Selasa, 19 Januari 2016

JĀMI’ AL-BAYĀN FĪ TA`WĪLI AL-QUR`AN (Kitab Klasik Tafsir al-Qur`an Paling Utama)


JĀMI’ AL-BAYĀN FĪ TA`WĪLI AL-QUR`AN
(Kitab Klasik Tafsir al-Qur`an Paling Utama)


Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perkembangan Tafsir

Dosen Pengampu:
ABDULLAH MUBAROK, Lc. M Th.I










Oleh:
Khoirudin Azis
NIM: 2013.01.01.184
Ahmad Ahzum
NIM: NIM:2013.01.191











PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
 SARANG REMBANG
2016


JĀMI’ AL-BAYĀN FĪ TA`WĪLI AL-QUR`AN
(Kitab Tafsir al-Qur`an Klasik Paling Utama)
Oleh: Ahmad Ahzum dan Khoirudin Azis

I. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang di turun kepada nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam melalui malaikat Jibril Alayhi Wa Sallam sebagai pedoman hidup umat sampai ahir zaman. Di dalamnya terdapar jumlah ilmu yang tidak ada seorang pun dapat menghitungnya kecuali Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Karena tidak semua manusia dapat memahami al-Qur’an dengan baik, maka diperlukanya sebuah penafsiran.
Tafsir al-Qur’an selalu berkembang sejak al-Qur’an diturunkan hinggga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang begitu pesat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pokok dalam menjalani kehidupannya.
Ada banyak kitab tafsir al-Qur’an, baik yang secara penuh tiga puluh juz maupun hanya beberapa juz saja. Namun dari banyaknya kitab tafsir yang ada, sebagian besar ulama’ berpendapat, kitab tafsir yang paling utama adalah kitab karya Imam al-Ṭabarī yaitu Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an, kitab ini adalah kitab tafsir yang paling lengkap dan tidak ada karya kitab yang lebih baik dari pada kitab ini.
            Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai biografi Imam al-Ṭabarī, kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an karya Imam al-Ṭabarī, metodelogi kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an, karakteristik kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an, Contoh penafsiran Imam al-Ṭabarī dalam kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an.




II. Imam al-Ṭabarī
A.    Biografi  Imam al-Ṭabarī
Nama lengkapnya adalah Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr bin Yazīd bin Kahtīr bin Ghālib al-Ṭabarī. Dilahirkan pada tahun 224 H di kota Ᾱmul, ibukota Ṭabaristān, salah satu kota di negara Iran. Beliau wafat pada tahun 310 H.[1] Al-Thabarī lahir pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’taṣīm, salah seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah yang terkenal. Khalifah al-Mu’taṣīm ini mewarisi kejayaan keilmuan yang diwariskan oleh khalifah sebelumnya, yaitu Harun al-Rashīd dan al-Ma`mūn. Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyyah bisa dikatakan ada pada masa Harun al-Rashīd dan al-Ma`mūn. Pada masa al-Mu’taṣīm, Dinasti Abbasiyyah agak mengalami kemunduran di bandingkan dengan masa khalifah Harun al-Rashīd dan al-Ma`mūn. Namun secara umum Dinasti Abbasiyyah masih berada pada masa kejayaannya yang gemilang.[2]
Al-Ṭabarī adalah salah satu tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan ke Islaman yang cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan dan apresiasi baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya yaitu Tārīkh al-Umam Wa al-Mulūk tentang sejarah, dan Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk di antara sekian banyak rujukan ilmiah penting. Bahkan, buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufassir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bi al-Ma`thūr.[3]
Beliau adalah seorang yang cerdas dan pandai, salah satu prestasinya adalah telah berhasil menghafal al-Qur`an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal al-Qur`an pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina sekitar usia 10 tahun.[4]
Al-Ṭabarī memilih hidup membujang sampai akhir hayatnya, karena itu beliau memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu. Hidupnya dihabiskan untuk belajar, mengajar dan menulis, sehingga tidak mengherankan jika beliau sanggup menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, hadis, bahasa, sastra, dan lain sebagainya.[5]
B. Karya-Karya Imam Al-Ṭabarī
1.      Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur`an
2.      Tarīkh Umam Wa al-Mulūk
3.      Al-Adabul Hamidah Wa al-Akhlaqun Nafisah.
4.      Tarīkhu al-Rijāl
5.      Ikhtilafu Fuqaha’
6.      Tahzibu al-Athar
7.      Kitab al-Basit Fi al-Fiqh
8.      Al-Jami’ Fi al-Qira’at
9.      Kitab al-Tabsir Fil Ushūl.[6]
C. Guru-Guru Imam Al-Ṭabarī
1.      Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib
2.      Ismail Bin Musa As-Sanadi
3.      Ishaq bin Abi Israel
4.      Muhammad bin Abi Ma'syar
5.      Muhammad bin Hamid Ar-Razi[7]
III. Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
A.    Sejarah Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
Kitab ini terdiri dari tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkan muncul kembali ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang Amir yang telah mengundurkan diri yaitu Amir Hamud bin ‘Abdul al- Rashīd, seorang penguasa di Nejd. Tidak lama kemudian kitab tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai ditangan kita, menjadi ensiklopedi kaya tentang tafsir bil al-Ma’thūr.
Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an merupakan kitab tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bi al-Ma’thūr. Ibn Jabir memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas yang lain.
Tafsir al-Ṭabarī adalah tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap. Sementara tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang sampai ke kita kecuali hanya sedikit sekali.[8]  Diantara sekian banyak buku tafsir yang ada, tafsir ath-Thabari dinilai sebagai tafsir paling istimewa, dimana ia dijuluki sebagai tafsir paling lengkap dan paling agung alam dunia tafsir.[9]
Karya al-Ṭabarī ini merupakan generasi pertama yang dibukukan dan masih utuh sampai sekarang. Ini tidak berarti sebelum al-Ṭabarī belum ada kesadaran membukukan tafsir, namun perkembangan tafsir pada saat itu sangat lamban dan terpencar-pencar.[10] Kitab ini di tulis oleh Imam al-Ṭabarī sekitar pada abad ke 3 H, dan sempat disosialisasikan kepada murid-muridnya selama kurang lebih delapan tahun, sekitar tahun 282 sampai 290 H.
B.     Metodologi Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
Metode yang digunakan Imam al-Ṭabarī dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlīlī. Metode tafsir tahlīlī adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguraikan maknanya secara detail dari kata demi kata, ayat demi ayat, surat demi surat diuraikan secara tuntas mulai dari awal surat al-Fātihah sampai akhir surat al-Nās. Pada metode tahlīlī ini kandungan makna ayat-ayat al-Qur'an dipaparkan dari berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
C.    Karakteristik Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
Dalam melakukan penafsiran Imam al-Ṭabarī banyak mengambil riwayat dari nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam , sahabat, dan tabi’in. Model penafsiranya adalah bi al-Ma’thūr, karena Imam al-Ṭabarī banyak menggunakan riwayat-riwayat dalam kitab tafsirnya. Sebelum melakukan penafsiran suatu ayat dengan mengambil pendapat sahabat atau tabiin, Imam al-Ṭabarī selalau berkata “القول في تأويل قوله, kemudian beliau baru menafsirkanya berdasarkan al-Qur’an atau riwayat yang shahih, yang diriwayatkan secara lengkap, dan riwayatnya yang diambil tidak hanya satu atau dua riwayat melainkan beliau mengambil semua riwayat yang beliau ketahui.[11] Sehingga, tidak jarang terjadi pendapat yang berbeda dari satu riwayat dengan riwayat yang lainya. Dan beliau memilih pendapat yang menurutnya paling unggul atau mengambil kesimpulan dari pendapat-pendapat yang berbeda tersebut.
D.    Contoh Penasfiran Imam Al-Ṭabarī di Dalam Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الأرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ.[12]
Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman dan Kami tundukkan kepada Sulaiman bin Dawud dengan angin besar yang dapat diperintahkan oleh Sulaiman untuk berjalan ke negeri manapun yang diinginkan oleh Sulaiman kemudian kembali ke Syam. Oleh sebab itu dikatakan إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا.
Beliau mengatakan: Hal ini sebagaimana telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid: Ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Muhammad bin Ishaq dari sebagian ahli ‘ilmu, dari Wahb bin Munabbih, Ia berkata: Dahulu ketika Sulaiman keluar menuju majlisnya burung-burung membungkuk, para jin dan manusia berdiri (untuk menghormatinya) hingga beliau duduk di singgasananya. Tidak ada satu negeripun di muka bumi yang memiliki raja kecuali beliau datangi negeri itu dan beliau tundukkan.
Beliau menerangkan bahwa mayoritas ahli qiraat membaca lafadz الريح dengan i’rab nashab (الرِّيْحَ) dengan anggapan bahwa kata tersebut adalah objek (maf’ul bih) dari kata kerja سَخَّرَناَ (Kami jinakkan) yang tidak disebutkan. Sedangkan Imam Abd al-Rahman al-A’raj membaca lafadz الريح dengan i’rab rafa’ (الرِّيْحُ) karena menganggapnya sebagai mubtada’ (subjek). Kemudian beliau berkata: Adapun bacaan selain kedua bacaan itu tidak diperkenankan.[13]
Sebagaimana yang telah dijelaskan, Imam al-Ṭabarī tidak hanya menjelaskan maksud ayat al-Qur’an, namun juga menjelaskan dari segi ‘Irabnya.
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ.[14]
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
القول في تأويل قوله: ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشده.
Beliau berkata di dalam Tafsirnya (Ath-Thabari), tentang firman Allah yang berbunyi: Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik
قال أبو جعفر: يعني جل ثناؤه بقوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، ولا تقربوا ماله إلا بما فيه صلاحه وتثميره.
Abu jakfar berkata: Abu Ja’far mengharapkan dari firman Allah: (Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik ), dan janganlah kamu sekalian mendekati karta tersebut kecuali ada kemanfaatan dan kemaslahatan.
حدثني المثنى قال، حدثنا الحماني قال، حدثنا شريك، عن ليث، عن مجاهد:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، قال: التجارة فيه.
Telah menceritakan kepadaku musana, Dia Berkata, Hamani Bercerita Kepadaku, Dia Berkata, Syarik Berkata Kepadaku, Dari Mujahid: (Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik), Ath-Thabari menafsirkan, Berdagang Dengan Harta Tersebut.
حدثني محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن المفضل قال، حدثنا أسباط، عن السدي:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، فليثمر ماله .
Telah Bercerita Kepadaku Muhammad Bin Hassan, Dia Berkata, Menceritakan Ahmmad Bin Mufdol, Dia Berkata, Berkata Asbad, Dari Sudda, (Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik), Mengembangkan Harta Tersebut’’
حدثني الحارث قال، حدثنا عبد العزيز قال، حدثنا فضيل بن مرزوق العنزي، عن سليط بن بلال، عن الضحاك بن مزاحم في قوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، قال: يبتغي له فيه، ولا يأخذ من ربحه شيئا.[15]
Telah Berkata Kepadaku Haris, Dia Berkata, Menceritakan Abdul Aziz, Dia Berkata, Fudail Bin Marzuq Al-anazi  Dari Sulid Bin Bilal, Dari dohak Bin Mazahim, Didalam Firmanya Allah ; ( (Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik). Imam al-Ṭabarī menafsirkan di dalam kitabnya boleh saja mengunakan harta tersebut, namun tidak mengambil keuntungan sepeserpun.
Dari contoh penafsiran ayat di atas, beliau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan beberapa riwayat yang beliau ketahui. Kemudian, beliau mentarjīh atau mengambil sebuah kesimpulan yang menurut beliau benar.
E.     Kelebihan dan Kekurangan Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an
1.      Kelebihan
a.       Tafsir al-Ṭabarī mengandung banyak cabang ilmu yang menunjang kelengkapan dan kesempurnaannya, seperti ilmu Bahasa, Nahwu, Riwayat, qira’at dan sebagainya.
b.      Dengan kandungan yang begitu lengkap dapat berperan penting bagi pengkajinya dalam menambah wawasan.
c.       Disebutkannya berbagai pendapat atau atsar yang mutawatir, baik yang bersumber dari nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, serta para ulama sebelumnya menujukkan kehati-hatiannya dalam menafsirkan, sehingga mengecilkan kemungkinan ia berpendapat yang salah.
d.      Kelengkapan dan kesempurnaan penjelasan menyebabkan orang yang mengkajinya dapat memahami tafsirnya dengan baik. 
2.      Kekurangan
a.       Karena banyaknya riwayat yang dimuatnya, ia pun mengomentarinya, namun terkadang ada juga riwayat yang tidak dikomentarinya, sehingga dibutuhkan lagi penelitian lebih lanjut pada riwayat yang tidak dikomentarinya tersebut.
b.      Pada umumnya ia tidak menyertakan penilaian Ṣahih atau Ḍa’if terhadap sanad-sanadnya.
c.       Kelengkapan penjelasan yang disajikan menyebabkan dalam mengkaji dan mendalami tafsirnya membutuhkan waktu yang sangat lama, serta membutukan kesabaran.
d.      Karena tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah, maka dalam mengkaji dan mendalaminya butuh perhatian dan kejeniusan, sehingga sedikit mempersulit bagi orang yang masih awam. Di samping itu, karena banyaknya pendapat yang termuat di dalamnya menyebabkan orang kesulitan dalam menentukan pendapat yang paling benar.
e.        
IV. Kesimpulan
Nama lengkapnya adalah Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr bin Yazīd bin Kahtīr bin Ghālib al-Ṭabarī. Dilahirkan pada tahun 224 H di kota Ᾱmul, ibukota Ṭabaristān, salah satu kota di negara Iran. Beliau adalah seorang yang cerdas dan pandai, salah satu prestasinya adalah telah berhasil menghafal al-Qur`an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal al-Qur`an pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina sekitar usia 10 tahun. Al-Ṭabarī memilih hidup membujang sampai akhir hayatnya, karena itu beliau memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu.
 Kitab Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an merupakan kitab tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bi al-Ma’thūr. Ibn Jabir memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas yang lain. Metode yang digunakan dalam penafsiran yaitu dengan metode tahlīlī











Daftar pustaka
Al-Qur’an
Dhahabī (al), Muhammad Husain. al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah Wahbah, t,th.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008.
Muhammad Amin, “Perubahan Sosial Dalam Perspektif Al-Qur`an: Studi Komparatif Tafsir al- Ṭabarī dan Tafsir al-Azhar”, “(Tesis di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).
Qaṭṭān (al), Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. terj. Mudzakir. Bogor: Litera Antar Nusa. 2013.
Qaṭṭān (al), Mannā’ Khalīl. Mabāhith Fi ‘Ulūmi al-Qur`an. Kairo: Maktabah Wahbah.  2000.
Razi, Muhammad Razi. 50 Ilmuwan Muslim Populer. Jakarta: Qultum Media. 2005.
Suyūṭi (al), Jalāluddin. al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an. Bairut: Maktabah al-Aṣriyah. 2003.
Ṭabarī (al), Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an. Kairo: Muasasah al-Risalah. 2000.



[1] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, t,th.), 1: 147.
[2] Muhammad Amin, “Perubahan Sosial Dalam Perspektif Al-Qur`an: Studi Komparatif Tafsir al- Ṭabarī dan Tafsir al-Azhar”, “(Tesis di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), 36.
[3] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2013), 502.
[4] Muhammad Razi, 50 Ilmuwan Muslim Populer,  (Jakarta: Qultum Media, 2005), 109.
[5] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 64.
[6] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭan, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, terj. Mudzakir, 526-527.
[8] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, 502.
[9] Jalāluddin al-Suyūṭi, al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Maktabah al-Ashriyah, 2003), 190.
[10] Saifullah Amin Ghofur, Profil Para Mufassir, 67.
[11] Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhith Fi ‘Ulūm al-Qur`an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 353.
[12] Al-Qur’an, 21: 81.
[13] Abi Ja’far Muhammad bin Jarīr al-abarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an, (Kairo: Muasasah al-Risalah, 2000), 24: 481.
[14] Al-Qur’an, 6: 152.
[15] Abi Ja’far Muhammad bin Jarīr al-abarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta`wīli al-Qur’an, 24: 481.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar