a.
Memenggal
ayat al-Qur’an.
b.
Membatasi
pemahaman ayat.
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka
pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut.
Akibatnya, mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu
ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena ayat al-Qur’an itu bagaikan
permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, denagn ditetapkannya
judul pembahasan, berarti yang akan di kaji hanya satu sudut dari permata tersebut.
Dengan demikian, dapat menimbulakn kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang
digambarkan itu memang merupakan konsekuensi logis dari metode tematik. Namun
hal itu tak perlu terlalu dirisaukan karena tidak akan mengurangi pesan-pesan
al-Qur’an, kecuali bila dinyatakan bahwa penafsiran ayat itu hanya itu saja,
tidak ada yang lain. Ternyata tafsir tematik tidak demikian.[16]
IV. TAFSIR SEKTARIAN
A.
Pengertian Tafsir Sektarian
Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur’an telah dilakukan sejak zaman Rasulullah Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam. Dan hal ini
dianggap sebagai sesuatu yang penting karena al-Qur’an sendiri yang diturunkan
dengan berbahasa Arab asli. Meskipun demikian, tidak serta-merta bagi
orang-orang Arab bisa langsung memahami makna-makna yang terkandung didalamnya
baik itu secara tersirat maupun tersurat. Dan dari sinilah sebuah penafsiran
itu dianggap penting sebagai alat untuk memudahkan dan memahami ayat-ayat yang
dianggap sulit untuk difahami. Namun, seiring berjalannya waktu, dunia tafsir
pun juga ikut berkembang. Sehingga muncullah berbagai karya-karya tafsir oleh
para ulama’ pada zaman tersebut. Dan akhirnya para ulama’ mengelompokkan
perkembangan tafsir menjadi tiga periode yakni periode klasik, pertengahan, dan
periode kontemporer.
Berbagai corak-corak tafsir mulai
muncul pada periode pertengahan ketika masa akhir dari dinasti Umayyah dan awal
dinasti ‘Abbasiyyah, pada masa ini terkenal dengan zaman keemasan (the
golden age), yang ditandai dengan
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan disertai dengan dimulainya
penerjemahan buku-buku yang berasal dari luar kebudayaan Arab seperti Yunani,
Persia, India dan beberapa negara lain kedalam bahasa Arab tepatnya pada masa
Dinasti ‘Abasiyyah yaitu ketika Abū Ja’far al-Manshūr menjabat sebagai
khalifah.[17]
B.
Kitab-Kitab Tafsir Sektarian
1.
Tafsir
Mafātīḥ
al-Ghaib
Kitab tafsir ini adalah hasil karya
dari seorang mufassir yang bernama al-Rāzy. Beliau mempunyai nama
lengkap Abū Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-Ḥusin bin al-Ḥasan bin Ali al-Qurasyi at-Taimi al-Bakri al-Ṭabrastani
al-Rāzy, ia mendapat gelar Faḥruddīn.
Al-Rāzy lahir pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 Hijriyah.[18]
Beliau adalah seorang ulama’ yang tekun dalam menuntut ilmu, hampir seluruh disiplin ilmu telah
beliau pelajari. Oleh karena itu wajarr saja jika beliau dijuluki sebagai pakar
ilmu logika, ahli tafsir dan bahasa, serta ahli fikih dalam mazhab Syafi’i.
Imam al-Razī mempunyai karya yang cukup banyak diantaranya adalah karya
tafsirnya yang berjudul Mafātīḥ al-Ghaīb. [19]
2.
Tafsir Ahkām al-Qur’an
Tafsir Aḥkām al-Qur’an
ini adalah sebuah kitab tafsir karya seorang mufassīr yang bernama
al-Jashshash, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar Ahmad bin Aly al-Rāzy, namun beliau lebih mashūr dengan
nama al-Jashshash, nama tersebut dinisbatkan pada profesi beliau sebagai
seorang tukang kapur (Jashshash). Beliau lahir pada tahun 305 H di kota
Baghdad dan beliau wafat pada tangga 9 Dzulhijjah tahun 370 H. Al-Jashash
menghabiskan masa mudanya dengan berkelana ke beberapa tempat untuk mengggali
ilmu dari para ulama’-ulama’ pada masa itu seperti pada Abū Sahal al-Zujāj dan Abū al-Ḥasan al-Karakhi. Selama hidupnya al-Jashash
dihabiskan untuk aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan ilmu serta
mengarang dan menulis kitab.
Beberapa kitab hasil karya al-Jashash
seperti karyanya dalam bidang tafsir yaitu tafsir Aḥkām al-Qur’an,
selain mengarang kitab tafsir beliau juga mengarang beberapa kitab seperti Syaraḥ Mukhtaṣar al-Karakhi, Adab
al-Qadḥa, Syaraḥ al-Asma’ al-Ḥusna, dan beberapa
kitab lainnya. Tafsir Aḥkām al-Qur’an ini merupakan salah satu kitab
tafsir terpenting diantara kitab-kitab tafsir yang berhaluan Hanafi. Al-Jashash
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum fikih. Meskipun kitab ini
disusun mengikuti alur urutan surat-surat al-Qur’an, kitab ini sistematika
penyusunannya berdasarkan bab-bab fikih, ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan bab fikih, namun al-Jashash lebih cenderung
untuk mengagungkan dan membela mazhab Ḥanafi. [20]
Selain dalam segi mengupas ayat-ayat
yang terkait dengan bab fikih tafsir Aḥkām al-Qur’an ini juga mengupas
ayat-ayat yang terkait dengan teologi. Namun, dalam menjelaskan ayat-ayat yang
terkait dengan teologi lebih cenderung untuk mendukung serta memeperkuat
pendapat sekte Mu’tazilah, sebagaimana yang ditulis dalam pengantar kitab
tersebut.[21]
Hal ini dianggap wajar sebab al-Jashash termasuk orang yang fanatik dengan
mazhab teologi Mu’tazilah.
3.
Tafsir
al-Qummī.
Tafsir ini adalah
sebuah buah karya dari Abū al-Ḥasan Aly bin Ibrahīm al-Qummī. Taufik Adnan
dalam bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an” mengatakan
bahwa:” kitab tafsir ini masuk dalam kategori tafsir sektarian, dan tafsir
al-Qummī ini termasuk sebuah karya terlengkap pada masanya disamping itu tafsir
ini sangat kental dengan nuansa Syi’ahnya. Adapun cara penafsiran yang
dilakukan oleh pengarang kitab ini yaitu dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
yang ditujukan untuk memperkukuh sejumlah kepercayaan resmi yang dimiliki oleh
kelompok Syi’ah, serta membatasi gagasan-gagasan yang berseberangan dengan
ortodoksi Islam dan sejumlah kepercayaan resminya”.[22]
Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh
al-Qummī ini dengan tegas dan jelas mengenai keberadaan mushaf Utsmani sebaga
hasil dari manipulasi oleh para pengumpul al-Qur’an. Menurut keyakinan
kelompoknya, bahwa Utsman dan komisi yang dibentuknya untuk mengumpulkan
al-Qur’an telah menggantikan serta tidak mencakupkan kedalam kodifikasinya
sebagian besar dari kitab suci, baik berupa surat, maupun ayatnya, serta telah
memporak-porandakan susunanya.[23]
4.
Tafsir Aḥkām al-Qur’an
Kitab tafsir ini ditulis oleh Ibnu
‘Arabi, nama lengkap beliau adalah Abū Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad
bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’āfiry al-Andalusy al-Ishbily. Beliau lahir pada
tahun 368 Hijriyah. Beliau berkelana untuk mencari ilmu ke beberapa daerah
diantaranya adalah Mesir, Syam, Baghdād, serta Makkah.[24]
V. Tafsir
Kontemporer
A. Pengertian
Tafsir Kontemporer
Mengenai
tafsir kontemporer, ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni
“tafsir” dan “kontemporer”. Secara etimologi, tafsir berasal dari
bahasa Arab تفسير , dari asal kata فسر.
Kata tafsir mempunyai arti menjelaskan dan menyikapi yang tertutup.
Sedangkan terminologi yang dibuat oleh Muhammad Ali aṣ-Ṣabuniy, yaitu ilmu yang
digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam, menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya[25].
Selanjutnya kata
kontemporer, dalam kamus ilmiah populer bermakna termasuk waktu ini;
sezaman, semasa, pada masa kini; dewasa ini[26].
Maka dapat didefinisikan bahwa tafsir kontemporer adalah tafsir atau penjelasan
ayat al-Qur`an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau sat ini. Maksud
kontemporer di sini dikaitkan dengan zaman yang sedang berlangsung sekarang.
B.
Sejarah Munculnya Tafsir Kontemporer dan Pembatasan Kontemporer
Semasa Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam masih
hidup, seluruh persoalan, terutama tentang pemahaman terhadap al-Qur`an,
dipulangkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Karena
persoalan apapun yang muncul tempo itu senantiasa mendapatkan jawabannya. Namun
setelah Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam wafat, otoritas
tunggal penjelas al-Qur`an, tak luput pula tentang kandungan al-Qur`an, tak
lagi ditemui. Akhirnya, kondisi ini memaksa para sahabat untuk melakukan
ijtihad.
Proses regenerasi mufasir
terus berjalan. Para sahabat yang piawai dalam bidang al-Qur`an lalu mengangkat
sejumlah murid di kota masing-masing. Mereka para murid itu kelak tampil
sebagai mufasir generasi tabi’in. Dari kolaborasi ketiga sumber yaitu
penafsiran Nabi, sahabat dan tabi’in. masa ini menurut Qurash Shihab dalam
membumikan al-Qur`an, menjadi patokan periode pertama perkembangan tafsir.
Abad ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam
mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang
tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.
Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya:
1.
Dipicu
oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al- Qur`an dilakukan
secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang
turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.
2.
Adanya
pengkritisian beberapa produk tafsir klasik yang tidak memiliki relevansi
dengan situasi dan kondisi pada masa sekarang (modern).
3.
Menguatnya
kesadaran di kalangan para pemikir muslim untuk mencari metode penafsira yang
sesuai dengan situasi, zaman dan tempat, terutama yang mampu menghasilkan penafsiaran
yang sesuai dengan nalar masyarakat modern.
C.
Karakteristik Tafsir Kontemporer
Ada beberapa karakteristik yang menonjol dalam paradigm tafsir
kontemporer, antara lain[27]:
1.
Memosisikan
al-Qur`an sebagai kitab petunjuk
2.
Bernuansa
hermeneutis
3.
Kontekstual
dan berorientasi pada sepirit al-Qur`an
4.
Ilmiah,
kritis dan non-Sektarian
D.
Metode Tafsir Kontemporer
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiaran al-Qur`an yang
menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsiran. Persoalan
yang muncul itu dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai
dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang
melatarbelakanginya. Adapun persoalan kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah
seperti; masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan, ketidakadilan, hokum,
ekonomi, politik, budaya, gender, HAM
dan masalah ketimpangan yang lain.
Untuk mengetahui metode tafsir kontemporer dari persoalan-persoalan
yang muncul, dapat dikaji atau dianalisis dengan berbagai pendekatan, diantar
pendekatan tersebut adalah:
1.
Struktualisme
Strukturalisme merupakan pendekatan yang lebih banyak memfokuskan
kajiannya pada analisis struktur bahasa, struktur sosial-budaya dan lainnya.
Oleh karena itu pendekatannya disebut sebagai strukturalisme. sebagian
besar, referensi strukturalisme berasal dari teks-teks bahasa dan karya sastra,
perlu secara kusus didudukkan posisi studi perkembangan bahasa dan karya sastra
dalam konteks lingkungan sosialnya, yang disebut sociolinguisick dan pyscholuingistics[28].
2.
Semantik
a.
Pengertian
Kata semantic berasal dari bahasa Yunani yang akar verbanya adalah
semainen yang berarti to sighnify, sedangkan akar kata nominanya
adalah sema yang berarti sigh (tanda). Semantik merupakan
disiplin yang kajiannya berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang
lebih luas dari kata.
Tarigan mendefinisikan semantik sebagai “telaah makna”,
lambing-lambang, atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang
satu dengan yang lain serta pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat, karena
semantik meliputi makna-makna kata, perkembangan dan perubahannya. Sedangkan
Abdul Chear menyebutkan bahwa semantik merupakan istilah yang digunakan untuk
bidang linguistik yang mempelajari hubungan
atau tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Dengan kata
lain, semantic adalah ilmu tentang makna atau tentang arti[29].
b.
Fokus
kajian
Focus kajian semantik terkait dengan makna bahasa, baik makna arti
dalam tekstual maupun dalam arti kontekstual. Oleh karena itu, kajian makna
menjadi bagian dari kajian bahasa. Berdasrkan hal ini, semantic pun sering
dianggap sebagai salah satu dari cabang linguistik.
3.
Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneutikos
atau hermeneia atau hermeneuin yang berarti speech,
translation, dan interpretation.
Istilah hermeneutika pada mulanya merujuk pada nama dewa Yunani kuno, Hermes,
yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia[30].
Jadi kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah ilmu dan seni
menginterpretasi sebuah teks ”suci”. Begitu pula hermeneutika bertugas untuk
menerangkan kata-kata dan teks yang dirasa asing oleh masyarakat, baik asing
secara vertical maupun horizontal dari segi sumber, waktu dan tempat. Sejauh
pengertian ini, hermeneutika juga juga dikenal dalam islam, yaitu dalam tradisi
tafsir dan ta’wil.
4.
Simiotik
Semiotic berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti
tanda. Meskipun telah digunakan sejak masa Yunani, semiotika baru berkenbang
sekitar tahun 1900-an sebagai satu cabang keilmuan. Dalam duania Islam, tanda
dikenal dengan terma āyah(ayat), ālamah, ashārah atau ibarat,
sedangkan di Eropa dan Amerika, tanda dikenal dengan istilah sigh, symbol, index
ataupun icon[31].
E.
Kitab-kitab Tafsir Kontemporer
Adapun tokoh mufasir kontemporer muslim sebagai basis tafsir
al-Qur`an adalah:
1.
Muhammad
Abduh.
Nama lengkap
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.dalam penafsirannya, Abduh cenderung
mengombinasikan antara riwayat shahih dan nalar rasional. Adapu karya Abduh
dalam kajian tafsir adalah Tafsir Jus Amma.
2. Amin Al-Khulli.
Amin Ibn Ibrahim
Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Kulli adalah nama lengkap yang
menggammbarkan sislsilah keluarga Amin al-Kulli. Dari pengamat tafsir modern
sepakat untuk memposisikan Amin al-Kulli sebagai bidang lahirnya tafsir
al-Qur`an dengan gaya baru yakni tafsir sartrawi[32]. Adapun karya dalam tafsir yang telah selesai adalah Manāhij
Tajdīd fī Al-Nahw wa Al- Balaghah wa Al-Tafsī wa Al-Adāb.
3.Bint Syathi
Nama Dr. ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman banyak dikenal orang, terutama pada
tahun 1960 sampai sekarang. Nama Bint Syati’ adalah nama pena yang dia pakai
ketika menulis. Bint al-Syti’ dikenal luas karena studinya tentang sastr Arab
dan tafsir al-Qur`an. Adapun karya beliau dalam kajian tafsir adalah Al-
Tafsīr Al-Bayāni li Al-Qur`ān Al-Karīm.
Perempuan asal mesir ini mencoba mengembangkan tafsir al-Qur`an
dengan menggunakan empat metodologi. Pertama, menafsirkan al-Qur`an
dengan al-Qur`an. Kedua, munasabah antara ayat maupun surat. Ketiga,
berpegang pada prinsip ibrah itu sesuai dengan bunyi teks, dengan asbabun
nuzul. Keempat, prinsip bahwa kata-kata dalam al-Qur`an tidak ada
sinonim.
4.
Amina
Wadud Muhsin
Dalam mengembangkan tafsir al-Qur`an Amina berpegang pada
perspektif feminism dan jender. Dalam metodenya Amina berpegang pada tiga
prinsip. Pertama, dalam konteks apa suatu ayat diturunkan. Kedua, bagaimana
komposisi bahasa ayat tersebut, bagaimana pengungkapannya dan apa yang
dikatakannya. Ketiga, bagaimana konteks ayat itu digunakan. Adapun karya yang
telah ia hasilkan adalah ‘Qur`an and Woman’.
VI. Kesimpulan
Al-adābi wa
al-ijtimā’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adābi dan
al-ijtimā’i. Kata al-adābi dilihat dari
bentuknya termasuk maṣdar dari fi`il
maḍi “aduba”, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut
bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah
laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtimā’i bermakna
banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi
secara etimologis tafsir al-adābiwaal-Ijtimā’i adalah
tafsir yang berorientasi pada perilaku dan kemasyarakatan.
Secara bahasa tahlily berarti analisa, penguraian,
penjelasan bagian-bagian dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, metode tafsir tahlily
adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an
dengan menguraikan berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat
al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam
mushaf al-Qur’an. Penafsiran ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat,
kemudian surat demi surat.
Metode tafsir nuzūli adalah suatu cara menafsirkan ayat
al-Qur’an sesuai dengan urutan turunnya al-Qur’an. Dalam penafsiran ini tidak
mengurutkan sesuai dengan urutan dalam mushaf al-Qur’an, tapi sesuai dengan
turunnya ayat-ayat tersebut. Seperti halnya metode tafsir yang lain menafsirkan
ayat al-Qur’an dari surat al-Fātihah sampai surat an-Nās, akan
tetapi metode ini menafsirkan ayat al-Qur’an dari surat yang pertama kali turun
yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5 sampai surat yang terakhir kali turun
yaitu surat al-Maidah ayat 3.
Metode mauḍū’i (tematik) ialah membahas ayat-ayat al-qur’an
sesuai denagn tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
satu sama lain dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata
dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
baik argument itu berasal dari al-Qur’an, hadis maupun pemikiran rasional.
Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah dilakukan
sejak zaman Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Dan hal ini
dianggap sebagai sesuatu yang penting karena al-Qur’an sendiri yang diturunkan
dengan berbahasa Arab asli.
Mengenai
tafsir kontemporer, ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni
“tafsir” dan “kontemporer”. Secara etimologi, tafsir berasal dari
bahasa Arab تفسير , dari asal kata فسر.
Kata tafsir mempunyai arti menjelaskan dan menyikapi yang tertutup.
Sedangkan terminologi yang dibuat oleh Muhammad Ali aṣ-Ṣabuniy, yaitu ilmu yang
digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam, menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
VII. Daftar Pustaka
Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika. 2002.
Syihab, Quraish. Membumikan
Al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2007.
Syihab, Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Bandung:
PUSTAKA HIDAYAH.
1994.
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka
Setia, 2006. Abduh, Muhammad.
terj. Tafsit Juz Amma. Kairo: Dar al-Hilal. 1986.
Abduh, Muhammad.
Risalah al-Tauhid. Kairo: Matba’ah al-Mannar. 1368 H.
Majid
Abdus Salam Muhatsib, Abdul (al), Visi dan Paradigma Tafsir al- Qur’an Kontemporer. Bangil:
AL IZZAH, 1997.
Gufron, Mohammad. Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah. Depok
Sleman Yogyakarta:
Teras Perum Polri Gowok, tth.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. (ttp.:
Pustaka Pelajar,tth.
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. al-Madkhal. Dar al-Lawa’.
1407 H.
Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Sleman Yogyakarta:
Teras Perum
POLRI Gowok, tth.
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah
dan Tafsir Kalamullah.
Kediri: Lirboyo Press, 2011.
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga
Kontemporer.
Yogyakarta: Kaukaba. 2013.
Qaṭṭan, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an. terj. M.
Mudzakir. Jakarta:
Pustaka Litera antar Nusa. 2004.
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an.
Tangerang: Pustaka
Alvabet. 2013.
Ḥusain Dhahaby, Muhammad (al). Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah Wahbah,
tth.
Ali Ṣabuni, Muhammad (al). at-Tibyan fi Ulumul Qur`an. Jakarta:
Dar al- Kitab
al-Islamiyah, 2003.
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. ttp: Gita Media Press,
2006.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yokyakarta:
Pustaka Pelajar,
2008.
Rahtikawati, Yayan, dkk. Metodologi Tafsiral-Qur`an;
struktualisme, semantic,
semiotic dan hermeneutic. Bandung: Pustaka Setia. 2013.
Yusron, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer.
Yokyakarta: Teras. 2006.
[7] Abdul
Majid Abdus Salam Al Muhatsib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an
Kontemporer (Bangil: AL IZZAH, 1997), 106.
[10]
Mohammad Gufron, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah, (Depok Sleman
Yogyakarta: Teras Perum Polri Gowok, tth. ), 183.
[11]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (ttp.: Pustaka
Pelajar,tth.), 32.
[13]
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal, (Dar al-Lawa’, 1407 H),
109.
[14]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (ttp.: Pustaka
Pelajar,tth.), 151.
[15]
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu
Tafsir, (Sleman Yogyakarta: Teras Perum POLRI Gowok, tth.), 47.
[17] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu Sejarah dan
Tafsir Kalamullah”, (Lirboyo, Lirboyo press,2011), 247.
[18] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an
dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013), 73.
[19] Mannā’ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an, terj. M. Mudzakir, (Jakarta: Pustaka Litera antar Nusa, 2004),
506.
[20] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir
al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta, Kaukaba, 2013) , 64.
[21] Ibid., 65.
[24] Muhammad Ḥusain al-Dhahaby, “Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn”, (Kairo: Maktabah
Wahbah, tth), 330.
[28] Yayan Rahtikawati, dkk, Metodologi Tafsiral-Qur`an; struktualisme, semantic,
semiotic dan hermeneutic, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 94.
[30] Yayan
Rahtikawati, dkk, Metodologi Tafsiral-Qur`an;
struktualisme, semantic, semiotic dan hermeneutic, (Bandung: Pustaka Setia,
2013), 446.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar