Foto bersama: K. Abdul Muntaha dan KH. Abdullah Ubab Maimoen,
Sarang.
Abdul Muntaha, begitulah nama lengkapnya. Beliau lahir di dusun
Jasem, Jepangrejo, Blora. Salah satu sosok teladan yang kini menjadi sesepuh di
daerahnya. Abdul Muntaha lahir di tengah-tengah keluarga sederhana layaknya
petani lainnya. Sejak kecil telah tampak ketegasannya dalam menegakkan
kebenaran di jalan Allah. Semua orang disekitarnya terlihat begitu sangat menyayanginya.
Awalnya, masyarakat dusun Jasem terkenal sebagai daerah abangan.
Suasana sangat sepi dari kegiatan-kegiatan islami. Jangankan bangunan
beribadah, kesadaran untuk mempelajari ilmu agama islam saja belum ada.
Sehingga dalam hatinya tergugah untuk mengaji. Sejak kecil ia rajin mengaji,
meskipun lahir dari keluarga yang sangat sederhana sama sekali tidak
menyurutkan semangatnya untuk memahami ilmu agama islam meski jalan kaki.
Diantara guru-guru beliau adalah KH. Habib, KH. Hadis, KH. Muslih, dll.
Foto bersama: K. Abdul Muntaha dan Dr. KH. Abdul Ghofur MZ, Sarang.
Ia terkenal sangat patuh terhadap gurunya, sehingga semua gurunya
begitu mengasihinya. Bahkan, ia diberi kesempatan untuk menjadi muadzin di
Masjid tempat ia mengaji. Banyak sekali ilmu agama yang ia dapatkan di
antaranya mempelajari al-Qur`an, tajwid, nahwu, sharaf, fikih, tauhid, dan lain
sebagainya. Setelah beranjak dewasa, dan dirasa ilmu yang didapatkan cukup, ia menikahi
gadis yang bernama Martini. Kemudian, KH. Habib memerintahkan kepada beliau untuk
menegakkan agama islam di daerahnya yakni Jasem. Perintah pertama kali dari
gurunya itu adalah mendirikan tempat ibadah. Hal ini mengingatkan kepada kita
pada siroh atau sejarah Nabi Muhammad SAW ketika hijrah di Madinah, hal pertama
kali yang dilakukan adalah mendirikan masjid.
Setelah selesai pengembaraan ilmu dan pulang di kampung halamannya,
ia mendirikan musholla yang diberi nama “Musholla al-Ibtidaiyyah”, hal ini mengingat
karena musholla ini merupakan musholla pertama kali di dusun Jasem. Dengan
berdirinya musholla ini, masyarakat sangat antusias berbondong-bondong
mendatanginya ingin mengaji kepadanya lebih-lebih dalam urusan shalat dan
membaca al-Qur`an. Santri pertama beliau adalah bapak sukir.
Pada awalnya, K. Abdul Muntaha sedang mengaji melantunkan membaca
al-Qur`an dengan khidzmat. Apa yang dilakukannya tersebut diketahui oleh Sukir.
Karena rasa penasarannya terhadap K. Abdul Muntaha ia mendatanginya karena
begitu terharu dengan bacaan-bacaan ayat al-Qur`an yang selama ini begitu asing
di jasem. Sukir meminta diajari membaca al-Qur`an oleh K. Abdul Muntaha. Beliau
bersedia mengajarinya dengan satu persyaratan, yaitu harus mencari teman agar
tidak sendirian. Sore hari, tidak disangka, dengan waktu yang tidak begitu lama
sukir berhasil mengajak teman-temannya dengan jumlah tidak sedikit sekitar 50
anak. Sejak itulah musholla al-Ibtidaiyyah ramai didatangi para santri untuk
mengaji dan beribadah.
Suasana jasem yang semula sunyi dari kegiatan islami, sejak itu
menjadi ramai. Santri-santri mengaji kepada K. Abdul Muntaha dan shalat jamaah
5 waktu bersamanya. Bahkan, beberapa santri ada yang menginap setiap malamnya
di Musholla tersebut. Dikarenakan masyarakat menyambut perkembangan islam di
jasem dan mulai peduli dengan beribadah, kemudian K. Abdul Muntaha mengajak
para masyarakat untuk melakukan shalat jum’at di Musholla tersebut, dikarenakan
saat itu belum ada masjid. Seringkali K. Abdul Muntaha mengundang guru-guru dan
temannya dari daerah lain untuk bersedia menjadi khotib dan imam shalat jum’at.
Jadi, Musholla ibtidaiyyah ini menjadi saksi awal perkembangan islam di jasem.
Dalam pembangunannya, K. Abdul Muntaha menguras pikiran, tenaga, dan dana.
Bahkan beliau rela menjual sebidang tanah terbaiknya tahunan demi terwujudnya
cita-citanya adanya tempat ibadah ini.
Setelah berjalan beberapa tahun dan masyarakat mulai menyadari
pentingnya ibadah kepada Allah, bersama masyarakat bersama-sama memikirkan
pentinya sebuah masjid. Dan pada akhirnya dibangunlah masjid Jami’ Nurul
Mustofa di atas tanah wakaf bapak H. Nursarojo tempatnya tepat dibelakang
Musholla al-Ibtidaiyyah. Dalam pembangunan masjid ini, sesuai musyawarah
bersama yang membuka pembangunan sebagai peletakkan batu pertama adalah Habib
Hamid Solo, KH. Muharor Ali al-Hafidz (pengasuh Ponpes Khozinatul ‘Ulum), K.
Mudzorek Blora. Bersama-sama gotong royong membangun masjid jami’ Nurul
Mustofa. Dan sampai saat ini, K. Abdul Muntaha menjadi imam besar masjid
tersebut.
Dengan dibangunnya masjid ini, masyarakat semakin peduli dan merasa
memiliki kewajiban beribadah kepada Allah. Peduli kepada pentingnya belajar
ilmu agama islam, yang semula ketika ada penduduk jasem meninggal dunia
mengundang dari daerah lain karena kurang mampunya penduduk jasem mengaji, saat
itu sudah tidak lagi mengundang orang dari daerah lain, karena sudah mampu
membaca tahlil dan al-Qur`an.