JĀMI’ AL-BAYĀN
FĪ TA`WĪLI AL-QUR`AN
(Kitab Klasik Tafsir
al-Qur`an Paling Utama)
Makalah
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah
Perkembangan Tafsir
Dosen Pengampu:
ABDULLAH MUBAROK, Lc. M Th.I
Oleh:
Khoirudin Azis
NIM: 2013.01.01.184
Ahmad Ahzum
NIM:
NIM:2013.01.191
PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
2016
JĀMI’ AL-BAYĀN
FĪ TA`WĪLI AL-QUR`AN
(Kitab Tafsir al-Qur`an Klasik Paling Utama)
Oleh: Ahmad Ahzum
dan Khoirudin Azis
I. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang di
turun kepada nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam melalui
malaikat Jibril Alayhi Wa Sallam sebagai pedoman hidup umat sampai ahir
zaman. Di dalamnya terdapar jumlah ilmu yang tidak ada seorang pun dapat
menghitungnya kecuali Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Karena tidak semua
manusia dapat memahami al-Qur’an dengan baik, maka diperlukanya sebuah penafsiran.
Tafsir al-Qur’an selalu berkembang sejak al-Qur’an diturunkan
hinggga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang begitu pesat dengan
berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk
menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan
keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan
al-Qur’an sebagai sumber pokok dalam menjalani kehidupannya.
Ada banyak kitab tafsir al-Qur’an, baik yang secara penuh tiga
puluh juz maupun hanya beberapa juz saja. Namun dari banyaknya kitab tafsir
yang ada, sebagian besar ulama’ berpendapat, kitab tafsir yang paling utama
adalah kitab karya Imam al-Ṭabarī yaitu Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an,
kitab ini adalah kitab tafsir yang paling lengkap dan tidak ada karya kitab
yang lebih baik dari pada kitab ini.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai biografi Imam al-Ṭabarī, kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an karya
Imam al-Ṭabarī, metodelogi kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an,
karakteristik kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an, Contoh penafsiran Imam al-Ṭabarī dalam
kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an.
II. Imam al-Ṭabarī
A.
Biografi Imam al-Ṭabarī
Nama lengkapnya adalah Abū Ja’far Muhammad bin
Jarīr bin Yazīd bin Kahtīr bin Ghālib al-Ṭabarī. Dilahirkan pada tahun 224 H di
kota Ᾱmul, ibukota Ṭabaristān, salah satu kota di negara Iran. Beliau wafat
pada tahun 310 H.[1] Al-Thabarī lahir pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’taṣīm,
salah seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah yang terkenal. Khalifah al-Mu’taṣīm
ini mewarisi kejayaan keilmuan yang diwariskan oleh khalifah sebelumnya, yaitu
Harun al-Rashīd dan al-Ma`mūn. Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyyah bisa dikatakan
ada pada masa Harun al-Rashīd dan al-Ma`mūn. Pada masa al-Mu’taṣīm, Dinasti
Abbasiyyah agak mengalami kemunduran di bandingkan dengan masa khalifah Harun
al-Rashīd dan al-Ma`mūn. Namun secara umum Dinasti Abbasiyyah masih berada pada
masa kejayaannya yang gemilang.[2]
Al-Ṭabarī
adalah salah satu tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan
telah meninggalkan warisan ke Islaman yang cukup besar yang senantiasa mendapat
sambutan dan apresiasi baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan
popularitas luas melalui dua buah karyanya yaitu Tārīkh al-Umam Wa al-Mulūk
tentang sejarah, dan Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an tentang tafsir. Kedua
buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah penting. Bahkan,
buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufassir yang menaruh perhatian
terhadap tafsir bi al-Ma`thūr.[3]
Beliau adalah seorang yang cerdas dan pandai, salah satu prestasinya adalah
telah berhasil menghafal al-Qur`an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja
sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal al-Qur`an
pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina sekitar usia 10 tahun.[4]
Al-Ṭabarī
memilih hidup membujang sampai akhir hayatnya, karena itu beliau memiliki
kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu. Hidupnya dihabiskan untuk
belajar, mengajar dan menulis, sehingga tidak mengherankan jika beliau sanggup
menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, hadis, bahasa, sastra, dan
lain sebagainya.[5]
B. Karya-Karya Imam Al-Ṭabarī
1.
Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an
2. Tarīkh Umam Wa al-Mulūk
3. Al-Adabul Hamidah Wa
al-Akhlaqun Nafisah.
4.
Tarīkhu al-Rijāl
5. Ikhtilafu Fuqaha’
6. Tahzibu al-Athar
7. Kitab al-Basit Fi al-Fiqh
8. Al-Jami’ Fi al-Qira’at
9. Kitab al-Tabsir Fil
Ushūl.[6]
C. Guru-Guru Imam Al-Ṭabarī
1. Muhammad bin
Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib
2. Ismail Bin Musa
As-Sanadi
3. Ishaq bin Abi
Israel
4. Muhammad bin
Abi Ma'syar
5. Muhammad bin
Hamid Ar-Razi[7]
III. Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli
al-Qur’an
A.
Sejarah Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
Kitab ini terdiri dari
tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini pernah
hilang, namun kemudian Allah menakdirkan muncul kembali ketika didapatkan satu
naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang Amir yang telah
mengundurkan diri yaitu Amir Hamud bin ‘Abdul al- Rashīd, seorang penguasa di Nejd.
Tidak lama kemudian kitab tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai ditangan
kita, menjadi ensiklopedi kaya tentang tafsir bil al-Ma’thūr.
Kitab
Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an merupakan kitab tafsir
paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bi al-Ma’thūr.
Ibn Jabir memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan
sebagian atas yang lain.
Tafsir al-Ṭabarī adalah
tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap. Sementara
tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang sampai
ke kita kecuali hanya sedikit sekali.[8] Diantara sekian banyak buku
tafsir yang ada, tafsir ath-Thabari dinilai sebagai tafsir paling istimewa,
dimana ia dijuluki sebagai tafsir paling lengkap dan paling agung alam dunia
tafsir.[9]
Karya
al-Ṭabarī ini merupakan
generasi pertama yang dibukukan dan masih utuh sampai sekarang. Ini tidak
berarti sebelum al-Ṭabarī belum ada kesadaran membukukan tafsir, namun perkembangan tafsir
pada saat itu sangat lamban dan terpencar-pencar.[10] Kitab ini di tulis oleh Imam
al-Ṭabarī sekitar pada abad ke 3
H, dan sempat disosialisasikan kepada murid-muridnya selama kurang lebih
delapan tahun, sekitar tahun 282 sampai 290 H.
B.
Metodologi Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
Metode yang digunakan Imam al-Ṭabarī dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlīlī. Metode tafsir tahlīlī
adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguraikan maknanya secara
detail dari kata demi kata, ayat demi ayat, surat demi surat diuraikan secara
tuntas mulai dari awal surat al-Fātihah sampai akhir surat al-Nās. Pada metode tahlīlī
ini kandungan makna ayat-ayat al-Qur'an dipaparkan dari berbagai aspek yang
terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
C.
Karakteristik Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
Dalam melakukan
penafsiran Imam al-Ṭabarī banyak mengambil riwayat dari nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi
wa Sallam , sahabat, dan tabi’in. Model penafsiranya adalah bi
al-Ma’thūr, karena Imam al-Ṭabarī banyak menggunakan riwayat-riwayat dalam kitab tafsirnya. Sebelum
melakukan penafsiran suatu ayat dengan mengambil pendapat sahabat atau tabiin, Imam
al-Ṭabarī selalau berkata “القول في
تأويل قوله, kemudian beliau baru menafsirkanya berdasarkan al-Qur’an atau
riwayat yang shahih, yang diriwayatkan secara lengkap, dan riwayatnya yang
diambil tidak hanya satu atau dua riwayat melainkan beliau mengambil semua
riwayat yang beliau ketahui.[11] Sehingga,
tidak jarang terjadi pendapat yang berbeda dari satu riwayat dengan riwayat
yang lainya. Dan beliau memilih pendapat yang menurutnya paling unggul atau
mengambil kesimpulan dari pendapat-pendapat yang berbeda tersebut.
D.
Contoh Penasfiran Imam Al-Ṭabarī di Dalam Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ
عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الأرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَكُنَّا
بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ.[12]
Dan (telah Kami
tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus
dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman dan
Kami tundukkan kepada Sulaiman bin Dawud dengan angin besar yang dapat
diperintahkan oleh Sulaiman untuk berjalan ke negeri manapun yang diinginkan
oleh Sulaiman kemudian kembali ke Syam. Oleh sebab itu dikatakan إِلَى
الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا.
Beliau mengatakan: Hal ini sebagaimana telah
menceritakan kepada kami Ibnu Humaid: Ia berkata: Telah menceritakan kepada
kami Salamah, dari Muhammad bin Ishaq dari sebagian ahli ‘ilmu, dari Wahb bin
Munabbih, Ia berkata: Dahulu ketika Sulaiman keluar menuju majlisnya
burung-burung membungkuk, para jin dan manusia berdiri (untuk menghormatinya)
hingga beliau duduk di singgasananya. Tidak ada satu negeripun di muka bumi
yang memiliki raja kecuali beliau datangi negeri itu dan beliau tundukkan.
Beliau
menerangkan bahwa mayoritas ahli qiraat membaca lafadz الريح dengan i’rab nashab (الرِّيْحَ) dengan anggapan bahwa
kata tersebut adalah objek (maf’ul bih) dari kata kerja سَخَّرَناَ (Kami jinakkan) yang
tidak disebutkan. Sedangkan Imam Abd al-Rahman al-A’raj membaca lafadz الريح dengan i’rab rafa’ (الرِّيْحُ) karena menganggapnya
sebagai mubtada’ (subjek). Kemudian beliau berkata: Adapun bacaan selain kedua
bacaan itu tidak diperkenankan.[13]
Sebagaimana
yang telah dijelaskan, Imam al-Ṭabarī tidak hanya menjelaskan maksud ayat
al-Qur’an, namun juga menjelaskan dari segi ‘Irabnya.
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ.[14]
Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
القول في تأويل قوله: ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشده.
Beliau berkata di dalam Tafsirnya (Ath-Thabari),
tentang firman Allah yang berbunyi: Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta
anak Yatim kecuali dengan perbuatan yang
baik
قال أبو جعفر: يعني جل ثناؤه بقوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي
أحسن)، ولا تقربوا ماله إلا بما فيه صلاحه وتثميره.
Abu jakfar berkata: Abu
Ja’far mengharapkan dari firman Allah: (Dan janganlah Kamu sekalian mendekati
harta anak Yatim kecuali dengan
perbuatan yang baik ), dan janganlah kamu sekalian mendekati karta tersebut
kecuali ada kemanfaatan dan kemaslahatan.
حدثني المثنى قال، حدثنا الحماني قال، حدثنا شريك، عن ليث، عن مجاهد:(ولا
تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، قال: التجارة فيه.
Telah menceritakan
kepadaku musana, Dia Berkata, Hamani Bercerita Kepadaku, Dia Berkata, Syarik
Berkata Kepadaku, Dari Mujahid: (Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta
anak Yatim kecuali dengan perbuatan yang
baik), Ath-Thabari menafsirkan, Berdagang Dengan Harta Tersebut.
حدثني محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن المفضل قال، حدثنا أسباط، عن
السدي:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، فليثمر ماله .
Telah Bercerita
Kepadaku Muhammad Bin Hassan, Dia Berkata, Menceritakan Ahmmad Bin Mufdol, Dia
Berkata, Berkata Asbad, Dari Sudda, (Dan janganlah Kamu sekalian mendekati
harta anak Yatim kecuali dengan
perbuatan yang baik), Mengembangkan Harta Tersebut’’
حدثني الحارث قال، حدثنا عبد العزيز قال، حدثنا فضيل بن مرزوق العنزي، عن سليط
بن بلال، عن الضحاك بن مزاحم في قوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)،
قال: يبتغي له فيه، ولا يأخذ من ربحه شيئا.[15]
Telah Berkata Kepadaku Haris, Dia Berkata, Menceritakan Abdul Aziz, Dia
Berkata, Fudail Bin Marzuq Al-anazi Dari
Sulid Bin Bilal, Dari dohak Bin Mazahim, Didalam Firmanya Allah ; ( (Dan
janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak
Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik). Imam al-Ṭabarī menafsirkan di dalam
kitabnya boleh saja mengunakan harta tersebut, namun tidak mengambil keuntungan
sepeserpun.
Dari contoh penafsiran
ayat di atas, beliau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan beberapa riwayat yang
beliau ketahui. Kemudian, beliau mentarjīh atau mengambil sebuah
kesimpulan yang menurut beliau benar.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
1.
Kelebihan
a. Tafsir al-Ṭabarī mengandung banyak cabang ilmu yang menunjang kelengkapan dan
kesempurnaannya, seperti ilmu Bahasa, Nahwu, Riwayat, qira’at dan sebagainya.
b. Dengan kandungan yang
begitu lengkap dapat berperan penting bagi pengkajinya dalam menambah wawasan.
c. Disebutkannya berbagai
pendapat atau atsar yang mutawatir, baik yang bersumber dari nabi Muhammad Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallam, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in,
serta para ulama sebelumnya menujukkan kehati-hatiannya dalam menafsirkan,
sehingga mengecilkan kemungkinan ia berpendapat yang salah.
d. Kelengkapan dan
kesempurnaan penjelasan menyebabkan orang yang mengkajinya dapat memahami
tafsirnya dengan baik.
2.
Kekurangan
a.
Karena banyaknya riwayat yang dimuatnya, ia pun mengomentarinya,
namun terkadang ada juga riwayat yang tidak dikomentarinya, sehingga dibutuhkan
lagi penelitian lebih lanjut pada riwayat yang tidak dikomentarinya tersebut.
b.
Pada umumnya ia tidak menyertakan penilaian Ṣahih atau Ḍa’if
terhadap sanad-sanadnya.
c.
Kelengkapan penjelasan yang disajikan menyebabkan dalam mengkaji
dan mendalami tafsirnya membutuhkan waktu yang sangat lama, serta membutukan
kesabaran.
d.
Karena tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah, maka dalam mengkaji
dan mendalaminya butuh perhatian dan kejeniusan, sehingga sedikit mempersulit
bagi orang yang masih awam. Di samping itu, karena banyaknya pendapat yang
termuat di dalamnya menyebabkan orang kesulitan dalam menentukan pendapat yang
paling benar.
e.
IV. Kesimpulan
Nama lengkapnya
adalah Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr bin Yazīd bin Kahtīr bin Ghālib al-Ṭabarī.
Dilahirkan pada tahun 224 H di kota Ᾱmul, ibukota Ṭabaristān, salah satu kota
di negara Iran. Beliau adalah seorang
yang cerdas dan pandai, salah satu prestasinya adalah telah berhasil menghafal
al-Qur`an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang sangat
fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal al-Qur`an pada usia 9 tahun dan
Ibnu Sina sekitar usia 10 tahun. Al-Ṭabarī
memilih hidup membujang sampai akhir hayatnya, karena itu beliau memiliki
kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu.
Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī
Ta`wīli al-Qur’an merupakan kitab tafsir
paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bi
al-Ma’thūr. Ibn Jabir memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in
dan tabi’it tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan
mentarjihkan sebagian atas yang lain. Metode yang digunakan dalam penafsiran
yaitu dengan metode tahlīlī
Daftar pustaka
Al-Qur’an
Dhahabī (al),
Muhammad Husain. al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah Wahbah,
t,th.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir
al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008.
Muhammad Amin,
“Perubahan Sosial Dalam Perspektif Al-Qur`an: Studi Komparatif Tafsir al- Ṭabarī
dan Tafsir al-Azhar”, “(Tesis di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013).
Qaṭṭān
(al), Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. terj. Mudzakir. Bogor:
Litera Antar Nusa. 2013.
Qaṭṭān
(al), Mannā’ Khalīl. Mabāhith Fi ‘Ulūmi al-Qur`an. Kairo: Maktabah
Wahbah. 2000.
Razi, Muhammad Razi. 50 Ilmuwan Muslim Populer.
Jakarta: Qultum Media. 2005.
Suyūṭi (al),
Jalāluddin. al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an. Bairut: Maktabah al-Aṣriyah.
2003.
Ṭabarī (al), Abi
Ja’far Muhammad bin Jarir, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an. Kairo:
Muasasah al-Risalah. 2000.
http://saifurrahman99.blogspot.com/2014/11/makalah-tafsir-ibn-jarir-ath-thobari.html, Di akses pada tanggal 23 Oktober 2015
[1] Muhammad
Husain al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah,
t,th.), 1: 147.
[2] Muhammad Amin,
“Perubahan Sosial Dalam Perspektif Al-Qur`an: Studi Komparatif Tafsir al- Ṭabarī dan Tafsir al-Azhar”, “(Tesis di Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), 36.
[3] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
terj. Mudzakir, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2013), 502.
[5] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008), 64.
[6] Mannā’ Khalīl
al-Qaṭṭan, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, terj. Mudzakir, 526-527.
[7] http://saifurrahman99.blogspot.com/2014/11/makalah-tafsir-ibn-jarir-ath-thobari.html, Di akses pada tanggal 23 Oktober 2015
[8] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
terj. Mudzakir, 502.
[10] Saifullah Amin
Ghofur, Profil Para Mufassir, 67.
[12] Al-Qur’an, 21: 81.
[13] Abi Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an, (Kairo: Muasasah
al-Risalah, 2000), 24: 481.
[14] Al-Qur’an, 6:
152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar