BAHASA;
SEBAGAI
BENTUK METODE PENAFSIRAN AL-QUR`AN
PADA MASA TABI’IN
Makalah
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metodologi
Penafsiran Ahli Hadis
Dosen Pengampu:
KH. ZAKI MUBAROK, Lc., MA
Oleh:
Khoirudin Azis
NIM: 2013. 01. 01. 184
PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2016
BAHASA;
SEBAGAI BENTUK METODE PENAFSIRAN AL-QUR`AN
PADA MASA TABI’IN
Oleh: Khoirudin Azis
I. Pendahuluan
Al-Qur`an adalah kalam
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang di turunkan
kepada nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam melalui malaikat
Jibril Alayhi wa Sallam sebagai petunjuk umat Islam sampai ahir zaman. Sebagai kalam Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā, al-Qur`an tentunya
berbeda dengan kalam manusia. Susunan bahasa yang ada di dalamnya merupakan
bentuk susunan terindah dan tidak ada yang mampu menandinginya. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Arab. Meskipun dengan menggunakan bahasa Arab dan
diturunkan di Arab, al-Qur`an tidak hanya diperuntukkan untuk orang Arab saja,
namun juga untuk semua umat Islam sedunia.
Karena al-Qur`an diturunkan menggunakan
bahasa Arab dan sebagai kalam Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, al-Qur`an tidak dapat dipahami oleh semua manusia dengan mudah. Oleh sebab itu, untuk memahaminya diperlukan
sebuah penafsiran. Adapun yang mampu menafsirkan al-Qur`an adalah orang
tertentu yang diberi Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā suatu pemahaman terhadap al-Qur`an.
Penafsiran terhadap al-Qur`an sebenarnya
telah ada sejak nabi Muhammad Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallam dan nabi Muhammad Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallamlah sejatinya yang paling berhak menafsirkannya, tapi nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam hanya menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an yang
pada saat itu dianggap tidak jelas saja tidak mencakup semua ayat.
Tafsir memiliki peran yang sangat penting dalam pemahaman terhadap
isi kandungan al-Qur`an. Pada periode penurunannya, nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam memiliki peran sebagai penjelas terhadap al-Qur`an.[1] Setelah
nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam wafat penafsiran al-Qur`an
diteruskan oleh sahabat-sahabatnya, dan setelah itu diteruskan generasi
setelahnya yaitu tabi’in.
Usaha penafsiran al-Qur`an semakin lama
semakin berkembang. Terutama pada masa tabi’in. Berbagai disiplin ilmu terkait
penafsiran mulai muncul, baik itu dari tabi’in sendiri atau juga
meneruskan dan mengembangkan ilmu atau metode penafsiran yang sudah ada pada masa
sebelumnya. Salah satu dari hal tersebut yaitu berkembangnya metode bahasa.
Metode bahasa, ini merupakan pejelasan-penjelasan
yang bersendi kepada ijtihad dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa
dan adat istiad orang Arab
dalam mempergunakan bahasanya. Dengan metode bahasa ini dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat
tertentu yang terdapat di dalam al-Qur`an.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai metode bahasa dalam penafsiran
al-Qur`an pada masa tabi’in, otoritasnya, tokoh-tokohnya dan lain
sebagainya.
II. Penafsiran Tabi’in Dengan Metode
Bahasa
Berbagai
macam metode tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh
pakar-pakar al-Qur`an. Jika diamati metode penafsiran al-Qur`an yang digunakan sahabat-sahabat
nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam ditemukan pada dasarnya setelah
tidak ditemukannya penjelasan dari nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa
Sallam terhadap makna suatu ayat al-Qur’an, kemudian mereka merujuk kepada
penggunaan bahasa.
Setelah
berahirnya masa sahabat, para tabi'in masih mengandalkan metode
periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.[2]
Dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung pada penekanan arti lafaf yang sesuai
serta menambahkan qawl (perkataan atau pendapat) supaya ayat al-Qur’an
mudah dipahami. Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari
penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'yi.
Penafsiran
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan ijtihad atau bi al-ra'yi masih
sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang
dikandung oleh satu kosakata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan
masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad
dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab
atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.[3]
Tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan al-Qur`an.
Meskipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari
nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, tetapi mereka memperoleh
penjelasan dari para sahabat.
Adapun contoh
penafsiran yang dilakukan tabi’in dengan kaidah bahasa di antaranya
adalah
1. Pada Qira’at, pada surat al-Hajr
ayat 15:
tentulah
mereka berkata: "Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan
kami adalah orang-orang yang kena sihir".
Pada lafal سُكِّرَتْ diartikan oleh Ibn Abbas dengan maknaاخذت وسحرت , sedangkan Qatadah mengartikan lafal tersebut dengan dibaca
fathah pada huruf kafnya dengan makna سدّت yaitu dengan hurur kafnya
di baca fathah, dan jika dibaca kasrah huruf kafnya maka maknanya sama
dengan Ibn Abbas.
2. Dari segi i’rab, dari surah Ali Imran ayat 7:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ
كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ [5]
Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Pada lafal وَالرَّاسِخُونَ jika huruf wawunya dikatakan
sebagai wawu aṭaf, maka kembalinya pada lafal اللَّهُ, dan jika wawunya dibuang menjadi
wawu ibtida`, maka menjadi mubtada` dan khabarnya adalah
lafal يَقُولُونَ
آمَنَّا.
3. Keberagaman makna dalam satu lafal, contohnya terdapat pada lafal النكاح yang
terdapat dalam al-Qur`an. Yang dimaksud pada lafadz itu adalah العقد dan الوطي.
Mujāhid tentang
firman Allah al-manna wa al-salwā berkata al-manna adalah ṣamghah[6]
dan al-salwā adalah ṭā`ir.[7]
Begitu juga Qatādah menafsirkan al-salwā dengan ṭā`ir.[8]
4. Pada Mulṭaq dan Muqayyadnya pada ayat al-Qur`an. Mulṭaq
adalah lafal yang menunjukkan suatu hakikat tanpa adanya qayyid dan
biasanya lafal Mulṭaq berbentuk nakirah[9]. Contoh
pada lafal رقبة
dalam ayat فتحر ير رقبة . pernyataan ini meliputi pembebasan seorang
budak yang mencakup segala jenis budak.
Muqayyad
adalah kebalikan dari Mulṭaq
yaitu lafal yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayyid.[10]
Contohnya adalah pada lafal رقبة
dalam ayat ini
فتحر ير رقبة مؤمنة budak yang dimaksud pada ayat ini dibatasi
dengan budak yang beriman saja.
5. Pada hakikat dan majas suatu ayat, dalam surat al-Najm:
وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ
وَأَبْكَى[11]
dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan
menangis,
Dalam ayat diatas ada yang mengartikan secara hakikat yang berarti
maknanya adalah tertawa dan menangis secara hakikat atau memang benar-benar
tertawa dan menangis, sedangkan yang mengartikan ayat di atas dengan sebuah
majas adalah tertawa diartikan sebagai ahli Surga dan menangis diartikan
sebagai ahli Neraka.
II. Otoritas Tafsir Tabi’in
Ulama berbeda
pendapat dalam menanggapi kualitas penafsiran pada masa tabi’in. Sebagian ulama` berpendapat,
bahwa penafsiran yang dihasilkan oleh para ahli tafsir tabi’in tidak
harus dijadikan pegangan. Sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa,
situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat al-Qur`an, sehingga
para tabi’in bisa saja berbuat salah dalam memahami apa yang terkandung
dalam sebuah ayat tertentu. Ditambah lagi para tabi’in banyak menukil
cerita-cerita israilliyyat yang kemudian dimasukan ke dalam tafsirnya. Begitupun dengan metode bahasa, dalam
melakukan penafsiran bisa benar dan juga bisa salah, tergantung kemampuan dan
tingkat pengetahuan dari mufassir. Ini
semakin menambah perbedaan pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan
mereka.
Sebaliknya,
banyak pula ahli tafsir yang berpendapat bahwa tafsir mereka dapat dijadikan
pegangan, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Tetapi
pendapat yang paling tepat adalah jika para tabi’in telah sepakat atas
suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya.
III. Tokoh-tokoh Tafsir pada Masa
Tabi’in
Pada masa
sahabat, kebanyakan ahli tafsir berdiam diri di Madinah. Ini berbeda dengan
masa tabi’in. Tokoh-tokoh tafsir pada masa ini tersebar luas di berbagai kota
Islam. Pada masing-masing kota Islam terkemuka, seperti Makkah, Madinah dan
Irak terdapat sejumlah ahli tafsir.
A.
Ahli Tafsir dari
Makkah
Kebanyakan ahli
tafsir yang ada di Makkah, pada umumnya berguru kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās.
Mereka menafsirkan al-Qur`an darinya. al-Suyūṭī dari Ibnu Taymiyyah,
sebagaimana dikutip oleh al-Zurqānī dan lainnya mengatakan “Orang yang paling
mengetahui di bidang tafsir adalah penduduk Makkah.”[12] Di antaranya adalah:
1.
Mujāhid bin Jabr (21-103 H/641-721 M)
Dia adalah
seorang budak yang dimerdekakan oleh al-Sā`ib bin Abī al-Sā`ib. Dia adalah yang
paling sedikit meriwayatkan tafsir dari Ibnu ‘Abbās. Meskipun begitu dia
merupakan yang paling thiqqah di antara sahabat Ibnu ‘Abbās yang
lainnya. al-Faḍal bin Maymūn, sebagaimana dikutip oleh al-Zurqānī dan lainnya
mendengar Mujāhid berkata “Aku meneliti al-Qur`an dari Ibnu ‘Abbās sebanyak
tiga puluh kali.”[13]
2.
‘Ikrimah mawlā Ibnu ‘Abbās (w. 105 H/ 723 M)
Dia pada
mulanya adalah seorang budak dari bangsa Barbar yang kemudian dimerdekakan oleh
Ibnu ‘Abbās. Dia meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ‘Alī bin Abī Ṭālib, Abū
Hurayrah dan yang lainnya. al-Shāfi’ī, sebagaimana dikutip oleh al-Zurqānī
mengatakan “Tidak ada yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an daripada
‘Ikrimah.”[14]
Tetapi meskipun demikian, ulama` berbeda pendapat mengenai ke-thiqqah-annya.
Sebagian mereka berpendapat bahwa dia tidak thiqqah, sehingga mereka
tidak mengambil riwayat darinya. Sebagian yang lain mengakui ke-thiqqah-annya
dan mengambil riwayat darinya.
3.
‘Aṭā` bin Abī Rabāḥ (w. 114
H/732 M)
‘Aṭā`
meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amr bin al-‘Āṣ dan lainnya.
Dia adalah orang yang thiqqah lagi paham terhadap ilmu agama, sehingga
penduduk Makkah sering meminta fatwa kepadanya. Abū Ḥanīfah, sebagaimana
dikutip oleh oleh al-Dhahabī mengatakan “Aku tidak melihat orang yang aku temui
yang lebih utama daripada ‘Aṭā`.”[15]
B.
Ahli Tafsir dari
Madinah
Banyak penduduk
Madinah yang berasal dari kalangan sahabat. Mereka mendirikan majlis untuk
mengajarkan al-Qur`an dan sunah Nabi kepada generasi setelahnya, yakni tabi’in.
Sehingga dari sini muncul tokoh-tokoh ahli tafsir yang kebanyakan mereka
belajar dari ‘Ubay bin Ka’ab. Mereka adalah:
1.
Abū al-‘Āliyyah (w. 90 H)
Dia adalah Abū
al-‘Āliyyah Rafī’ bin Mahrān al-Riyaḥī. Dia masuk Islam dua tahun setelah Nabi Ṣalla
Allāh ‘Alayhi wa Sallam wafat. Dia meriwayatkan dari Ibnu Mas’ūd, Ibnu
‘Abbās, Ibnu ‘Umar, Ubay bin Ka’ab dan lainnya. Dia termasuk satu dari para
tabi’in yang thiqqah yang terkenal dalam bidang tafsir. Ibnu Abī Dāwud,
sebagaimana dikutip oleh al-Dhahabī mengatakan “Tidak ada seorang pun setelah
sahabat yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an daripada Abū al-‘Āliyyah.”[16]
2.
Muḥammad bin Ka’ab (w. 118 H)
Dia adalah Muḥammad
bin Ka’ab bin Salīm bin Asad al-Qurẓī. Dia meriwayatkan dari ‘Alī, Ibnu Mas’ūd,
Ibnu ‘Abbās, Ubay bin Ka’ab dan lainnya. Dia terkenal sebagai tokoh yang thiqqah,
adil, wara’ dan banyak hadisnya. Ibnu ‘Awn, sebagaimana dikutip oleh
al-Dhahabī mengatakan “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih tahu tentang ta`wīl
al-Qur`an daripada al-Qurẓī.”[17]
3.
Zayd bin Aslam (w. 136 H)
Dia pada
awalnya adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb Raḍiya
Allāhu ‘Anhu. Dia termasuk golongan tabi’in besar. Dalam menafsirkan
al-Qur’an kebanyakan dia menggunakan pendapatnya.
C.
Ahli Tafsir dari
Irak
Kebanyakan ahli
tafsir di sini meriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd. Penafsiran yang mereka
lakukan kebanyakan berdasarkan pada pendapat dan ijtihad mereka sendiri. Adapun
mereka di antaranya adalah:
1.
‘Alqamah bin Qays (w. 61 H)
Dia adalah
‘Alqamah bin Qays bin ‘Abdullāh bin Mālik. Dia meriwayatkan dari ‘Umar,
‘Uthmān, ‘Alī, Ibnu Mas’ūd dan lainnya. Tetapi dia lebih terenal sebagai
periwayat dari Ibnu Mas’ūd. Diriwayatkan dari ‘Abdurraḥman bin Yazīd
sebagaimana dikutip oleh al-Dhahabī, dia berkata “Abdullāh berkata ‘Aku tidak
membaca sesuatu dan tidak mengetahuinya kecuali ‘Alqamah juga membaca dan
mengetahuinya.’”[18]
2.
Masrūq (w. 63 H)
Dia adalah
Masrūq bin al-Ajza’ bin Malik. Diceritakan dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirūn karya
Muḥammad Husayn al-Dhahabī, bahwa suatu hari dia ditanya oleh ‘Umar tentang
namanya. Kemudian dia menjawab “Namaku Masrūq bin al-Ajda’.” ‘Umar berkata
“al-Ajda’ adalah shayṭān. Kamu Masrūq bin ‘Abdurraḥman.”[19]
Dia meriwayatkan dari khulafā` al-rāshidīn, Ibnu Mas’ūd, ‘Ubay bin Ka’ab
dan lainnya.
3.
Qatādah (w. 117 H)
Dia adalah Abū
al-Khaṭṭāb Qatādah bin Da’āmah. Dia meriwayatkan dari Anas, Abī al-Ṭufayl, Ibnu
Sīrīn, ‘Ikrimah, ‘Aṭā` bin Abī Rabāḥ dan lainnya. Dia memiliki hafalan yanh
kuat. Sa’īd bin al-Musayyab, sebagaimana dikutip oleh al-Dhahabī, dia berkata
“Tidak ada orang Irak yang datang kepadaku yang lebih baik daripada Qatādah.”[20]
Selain empat
tokoh di atas, masih ada tokoh ahli tafsir lain di Irak. Di antara mereka
adalah Murrah al-Hamdānī (w. 76 H), ‘Āmir al-Sha’bī (w. 109), al-Ḥasan al-Baṣrī
(w. 110 H) dan lainnya.
4.
al-Aswād bin Yazīd (w. 74 H)
Dia adalah
al-Aswād bin Yazīd bin Qays. Dia meriwayatkan dari Abū Bakar, ‘Alī, Ḥudhayfah,
Bilāl, Ibnu Mas’ūd dan lainnya. Alla merahmatinya dengan sifat thiqqah
dan memiliki pemahaman mendalam tentang al-Qur`an.
III. Kelebihan dan Kekurangan
Dalam menafsirkan al-Qur’an dibutuhkan sebuah
metode-metode khusus. Sehingga dengan digunakannya metode tersebut diharapkan
dalam menafsirkan al-Qur`an dapat membuahkan hasil yang baik, namun dari
metode-metode tersebut tentunya ada kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan
dan kekurangan dalam metode bahasa ini diantaranya yaitu:
A.
Kelebihan Metode Bahasa:
1. Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur`an.
2. Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3. Mengikat
mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subjektivitas berlebihan.
B. Kelemahan
Metode Bahasa:
1. Terjerumusnya
sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele
sehingga pesan pokok
Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
2. Seringkah
konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat
dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun
bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
IV. Kesimpulan
Dari berbahai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
ilmu al-Qur`an sangat luas salah satunya yaitu dalam bidang tafsir. Pada tafsir
sendiri itu juga memiliki berbagai ilmu yang sangat luas. Tafsir dari waktu ke
waktu mengalami sebuah perkembangan yang begitu pesat. Munculnya ilmu tafsir
sejak masa nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat, dan selanjutnya
di teruskan oleh para tabi’in dan seterusnya.
Metode bahasa dalam menafsirkan al-Qur`an sebenarnya
sudah ada sejak masa sahabat. Karena tidak semua ayat al-Qur`an ditafsirkan
nabi Muhammad Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam. Sehingga setelah meninggalnya, dan permasalahan semakin bertambah maka
al-Qur`an butuh ditafsirkan, supaya tidak menimbulkan tidak adanya dalil hukum pada
sebuah permasalahan tersebut. Metode ini selanjutnya di kembangkan oleh masa
setelahnya yaitu masa tabi’in. Pada masa tabi’in usaha penafsiran
al-Qur`an semakin bertambah, karena mereka sudah jauh dengan masa nabi nabi
Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, maka mereka berguru kepada para sahabat
dan mendapat pengajaran ilmu al-Qur`an dari sahabat. Diantaranya yaitu Mujāhid
bin Jabr, al-Aswād
bin Yazīd dan masih
banyak lainya.
Metode bahasa yang digunakan memiliki kelebihan dan
kekurangan. Di antara kelebihanya yaitu Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur`an, memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya, mengikat
mufasir dalam teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subjektivitas berlebihan. Adapun di antara kekurangannya yaitu terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan
yang bertele-tele sehingga pesan-pokok al-Qur`an menjadi kabur dicelah uraian
itu, Seringkah
konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasĪkh/mansukh)
hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut
bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat
tanpa budaya.
Daftar Pustaka
Al-Qur`an
Darraz, Abdullah. al-Naba'
al-AḍĪm,. Mesir: Dar al-'Urubah.
1960.
Al-ShaṭibĪ (al). Al-Muwafaqat.
Bairut: Dar al-Ma’rifah. Beirut, t.th.
Dhahabī (al), Muḥammad Husayn. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn.
Kairo: Dār al-Hadīth. 2005.
Qaṭṭān (al), Mannā’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an. terj.
Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013.
Qaṭṭān (al), Mannā’ al- Mabāhith fĪ Ulum al-Qur`an, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), 245.
Ṭabarī (al), Muḥammad bin
Jarīr. Jāmi’ al-Bayān. Beirut: Dār al-Fikr. 2009
Zurqānī (al), Muḥammad ‘Abdu al-‘Aẓīm. Manāhil al-‘Irfān fi
‘Ulūm al-Qur`ān. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2010.
[1] Mannā’ al-Qaṭṭān,
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2013), 423.
[5] Ibid., 3: 7.
[6] Muḥammad Ibn
Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), 1:382.
[7] Ibid., 1: 385.
[8] Ibid., 1: 585.
[9] Mannā’ al-Qaṭṭān,
Mabāhith fĪ Ulum al-Qur`an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 245.
[10] Ibid., 246.
[11] Al-Qur`an, 53:
43.
[12] Muḥammad ‘Abdu
al-‘Aẓīm al-Zurqānī, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur`ān, (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), 275.
[13] Muḥammad Husayn al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kairo:
Dār al-Hadīth, 2005), 1:96.
[14] al-Zurqānī, Manāhil
al-‘Irfān, 275.
[15] al-Dhahabī, al-Tafsīr
wa al-Mufassirūn, 1:103.
[17] Ibid., 1:106.
[19] Ibid., 1:109.
[20] Ibid., 1:114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar